Sunday, December 23, 2012

Desember ke-23

Aku tidak tahu apa nasib waktu. Begitulah kata Chairil Anwar. Entahlah, waktu dan masa depan seperti terra incognita. Daerah tak bertuan. Tapi kita mencoba mencacah-cacahnya dalam sebuah kalender, hari, dan jam-jam yang diperhitungkan dengan detail. Dan kita pun seringkali tertipu olehnya. Tak jarang, semua rencana lenyap begitu saja. Kita menyusunnya kembali. Runtuh lagi. Begitu seterusnya. Tiba-tiba kita pun menyadari betapa mudahnya manusia diombang-ambingkan oleh gelombang waktu.

Waktu pun telah menjumlahkan dirinya menjadi bertumpuk-tumpuk. Menjadi gelombang yang besar. Menjadi hari, bulan, dan tahun yang kita rekam dalam ingatan. Dan bagi saya, tahun ini benar-benar menggelora. Sedikit gila. Kadang sentimentil. Dan penuh gejolak personal: dari peristiwa ke peristiwa, dari keputusan-keputusan, tindakan-tindakan.

Tahun ini saya merampungkan studi. 4,6 tahun vs 1,5 jam di ruangan itu. Kemudian beberapa hari tenggelam dalam euforia. Sampai-sampai revisi saya selesaikan dalam dua bulan. Waktu yang selo pun saya gunakan untuk menerima beberapa tawaran mengedit naskah dan menemani beberapa teman yang juga sedang berjuang untuk rampung. Hamdallah, beberapa sudah rampung dan beberapa lagi masih dalam taraf niat.

Sejumlah keputusan saya ambil. Mencoba mengambil risiko, belajar bertanggung jawab. Hingga kini mengapa saya masih ada di kota ini pun adalah hasil negosiasi yang panjang dengan diri saya sendiri. Berjudi dengan terra incognita itu.

Ya, di tahun ini saya bisa bertemu orang tua saya. Meski hanya beberapa hari karena keperluan wisuda. Di tahun ini pula kakek saya meninggalkan dunia sumpek ini. Darinyalah saya mewarisi sifat keras kepala itu, kebekuan itu. Dan di ruang yang baru, beberapa teman datang dari dunia yang jauh dan asing. Beberapa teman pergi. Ah, pertemuan dan perpisahan, meninggalkan dan ditinggalkan, kita pun terpaksa harus mengakrabinya.

Saya pun sempat terlunta dalam sebuah hubungan yang mengambang. Seseorang yang begitu intim tiba-tiba menjauh, menjelma jadi sosok yang begitu berjarak. Tapi darinya saya banyak belajar bahwa melepas itu sulit, tapi mungkin. Meredam, menerima, menjadikannya pelajaran berharga. Menyimpan setiap jejaknya pada tempat yang semestinya, dengan cara yang paling sunyi.

Saya telah sampai pada persetujuan dengan Chairil, bahwa nasib adalah kesunyian masing-masing. Tujuan dari nasib hanyalah ‘kesunyian’ itu sendiri. Dan pada akhirnya kita harus kembali pada sunyi.

Di tahun ini beberapa kali saya tersungkur. Tersudut di pojok dan menangis sendirian. Tapi, saya tidak ingin dan tak sudi jadi pecundang yang terpuruk terlalu lama. “Aku tidak akan menyerah!”, begitu kata Monkey D. Luffy.

Saya pun masih terus menerus belajar untuk lebih tenang. Mengendap. Menjauhkan mulut dari kutukan dan keluhan. Tiba-tiba saya pun ingat, beberapa hari lalu saya berkata begitu keras dan tajam pada dua orang teman. Saya begitu jengkel dengan sikapnya. Tapi kemudian saya meminta maaf. Saya menyadari bahwa sikap saya itu semakin memperjelas ketidaktenangan saya dalam merespons keadaan.

Saya tidak tahu akan seperti apa saya tahun depan. Apa nasib waktu? Tubuh saya semakin mengurus akibat terlalu sering begadang. Maag sering mengganggu karena telat makan. Sepertinya saya pun tidak bisa lagi menghindar dari dokter mata. Duh gusti uripku..

Wahai diri, selamat bertumbuh di Desember yang ke-23. Semoga tahun berikutnya, blog ini tidak dipenuhi curhatan pribadi :p

Sunday, November 25, 2012

halo, lampu kota dan jalanan basah :)

saya sering bilang, jalanan adalah sebuah taman rahasia. ruang sosial yang menjadi ruang paling pribadi. dan bagi saya, kombinasi antara lampu kota dan jalanan basah itu selamanya puitis. nah, pada tahun 2008, pendapat saya itupun sepertinya disetujui oleh sebuah band asal Yogyakarta bernama Lampu Kota. mereka membuat lagu yang berjudul “Jangan Mati”.

Lampu kota satu persatu menyala
menerangi, malam ini
temani aku, menghabisi malam
ku selalu, berkendara

Lalu,
turun hujan, semoga engkau tak mati
teruslah kau terangi
jalanku jangan mati
hiduplah, sampai pagi,
hiduplah, jangan mati

Jalanan sepi, waktu menjelang pagi
malam ini (malam ini)
ku tak bermimpi (ku tak bermimpi)
dibayangi embun, yang mulai mencair
membasahi (membasahi)
tubuh ini (tubuh ini)

ku masih ingin disini
melihat indah cahaya
yang bersinar
di atas kotaku

ku hanya ingin berlari
mengejar kilau cahaya
yang bersinar
di atas kotaku
uuu...


bedanya adalah, jika saya lebih suka menikmati momen puitik itu dengan duduk diam melihat pantulan-pantulan cahaya, juga hujan yang sebentar lagi reda, mereka lebih menikmatinya dengan bergerak, berkendara. menerobos jalanan. mengejar kilau cahaya.

apapun itu, selamat menikmati hujan dan lagu-lagu kesayangan. selamat menemukan taman rahasia di jalanan yang sedang Anda lalui. oya, sebentar lagi Desember. entah mengapa November ini terasa begitu cepat berlalu...

Thursday, November 22, 2012

anggap saja ini sebuah pertemuan

dan lagi, saya mengeklik folder “Pure Saturday”, kemudian mengeklik “play”. pasang headset. dan spontan saya bilang, Pure Saturday memang masih yang terbaik di kelasnya. meskipun posisi suara Remedy Waloni (TTATW) sulit sekali digeser dari telinga saya, hehe, tapi tak dapat saya pungkiri, setiap kali mendengarkan Pure Saturday, saya larut.

adalah sebuah percakapan di sebuah warung mie ayam di pinggiran Jl. Sudirman. sore itu. seorang di samping saya bercerita telah menonton sebuah konser yang membuatnya berkata “ternyata aku ijek enom e, Nis.” dan grup band yang sedang manggung waktu itu adalah Pure Saturday dan (kalo gak salah) TheMilo. yang TheMilo ini saya sudah tau dan sudah ndengerin beberapa lagunya. yang Pure Saturday, saya menggelengkan kepala. dia pun berjanji meminjami CD albumnya.

karena penasaran, sepulang dari warung mie ayam itu saya pun googling. muncullah beberapa artikel tentang Pure Saturday. pada saat itu juga radio yang saya nyalakan sedang membincangkan Pure Saturday yang habis manggung. pas sekali, kan? apa namanya ini kalau bukan jodoh? halah. oh iya, hari itu berarti hari minggu. karena gelombang radio tadi biasanya membincangkan musik-musik non-minstream pada hari itu.

dua hari kemudian sebuah CD album sampai di tangan saya. kalau gak salah ini adalah album mereka yang ke-4. Time For A Change Time To Move On. di dalamnya adalah lagu-lagu lama dalam versi baru. ada dua belas lagu dalam album ini: Elora, Di Bangku Taman, Kosong, Nyala, Silence, Awan, Buka, Labyrinth, Gala, Pathetic Waltz, Pagi, dan Spoken. beberapa diambil dari album-album mereka sebelumya. sangat asoy. lirik-lirik yang mereka sajikan cukup matang. tanpa basa-basi sani sani. dan musiknya pun keren gilak!*musik keren gilak versi saya adalah yang bisa bikin kepala dan kaki gerak-gerak :D


tentu saja saya tidak akan membahas lagunya satu persatu. yang paling saya suka adalah Di Bangku Taman. entah mengapa. mungkin karena suasana yang terbangun. entah lagu entah sajak, saya selalu suka yang mampu mencipta suasana. “Di Beranda Ini Angin Tak Kedengaran Lagi”nya Goenawan Mohamad dan “Pada Suatu Pagi Hari”nya Sapardi Joko Damono adalah contoh sajak suasana yang berhasil, mampu menyihir. nah, lagu Di Bangku Taman, menurut saya, hampir setara dengan kedua sajak tersebut.

Cahaya lampu kuning tersamar
Tertutup lembut
Menanti gerak kabut pagi
Tanpa awan, tanpa terang

Terduduk tenang di bangku taman
Setelah lelah nikmati malam
Mata terpejam
Berbaur dengan rasa kantuk yang dalam


coba saja bayangkan suasana ketika cahaya lampu kuning di dini hari yang sunyi. di sebuah taman Anda duduk sendirian. tidak sedang menunggu siapa pun. hanya ingin diam dan berbincang dengan alam. angin yang berhembus tipis sesekali menyapa pipi Anda. begitu hening. begitu kudus. tapi kemudain Anda coba dihadapkan pada suasana yang berbeda. suasana yang demikian hening itu berbalik menjadi seratus delapan puluh derajat. dari gelap menjadi terang. menjadi riuh, terik, juga perih. menekan mendesak. Siang saat debu menghantam muka/ Yang penuh peluh dan luka. tapi disinilah menariknya. di bagian ini saya suka genjrengan gitarnya sih.

imaji saya ini tentu saja berseberangan dengan video klipnya, yang tersedia di youtube. hmm, betapa videoklip sungguh mereduksi imaji. haha. atau jangan-jangan imaji saya saja yang justru terlalu konyol :p

yang tak boleh dilewatkan adalah Kosong. konon kabarnya lagu ini sempat ngehits. lagu menceritakan kekecewaan, kegelisahan, tapi tetap menumbuhkan harapan di tengah jalanan panjang yang semakin lapang dan hanya dahan kering yang terpanggang. dalam lagu Labyrinth, saya seolah diajak berputar-putar pada suatu kondisi yang tak ada ujungnya. sebuah lingkaran simulakrum. musik yang mengiringinya pun nguing-nguing.

Iblis perang hancurkan sedih
Tubuh lelah terkurung gelap
Habis sudah rasa kemanusiaan
Hilang lenyap terkubur umur
Terkubur umur


nah, cobalah bayangkan suasana yang terbentuk. suasana ini jelas berbeda dengan suasana hening sebelum siang Di Bangku Taman. suram.

apapun itu, secara keseluruhan lagu-lagu dalam album ini mantap jaya. lagu-lagu lain di album yang lain (Pure Saturday, Elora, Utopia) pun oke punya. saya dapatkan dari mendonlot gratis. maafkan saya karena masih jadi popular culture fans seperti ini :'(. dan, hamdallah, beberapa bulan lalu mereka sudah mengeluarkan album terbaru: Grey. lagu-lagunya oyes banget. semoga terlahir album-album berikutnya lah.

mungkin tak seperti kebanyakan orang, saya tidak pernah ingin bertemu mereka. karena saya tidak pernah suka melihat konser. entah mengapa setiap kali datang ke sebuah konser musik, di tengah hingar-bingar itu saya selalu merasa sepi. betapa tidak nyamannya merasa sepi dalam suasana seperti itu. ealah, malah curhat!

Oke, inilah sedikit cerita pertemuan saya dengan Pure Saturday. mana ceritamu?

sepertinya ini adalah tulisan pertama saya tentang musik. hehe. saya peruntukkan pada seorang yang mengenalkan saya pada Pure Saturday itu. selamat berwisuda :'). Langit terbuka luas, begitu juga pikiranku pikiranmu. Time for a change..Time to move on!

*tak tulis di sela-sela ‘mumet’ saat nyari ontologi dan epistemologi strukturalisme-genetik :p

Saturday, October 27, 2012

short message service #1

kepada: R

aku semakin terjebak pada lingkaran yang selalu ingin kuhindari itu

nganti aku sariawanen kih #loh? #hehe

Wednesday, October 17, 2012

tubuhmu diam dan sendiri


selamat jalan, kakenda. selamat bertemu Sang Kekasih.
doaku mengucur, semoga sampai padamu, sebagai salam rindu. maaf, tak bisa menemani sampai pembaringan itu. segala yang baik tentangmu akan kuceritakan pada cucu-cucuku nanti.

penuh kasih,
-cucu yang kau sebut paling bengal-

Wednesday, October 3, 2012

bahagia itu

bertemu dan berbincang denganmu
adalah satu-satunya kebahagiaanku,
di antara hari-hari meranggas kini

#hei,kamu

Wednesday, August 29, 2012

kriiiing..kriiiing..


halo, mata kecil.

gimana hari-harimu? apa kamu masih sering menghabiskan waktu dengan melamun? aku masih. sebelum kehilangan selo yang sungguh lezat ini. hehe. udah lama banget rasanya kita nggak ngobrol. ngobrolin apa aja. tentang harga cabe setan, tentang Ahmad Dani yang semakin keren, atau tentang hari depan yang sering berujung pada klausa “dijalani aja”.

hari-hari menjelang kuliah (lagi). ada perasaan yang sulit dijelaskan. ragu bercampur takut. ketakutan konyol yang dulu pernah kuceritakan. ah tidak tidak..aku merasa menghianati Guru Brahm kalau masih lekat dengan ketakutan :p. eh, jadi ikut kelasnya Gede Prama kah? bulan depan kan? ikut sana. kalo pulang tularin ilmunya. suatu saat aku pun ingin kesana.

aku sedang membaca Pram yang Sang Pemula. juga menyelesaikan seri-seri kho ping hoo. sering juga ngobrol sama si ikan kuning yang ternyata sangat tangguh. 13 hari tak tinggal tanpa makanan ternyata dia masih baik-baik aja. dijaga Tuhan :). eh, Pram-mu udah selesai? belum mesti. haha. entahlah, aku merasa akan kehilangan waktu membaca buku-buku yang kusukai, komik, nonton film, tenggelam di kamar. dijalani aja. ah!

semoga hari-harimu menyenangkan. mumpung masih syawal jangan lupa sungkeman sama Mas Kobis :’)

hari-hari ke depan aku bakalan sering ketemu sama meneer ganteng lhoo. asiiiiikk. eh iya, Malam Minggu Miko-nya Raditya Dika keren. koplak lebih tepatnya :D

*ditulis dengan nyruput teh hitam dan ngemil nastar :9

Tuesday, August 7, 2012

selamat malam, kamu. sedang apa?

selamat malam, kamu. sedang apa?
sebelum malam cepat habis,
kemarilah, tidur di pangkuanku.
tidur, tidurlah lelap. biar kubelai-belai rambutmu.
biar kuarungi mimpi di laut kecil matamu.

Thursday, August 2, 2012

kepada: skripsi poskolonialisme

skrip, ada kegembiraan membuncah tapi juga terselip duka yang panjang ketika aku telah selesai mengerjakan kamu. gembira, karena aku telah berhasil melewati masa-masa menegangkan tapi seru itu. berduka, karena diskusi-diskusi tentangmu pun harus sudah usai. terlebih lagi ketika teman-teman sesama poskolonialisme pun sudah tuntas menyelesaikan kamu. barangkali tidak akan ada lagi diskusi di bawah pohon atau di beranda kost. namun, aku berterima kasih padamu. untuk semuanya. kamu telah mengajariku banyak sekali hal. terima kasih, yes. *peluk erat*

Puji syukur kehadirat Tuhan semesta alam, atas nikmat dan kekuatan yang diberikan sehingga saya bisa terus-menerus belajar dan menghayati proses dalam penelitian ini dengan gembira.

Pada Oktober 2010 saya berdiskusi dengan Dr. Aprinus Salam, M.Hum. terkait penelitian yang akan saya kerjakan. Beliau memberikan saran untuk tidak menganalisis karya sastra, tetapi buku yang justru membahas teori. Waktu itu, pilihannya adalah sosiologi sastra dan poskolonialisme. Tanpa berpikir panjang dan didorong oleh semangat yang menggebu, saya pun menyetujui usul tersebut dan memilih poskolonialisme sebagai ladang penelitian, meskipun tidak dapat saya pungkiri adanya keraguan untuk dapat mengerjakan penelitian tersebut.

Pada April 2011 saya menyelesaikan proposal awal saya dengan judul “Poskolonialisme dan Sastra Indonesia” dan menjalani penelitian sesuai draf yang saya buat. Saya membahas bagaimana arah penelitian poskolonialisme dalam sastra Indonesia, awal kemunculannya, aspek-aspek apa saja yang sering mendapat perhatian. Tiap bab saya diskusikan dengan pembimbing dan tentunya mengalami perbaikan sana-sini. Sepanjang tahun 2011 itulah saya melakukan penelitian, mengalami kebingungan, kemalasan, dan keterputusasaan.

Dalam perkembangannya, judul penelitian saya ubah karena saya anggap terlalu luas. Saya tidak membahas persoalan sastra Indonesia secara umum, tetapi sastra Indonesia yang ada dalam buku kajian. Kemudian, sebelum melakukan seminar proposal pada Oktober 2011 saya mengganti judul penelitian menjadi “Membaca (Ulang) Tiga Buku Poskolonialisme dan Sastra Indonesia” karena objek material yang saya gunakan berjumlah tiga buku.

Pada 28 Maret 2012 pukul 09.00 WIB saya ujian. Dalam ujian inilah judul penelitian saya mendapatkan masukan yang berharga. Kata “membaca” yang merupakan kata kerja diubah menjadi kata benda sehingga menjadi “Pembacaan (Ulang) Tiga Buku Poskolonialisme dan Sastra Indonesia”. Judul inilah yang kemudian saya gunakan.

Untuk segala proses penelitian saya tersebut, secara khusus ucapan terima kasih saya sampaikan kepada Dr. Aprinus Salam, M.Hum. sebagai dosen pembimbing yang kritis, yang selalu bersabar dengan kelambanan dan kebodohan saya. Beliau adalah sumber energi saya dalam menulis. Di samping itu, saya juga mengucapkan terima kasih kepada Drs. Sudibyo, M.Hum. sebagai ketua penguji yang dengan kekayaan pengetahuannya telah banyak memberikan masukan serta wacana tandingan dalam penelitian yang saya lakukan, telah mengizinkan saya mengikuti dua kali kuliah teori poskolonialisme, juga atas pemberian buku yang bermanfaat bagi penelitian ini. Tidak lupa, terima kasih saya sampaikan kepada Dra. Sugihastuti, M.S. yang telah membaca penelitian saya dengan teliti lantaran diksi dan tata bahasa yang kacau balau. Saya tidak tahu bagaimana membalas budi baik ini.

Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada Dr. Suhandano, M.A., ketua Jurusan Sastra Indonesia, yang menoleransi keterlambatan saya dalam mengajukan dosen pembimbing; Drs. Ridha Mashudi Wibowo, M.Hum. sebagai dosen pembimbing akademik yang tidak pernah lelah memberikan motivasi; Cahyaningrum Dewojati, S.S., M, Hum., dan Drs. Rudi Ekasiswanto, M.Hum. yang memberikan kesempatan kepada saya untuk melakukan penelitian. Beliau-beliau inilah yang sering menanyakan kemajuan penelitian saya. Kepada Prof. Dr. Faruk saya mengucapkan terima kasih karena secara tidak langsung menjadi motivator tersendiri dalam penelitian ini sekaligus saya mohon maaf karena telah lancang mencacah-cacah karyanya. Tidak lupa ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada Dyah Ayu Retnowati, A.Md. yang banyak membantu dalam persoalan-persoalan administrasi.

Saya juga harus mengucapkan terima kasih kepada segenap karyawan Perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya, Perpustakaan Jurusan Antropologi, Perpustakaan UPT I dan II UGM; juga kepada Bapak dan Ibu petugas akademik yang memberikan banyak kemudahan. Kepada pengelola Beasiswa PPA saya mengucapkan terima kasih karena telah memberikan beasiswa itu selama saya berkuliah.

Kepada kedua orang tua saya, Bapak Kholil Rosyid dan Ibu Siti Rodliyah, terima kasih telah memberikan kepercayaan dan dukungan yang luar biasa kepada saya. Juga adik Nuuruddin Kholid yang darinya saya belajar banyak hal. Terima kasih atas cinta kasih yang tulus dan terus-menerus.

Terima kasih yang istimewa saya tujukan kepada Rinandi Dinanta Praja, kawan berbagi dan berdiskusi yang seringkali menemani saat-saat lembur melalui Yahoo! Messenger. Terima kasih atas obrolan-obrolan yang selalu menakjubkan, energi positif, dan telinga yang tak pernah lelah mendengar curhatan saya yang nggak penting. Berbahagia bisa berproses dan bertumbuh bersamamu, di sini dan saat ini.

Terima kasih sangat kepada Harum Munazharoh yang dengan tulus membantu dan mengenalkan saya dalam berbagai hal, dan seringkali mengingatkan saya untuk selalu bekerja keras dan menikmati segala denyut penelitian ini. Juga kepada Zuddi Ichwan Priyana atas CD One Piece di siang bolong waktu itu, sungguh hiburan yang sangat menyenangkan di tengah kepenatan saya saat mengerjakan penelitian ini. Terima kasih.

Terima kasih tak terhingga kepada sahabat-sahabat saya yang oke, segitiga sembarang: Susi Nuryanti dan Mustika Sari Cahyaningtyas yang selalu ada ketika yang lain menjauh, melewati duka dan tawa bersama-sama, tetapi terkadang lama tak bersua karena kesibukan masing-masing. Juga kepada Saeful Anwar, Ramayda Akmal, dan Fitriawan Nur Indrianto yang selalu memberikan doa dan dukungan. Terima kasih, kakak seperguruan.

Terima kasih juga saya sampaikan kepada teman-teman di Sanggar Lincak yang menjadikan hidup saya lebih puitis. Terlontar juga terima kasih kepada teman-teman Asrama Putri Ratna Ningsih, Kost 857 (terutama Ayu Yunita yang seringkali menyelamatkan kelaparan saya), dan Kost 809 yang selalu memberikan ruang yang nyaman layaknya rumah sendiri. Juga teman-teman ber-chat conference: Pipiet Ambar, Windi, Elok, Fani, Rio, Ari. Terima kasih kepada mereka yang telah mengajarkan bahwa bahagia itu sederhana adanya.

Kepada teman-teman Sastra Indonesia Angkatan 2007: Fawaid (terima kasih atas pinjaman bukunya dan diskusi-diskusi singkat melalui sms), Dani, Danar, Ridho, Naylul, Mia, Rahmi, Septi, Ari 1, Ari 2, Ayi, Santi, Asti, Titis, Amak, Fulan, Arini, Irsyad, Bayu, Hanifan, Indah, Icha, Badrun, Oky, Rifqi, Rara, Desti, Larit, Fiki, Srikandi, Dino, Faqih, Firdaus, dan Rosyidah, terima kasih atas persahabatan yang hangat, senang sekali saya bisa mengenal dan belajar bersama kalian. Kepada teman-teman di poskolonialisme.wordpress.com. yang meskipun jarang up date, semoga blog ini bisa menjadi tempat kita untuk sekadar bertegur sapa.

Tidak lupa saya ucapkan terima kasih kepada guru saya, Mas Alvein Damardanto Yudaputra, atas petuah-petuah, berbagai cerita hidupnya yang hebat, dan nasihat yang selalu saya ingat: jangan jadi orang biasa. Juga kepada Mas Luqman al-Hakim, beliau layaknya hujan yang membasuh ranting-ranting kemarau jiwa. Terima kasih, Guru.

Terima kasih saya kurang lengkap tanpa menyebut Subul Chaqi, sahabat baik, yang sekian lamanya tidak bertatap muka. Terima kasih juga kepada Deleilah, laptop saya, yang tanpa kesetiaannya, penelitian ini tidak akan hadir di hadapan pembaca yang budiman. Sekali lagi, terima kasih atas bantuan teman-teman. Penelitian ini masih terlalu dangkal, yang menunjukkan kurangnya pengetahuan dan kemampuan yang saya miliki. Namun, apa pun kualitas penelitian ini, semoga penelitian sederhana ini bermanfaat dan saya bersedia menerima saran serta kritik yang membangun.


Yogyakarta, Maret 2012
Anis Mashlihatin


Thursday, June 14, 2012

kota yang gagal dikenang

Membaca keempat sajak Indrian Koto tentang kota, saya tidak ingin menganalisisnya dari teori puisi yang rumit, yang tentu saja sudah saya lupakan. Saya ingin melihatnya justru dari sisi arsitektur. Karena, membaca sajak-sajak Koto seperti membaca pengalaman dan kegelisahan Avianti Armand yang ditulis dalam buku Arsitektur yang Lain.

Jika dibagi dalam tataran waktu, keempat sajak Koto bisa dirangkum dalam masa lalu, masa kini, dan masa depan. Masa lalu dalam sajak-sajak ini terkesan begitu harmoni. Dalam sajak “Yogyakarta: Kelahiran Kedua”, awalnya kota menjadi tempat yang nyaman dengan bermacam grafiti di tembok-temboknya. Perasaan-perasaan akan keindahan muncul layaknya remaja yang jatuh cinta. Betapa jatuh cinta saat remaja adalah hal yang sulit dijelaskan keindahan serta kegembiraannya.

Namun, masa kini dalam sajak ini diwakili oleh gempa yang telah mengubah suasana harmoni tersebut menjadi konflik. Barangkali karena banyaknya jalan yang retak dan rumah yang ambruk, bangunan-bangunan baru pun menjamur. Kebangkitan dari ‘keretakan’ dan ‘keambrukan’ itu ternyata over dosis. Kota yang sunyi tiba-tiba berubah menjadi padat. Berbanding lurus dengan kegelisahan. Si aku menjadi diri yang asing, yang lain. Bangunan-bangunan tersebut gusar dan saling bersaing. Tidak saling melengkapi.

Si aku berhadapan dengan ruang yang semakin menyempit. Berdesakan. Jalan yang sunyi dan daun gugur hanya tinggal kenangan yang dirindukan. Namun, kenangan itu gagal dihidupkan karena terdesak oleh bangunan-bangunan baru yang mengepung. Bangunan-bangunan lama hanya tinggal nama. Seperti bioskop tua yang terpaksa gulung layar. Hanya romantisisme tentangnya yang masih bergaung.

Namun seperti kekasih aku pun enggan melepasmu. Ia mencintai kota dengan segala kecintaan yang nanar. Meskipun Ia lahir kembali bukan di sebuah tempat yang sunyi. Tetapi penuh teror kecemasan. Awalnya ia memandang kota dengan mata yang takjub. Namun, masa kini tidak mengizinkan ketakjuban itu berulang. Sehingga pertanyaan-pertanyaan tentang kota pun bermunculan. Kegelisahan yang menggebu.
Masa kini menjadi semakin sesak. Jalan-jalan sempit/ kendaraan penuh dan saling menjepit/. Di mana kepadatan kuantitas sebuah kota tidak diimbangi dengan kualitatifnya. Sehingga di sini aku nyaris tak mengenal kami lagi. Sehingga hari depan menjadi begitu meresahkan.

Gedung baru dan lampu yang berpijar tidak mampu memberikan kenyamanan awal yang dirasakan oleh si aku. Justru hal-hal tersebutlah yang menggusur kenyamanannya. Kota yang diimpikan oleh si aku adalah kota yang sunyi dengan daun gugur di jalanan yang sepi. Juga sungai Code yang alami seperti perawan yang sedang tumbuh ketika subuh.Hal ini mengingatkan saya pada lagu “Resah”nya Payung Teduh. Aku ingin berdua denganmu, di antara daun gugur. Aku ingin berdua denganmu, tapi aku hanya melihat keresahanmu.

Ketika berada dalam kondisi kota yang terbelenggu dalam politik identitas, yang bergerak untuk menuju yang lebih 'megah', si aku hanya bisa mengutuk sambil menghidupkan lagi kenangan. Namun, sayangnya, kenangan tak mampu dihidupkan kembali. Ia terdesak oleh lahan parkir dan kampus yang berdiri angkuh. Kegelisahan-kegelisan tersebut berlanjut ketika si aku dihadapkan pada rumah-rumah susun, pinggiran kali, dan kecemasan para penganggur. Yang paradoks dengan mini market 24 jam dan kedai makan impor. Kedai dengan kaca-kaca transparan tempat bersarangnya modal. Bangunan-bangunan tersebut tersuguhkan dalam suasana kota yang hiruk pikuk.

Sapen, yang dulu adalah kampung penyamun, yang masih sunyi, kini pun telah berubah. Menjadi lain. Menjadi asing. Hutan dan belukar berubah kampung dan kamar-kamar/ kegelapan berubah kampus, berubah hotel, berubah pusat perbelanjaan/ masa depan ditanam, kampung digusur, orang-orang berebut datang/ siapa peduli masa lalu kampung ini/ mereka membutuhkan warung makan, laundry, kios pulsa dan sewa murah/.

Bangunan-banguna baru, apa pun bentuknya itu, menjadikan diri semakin asing, bahkan di tanah sendiri. Warnet, rental komputer, dan fotokopi telah menjadi kebutuhan primer orang-orang yang berebut datang itu. Tak ada lagi ruang sosial yang hangat. Semua bertekuk lutut pada modal. Dan jejak masa lalu terabaikan. Ya, siapa yang mau ambil pusing. Harusnya, diantara bangunan yang ramai tersebut, diri menjadi riang, namun sayangnya sepi justru mengoyak. Dan Chairil mencibir, “mampus kau dikoyak-koyak sepi”.

Namun, apa pun itu, ia merasa dilahirkan kembali. Dilahirkan dengan segala kondisi yang melingkupi kota “yang baru”. Dilahirkan untuk mengakrabi dan bergelut dengan kota “baru tersebut”. Berebut tempat dengan kecemasan. Bukan kota “yang dulu” yang membuatnya seperti remaja yang jatuh cinta. Kini Ia telah dewasa dan merasakan patah hati.

Kembali ke masa lalu pun, ke Langgai, ia terkejut oleh keadaan yang sudah berubah. Tak lagi lengang. Si aku menjadi semakin asing. Sebab masa depan terpancang pada antena para bola dan seragam sekolah. Si aku kembali ditempatkan pada ruang ‘realitas’ yang membuatnya gusar.

Dalam “Sosrodipuran” si aku berhadapan dengan rumah dan pintu yang terbuka. Rumah semacam simbol tempat diri berpulang. Namun, ia pun kembali dihadapkan pada kenangan dan kegelisahan. Mengenang yang singkat, mengabaikan yang telah/ dan akan terus berjalan. Seperti tubuhmu, pohon/ kecil yang merangkak jadi remaja/.

Namun, rumah memang tak selamanya mampu menjaga. Ini seperti yang dikatakan oleh Avinati Armand, bahwa rumah telah menjadi semacam ruang transit. “Rumah, juga kota, telah jadi sangat cair, di mana ruang-ruang antah-berantah mengambil bentuk yang spontan, sebuah kepulauan urban dalam mana “ruang-ruang tinggal” adalah pulau-pulau dalam lautan luas yang dibentuk oleh “ruang-ruang pergi” (Armand, 2011: 12).

Kegelisahan akan kota yang telah menjadi hiruk pikuk dan berdesakan tersebut juga dapat dilihat dalam tulisan Avianti yang berjudul “Sembarang Kota”. Adalah tentang pertahanan kota terhadap kapitalisme. Ya, tak satu kotapun yang mampu bertahan. Satu demi satu kota terperangkap pada jaring-jaring kapitalisme. Bandung, yang dulu sempat punya satu mal dan wisatawannya masih senang makan batagor, kini sudah banjir mal, restoran, juga distro. Masjid tua Banten pun mengalami nasib yang sama, sekeliling masjid telah dipenuhi orang berjualan ini itu. Tak ada lagi keagungan masa lalu dan juga kesakralannya. Begitu pula Cirebon dan Palembang.

Dan Yogyakarta, persis seperti yang disajakkan oleh Koto, juga mulai ikut tergerus dalam jaring-jaring tersebut. Di daerah kos saya, baru-baru ini sudah lebih dari tiga restoran dan satu hotel berbintang muncul. Pusat perbelanjaan di seberang jalan itu juga ujug-ujug ada di sana. Sampai-sampai saya lupa bangunan sebelumnya itu apa.

Namun, berbeda dengan Koto, Avianti melihat (atau menemukan?) resistensi di antara keterbatasan ruang yang dikuasai modal. Homo Jakartensis, merujuk pada istilah Seno Gumira Ajidarma, mampu mengisi ruang kosong yang memungkinkan untuk menghirup udara. Sedangkan si aku dalam sajak-sajak Koto larut kedalamnya. Ia tidak sempat (atau tidak bisa?) melakukan apa pun terhadap keadaan kota yang semakin menekan mendesak tersebut.

Entahlah, barangkali si aku memang lebih memilih untuk terus mengenang. Meskipun akan sangat panjang jalannya setelah ini. Meskipun kota itu tak lagi sunyi. Ah, seberapa sunyi kah kamu?

Wednesday, June 13, 2012

selamat ulang tahun, bumil :)



tulisan ini kubuat 10 hari setelah hari ulang tahunmu.

gimana rasanya 24 tahun? biasa aja? semoga tidak. paling tidak sekarang kamu merayakannya dengan penghuni baru di rahimmu. selamat untuk itu. turut berbahagia, sangat bahagia.

nah, karena kehadiran si baby itu, kamu harus bisa lebih menjaga kesehatan. jangan makan yang pedes-pedes (sial, gak ada partner makan mercon lagi). gak boleh makan mie instan. sering jalan-jalan. ojo malesan. ojo begadang. ojo tangi awan terus. ojo stress, tapi skripsi kudu tetep dikerjakne sih.

banyak hal yang diam-diam kupelajari darimu. meskipun kita sering berbeda pendapat,tapi sebenarnya aku iri padamu yang bisa berpikir praktis. yang masih selalu kuingat adalah semboyan dahsyatmu dalam persoalan cinta segitiga. "daripada sing loro telu, mending sing loro siji wae". pancen gendeng kowe! mungkin sekarang gak ada lagi teman yg bisa diajak 'gendeng2an'. masa-masa itu sudah harus berakhir. masa muda yang bergelora. ah!

kamu yang cerewet. kamu yg tidak mengenal kompromi. kamu yang suka 'bengak-bengok'. kamu yang suka bilang 'gek ndang toh nis'. aku sering kangen sebenarnya. terlebih setelah kamu jarang di jogja.

terima kasih atas persahabatan yang hangat. maaf aku belum bisa jadi teman yang baik.
semoga di 24 ini kamu semakin dekat denganNya. semakin bijak dalam menghadapi segala hal. sudah saatnya menghadapi segalanya dengan kebijaksanaan, tidak melulu ego dan perasaan.

selamat menjadi ibu. aku menyayangimu :)

didedikasikan kepada Mustika Sari Cahyaningtyas
*jebule koe wes tuwo yo ce. 24 ik. haha

ah asik, aku mbiyen tau nulis koyok ngene jebul


ini rasa,
semoga nyala kembang api yang sejenak
bukan teduh kunang-kunang yang abadi
sungguh, air mataku telah mengkristal penuh

sebab mencintaimu.

-020109, saat hatiku sedang resah-


#berniat merapikan file, eh jebul ketemu tulisan kuwi. njut ngakak-ngakak dewe. jan rak mutu tenan aku mbiyen. iki pas aku lapo yo? ndandak resah-resahan rak cetho ngono :p
ah, enjoy!

Tuesday, June 12, 2012

mungkin beginilah rindu itu

Sudah hampir dua tahun saya meninggalkan bangunan indah nan megah itu. Asrama Mahasiswa Putri Ratnaningsih. Banyak hal yang terjadi selama tiga tahun saya tinggal di sana. Dan semuanya itu tidak bisa saya rangkum menjadi tulisan, sayangnya. Setiap kali melewati bengunan itu lagi, hanya ada satu perasaan: rindu. Namun, bangunan itu tak lagi sama. Kehidupan di sana pun sudah berbeda. Entah seperti apa. Ia dekat tapi jauh. Ia tak berjarak tapi tak tersentuh.

Banyak sekali yang saya rindukan. Dan hal-hal sepele inilah yang sering saya rindukan:

1.Rapat sampek malem banget di aula
2.Evaluasi warga baru
3.Himne Ratna Ningsih
4.Nonton film rame2..
5.Kenalan sama warga baru
6.Mbak Teny: sang pemadam kelaparan
7.Kamar 5X6 bertiga
8.M*nj*t pagar. Hehe
9.Makan bareng di blok 2, rujakan, ngerampok makanannya Fani
10.Ngelihat kembang api di balkon pas lagi tahun baru
11.Beli makan bareng di Pak Man
12.Suara airphone yang gak diangkat-angkat
13.Suara-suara kursi yg diseret tengah malem
14.Voly, basket, dan badminton yg penggemarnya semakin langka..
15.Panen mangga depan kamar, jambu, markisa, sukun, dan kadang-kadang rambutan dan pepaya
16.Buku-buku perpus yg berdebu
17.Buka puasa bareng, nyari saur bareng.
18.Bubur RN yg cuma setahun sekali
19.Suara kompor yg gasnya lagi habis
20.Bikin mie instan tengah malem
21.Minum kopi di koridor
22.Sarapan soto Pak Toni yang tinggal sodorin mangkok lewat pagar
23.Mengkliping koran
24.Bunga kamboja yang didaulat jadi lambang RN
25.Suara motornya Mbak Intan
26.Karyawan yg suka ngasih makanan sambil bersiul-siul nggak jelas
27.Berbagai jemuran: pemandangan tiap hari di depan kamar
28.Para klien yg mau konsultasi fashion
29.Teman-teman (cowok) yang menunggu di ruang tamu itu
30.Hujan-hujanan karena alasan kecerdasan
31.Jendela tinggi dan lebar itu

Tidak pernah merindukan--> pengelola asrama

Monday, June 11, 2012

Code yang mesra, yang intim

Entah kenapa saya selalu merasa tenang kalau melihat air yang mengalir. Dan sore tadi, dengan kepala yang rasanya nyutnyut, dari belakang kamar kos seorang kawan, saya menyempatkan diri untuk melihat sungai itu lagi. Akhirnya, setelah sekian lama.

Code,

Dalam sore yang sebentar tadi, ada kenangan yang tiba-tiba menyeruak. Masa awal kuliah banyak saya habiskan di belakang kos ini. Waktu itu kami masih lengkap. Masih sering memanjat pohon rambutan yang kini sudah mengering. Tapi pohon pepaya itu masih ada. Pohon sawo itu juga masih ada, tetap sama. Buahnya tidak pernah bisa dimakan.

Dan tadi saya sendiri saja. Satu teman sudah bekerja di kota lain. Satu teman sudah menikah dan tinggal di kota asalnya, dan hari ini jadwalnya datang ke kota ini. Satu teman sedang tidak ingin dihubungi. Satu teman sedang bersibuk menyelesaikan tugas akhir. Dan saya (masih) jadi seksi dokumentasi.

Code sore tadi, seperti sore-sore yang telah berlalu, masih tetap mesra. Beberapa perempuan masih mandi di sana. Menutup tubuhnya yang segar dengan kain sarung. Mengguyurkan air ke badannya dengan gayung. Di sebelahnya ada beberapa orang yang mencuci pakaian. Ada seorang lelaki tua sendirian memancing dengan khusyuk. Ada beberapa lelaki mengambil karung yang penuh dengan pasir. Ada anak kecil bermain layang-layang. Ada gadis-gadis remaja dengan bedak belepotan. Ada ibu-ibu bercengkerama di bawah terpal biru yang dibentangkan. Ada anjing-anjing yang lucu berkejaran.

Semua terjadi begitu saja. Begitu intim.

Rumah-rumah kecil yang berderet dan merapat itu, meskipun tidak seperti rumah-rumah kecil lain di sepanjang kanal kota Amsterdam yang gambarnya sering saya lihat di kalender dan wallpaper komputer, terasa begitu hangat. Gang-gang itu, lorong-lorong itu, seperti halnya kenangan, sesak dan panjang.

Sore tadi pula, di Code, ada kenangan lain yang tiba-tiba menyusup lembut. Tapi sore terlanjur berganti gelap. Seperti tak mau ditunda. Seolah tak mengizinkan ingatan bekerja lebih dalam. Entahlah.

*malam ini, tidak perlu pangeran hayalan, cukup seorang biasa saja yang membawakan segelas air dan obat flu di tangannya


Sunday, June 10, 2012

datang dan pergi

ternyata menulis setiap hari itu sulit. lima belas hari yang saya perkirakan akan longgar ternyata padat gilak. tapi bagaimanapun harus ada postingan. baiklah.

ini saya sedang ngurusin adek-adek kelas SMA saya yang mau SNMPTN di jogja. lima tahun yang lalu saya pernah menjadi mereka. dan lima tahun yang begitu panjang itu begitu saya nikmati. hingga saya juga begitu mencintai kota ini. masih enggan lepas tapi terkadang ingin lepas. dan sekarang saya sedang mengenang jejak yang telah berlalu.

lima tahun. orang-orang datang dan pergi. dan saya bisa merasakan pedih dan sepinya ditinggal teman-teman yang pulang kampung halaman, pergi ke kota lain, menikah, meninggal, bahkan menghilang entah kemana. gedung-gedung baru bermunculan. gedung-gedung lama terpendam. musim datang silih berganti.

lima tahun mendatang entah akan seperti apa. saya dan kamu pun tidak tahu. tapi saya sabar menunggu kejutan-kejutannya.

Saturday, June 9, 2012

sajak-sajak tentang kota

Masih dalam perbincangan tentang kota, berikut ini adalah sajak-sajak Indrian Koto yang saya dapatkan beberapa waktu yang lalu dalam sebuah diskusi di PKKH. Ada empat sajak. Mudah-mudahan besok ada waktu untuk sekadar analisis singkat, versi saya.

Yogyakarta: Kelahiran Kedua

I
di kota ini, aku merasa kembali dilahirkan

begitulah mungkin kita bertemu
aku orang asing mencari persinggahan
kau memberi tempat yang nyaman.

kumasuki lorongmu seperti remaja yang jatuh cinta
masa lalu kutorehkan dalam grafiti
tertulis di tembok-tembok kota, di makam-makam tua.

aku mendapati gempa yang singkat dan liar
seperti merapi, bibirku gemetar
aku melewati tenda pengungsian, jalan retak,
rumah ambruk dengan pikiran runtuh

setelahnya, aku merisaukan hari depan
seperti dikurung abu dan gempa subuh.
ia datang dengan banyak rencana
membangun tembok, menanam gedung, memanen warung cepat saji
dan menyepakati masa depan dengan siasat ganjil.

seperti kekasih aku pun enggan melepasmu.
aku merindukan nyala lampu, jalan sepi dan daun gugur di kota baru
dan code seperti perawan yang sedang tumbuh ketika subuh.

II
dari apa sebuah kota tegak berdiri?
jalan-jalan sempit
kendaraan penuh dan saling menjepit.

di sini aku nyaris tak mengenal kami lagi
politik menjadi begitu nyaring dan lantang
lampu merah terus ditancapkan
sepeda seperti kenangan yang terus dihidupkan.

dari apa sebuah kota diciptakan?
orang-orang berbondong datang
aku mendengar makian di jalan-jalan
traffic light tak menyala, awas ada galian,
diskon murah, warung makan, demonstrasi, aturan-aturan basi.
kekuasaan seperti terbuat dari pijar lampu dan gedung baru
masa depan seperti lahan parkir dan kampus yang berdiri angkuh.

dari apa sebuah kota dibangun?
rumah susun, pinggir kali, kecemasan para penganggur.
kota dikepung mini market 24 jam
kedai makan impor, kriuk ayam goreng diantar ke depan pintu.

di kota ini aku merasa kembali dilahirkan
berebut tempat dengan kecemasan
politik seperti orang tua nyinyir dalam kerangkeng masa lalu.


2012


Sosrodipuran

di kampung sosro aku merasa
punya rumah. ingatanku lekat pada
kanak-kanak yang sulit dihapal
keseluruhan. remaja tanggung
yang cemas akan masa depan, bergantung
pada tubuh yang mulai mekar.
aku meramal kalian dengan pura-pura
yang tulus. sehati-hati aku menyimpan
kenangan di pohon riwayat. terus mengakar,
terus menjulang menghadap langit.

di gang sosro, aku merasa
punya pintu untuk pulang, ika.
arthur, nanda, diah, tak pernah kehabisan cerita
mengenang yang singkat, mengabaikan yang telah
dan akan terus berjalan. seperti tubuhmu, pohon
kecil yang merangkak jadi remaja.
aku mengenang rara, anggi dan indi
berbagi cinta pertama, debar yang mula-mula.
lalu di mana winda, di mana
surat-suratku kini kau simpan?

aku mengingat semua dengan gamang
secemas aku melewati gang dan halaman kalian
aku mungkin tak pernah tersesat, sesekali lintang
menuntunku kembali pada rumah di mana peristiwa
tak pernah bergerak di sana.

rumah tak selamanya mampu menjaga.
aku mencemaskan kalian yang tumbuh dengan ganjil
di antara para pelancong, hotel dan kafe. aku takut
kalian tersesat di gang sebelah, di tempat orang-orang
menjajakan kesakitan atau berebut naik kereta, hilang ditelan
rel-rel yang kadang menyesatkan.

di sosrodipuran aku merasa kembali pulang.
kueja dengan sepenuh gugup.
kubiarkan kalian berkebun di hatiku,
kampung sempit tanpa halaman,
untuk dikunjungi ketika rindu.


2010


Ke Langgai ke Asal Leluhur

kami meluncur
ke langgai, ke asal leluhur
mengendarai nasib masing-masing.

jalan bebatu, lumpur dan bukit terjal
seperti silsilah yang sukar diurai
satu demi satu.
dari keriuhan kami datang
ke kampung lengang kami pulang.

kami menuju
langgai, ke hulu asal leluhur
rumah-rumah merenggas, memencilkan diri
dengan penghuni
hutan dan orang kampung
digasak sepanjang siang, sepanjang petang.

berapa harga sekilo nilam dan daun gambir?

di kampung hulu
masa depan terpancang
pada antena parabola dan seragam sekolah

kami menuju langgai
seperti perantau asing
yang gampang terpesona dengan asal sendiri.


2010


Sapen

mungkin akan sangat panjang jalanku setelah ini
akan kutinggalkan kau dan terus mengunjungi

kata orang: di sini dulu penuh belukar
terbenam dalam liar dan kutukan
mereka dengan gugup menghindar, dengan mata dan raut cemas
mereka berucap: “sarang penyamun, sarang penyamun..”

siapa yang tahu masa depan
kampung penyamun itu kini berubah menjadi lain
hutan dan belukar berubah kampung dan kamar-kamar
kegelapan berubah kampus, berubah hotel, berubah pusat perbelanjaan
masa depan ditanam, kampung digusur, orang-orang berebut datang
siapa peduli masa lalu kampung ini
mereka membutuhkan warung makan, laundry, kios pulsa dan sewa murah

sarang penyamun, kau tak mendengar itu lagi
ia menyerbu ke dalam warnet, kamar pengap, rental komputer dan fotokopi
di mana penduduk kampung ini kini
yang dulu terdengar begitu sangar dan kasar
menjadi orang asing di tanah sendiri.

di sapen, kampung yang menjadi sarang penyamun
orang-orang datang dan pergi, mencatat masa depan
saling menelanjangi di dalam kamar

aku akan terus mengenang
mungkin akan sangat panjang jalanku setelah ini.


2012

Friday, June 8, 2012

ruang, dan hal-hal yang melingkupinya

Selalu ada yang menarik dalam pembicaraan mengenai ruang, bangunan, kota, desa, dan segala hal yang melingkupinya. Saya bahkan mempercayai bahwa sebuah bangunan memiliki jiwa. Ia merekam jejak, merekam memori.

Saat menonton film, seringkali yang saya perhatikan adalah bangunan yang muram, lampu-lampu kota yang kuning, lorong-lorong panjang, juga jalan yang sering kali hiruk pikuk namun tiba-tiba sepi. Masih ingat film Before Sunrise? Selain obrolannya yang menyenangkan, dalam film ini penghadiran tentang sebuah kota juga sungguh memesona. Tapi mungkin ini dipengaruhi oleh Paris sebagai latarnya.

Pembicaraan menarik tentang kota dan para penghuninya pernah saya baca dalam Affair Obrolan tentang Jakarta karya Seno Gumira Ajidarma. Dalam bukunya tersebut, Seno melihat secara kritis apa-apa yang menghidupi kota. Dari gang sempit, jalan buntu, ruang tunggu, Ali Oncom, sampai buntil. Sisi-sisi romantiknya, juga kepalsuan-kepalsuannya.

Dan dua minggu yang lalu saya pun dipertemukan dengan buku berjudul Arsitektur yang Lain karya Avianti Armand. Jujur saya baru tahu kalau Avianti adalah seorang arsitek. Saya lebih mengenal namanya sebagai cerpenis. Beberapa cerpennya memang luar biasa. Dan membicarakan bukunya tentang arsitektur ini bagi saya tidaklah mudah. Saya begitu jatuh cinta pada buku ini.

Buku ini semacam kumpulan tulisan lepas. Tentang rumah, jendela, kosong, monumen, air, kitsch, dan lain sebagainya. Setidaknya ada 27 tulisan dalam buku ini yang ditulis dengan gaya puitis nan filosofis. Menurut saya, yang membuat menarik dalam buku ini adalah Avianti tidak hanya membicarakan bangunan dari sisi fisiknya. Ia menggali lebih dalam. Jejak dan memori diikutsertakan. Pertanyaan-pertanyaan mengenai eksistensi, guna, dan nilai pun tak luput dari perhatiannya.

Dalam tulisan kali ini, saya tidak akan membicarakan semuanya. Selain tulisan ini akan menjadi sangat panjang dan berkelok, karena keterbatasan waktu saya merasa tidak sanggup membahasnya secara keseluruhan.

Rumah
Buku ini mengawali pembicaraannya tentang sebuah rumah. Saya pikir, rumah memiliki definisinya sendiri bagi setiap orang. Namun, rumah selalu memberikan “rasa” tersendiri bagi saya. Perasaan-perasaan sentimentil selalu muncul setiap kali membicakan tentang hal satu itu. Bagi saya, dan mungkin sebagian orang, rumah adalah penerimaan. Maka tak jarang memilih pendamping hidup seringkali dianalogikan memilih rumah atau yang bisa menjadi rumah.

Nah, menurut Avianti, yang terjadi pada kaum urban, rumah kini telah bergeser sekadar menjadi ruang transit. Persinggahan. Orang dipaksa untuk keluar rumah dan terpental-pental dalam pergolakan waktu. Meminjam kalimat Avianti, kini rumah telah kehilangan batas definitifnya dan menjadi sangat elastis. Tidak ada lagi tempat yang kita kenali dan cintai. Dan seringkali orang membutuhkan momen, benda, bahkan seseorang untuk mengikat ingatan dan manjadikan rumah sebagai tempat yang intim.

Barangkali rumah memang tidak selalu ruang. Saya masih selalu teringat pada Old Shutterhand dalam Winnetou yang tidak pernah betah tinggal dalam sebuah ruang. Ia selalu merasa sesak dan tidak bisa bergerak. Karena, baginya, rumah adalah padang rumput.

Rumah bahkan meluas pada rumah Tuhan. Saya pikir, yang ingin ditekankan oleh Avianti adalah adanya keterjabakan pada hal-hal simbolik yang sering terjadi pada “rumah Tuhan”. Kubah, barangkali adalah simbol utama untuk mengenali sebuah masjid. Namun, jika tidak ada kubah, apakah lantas tidak bisa disebut masjid? Demikian halnya dengan tanda salib.

Arsitek dan Tanggung Jawab Sosial
Di samping persoalan fisik bangunan, harusnya, seorang arsitek memiliki tanggung jawab sosial. Ia tidak hanya memikirkan konstruksi bangunan, keindahan serta kemegahannya, tata letak, dan lain sebagainya. Namun, lingkungan, manusia, dan masyarakat secara umum harus pula dipikirkan, diikutsertakan.

Hal ini, salah satunya, bisa merujuk pada perkampungan pinggiran kali Code Yogyakarta yang adalah karya Y.B Mangunwijaya. Perkampungan yang lorong-lorong dan kali-nya memiliki jejak tersendiri dalam memori saya. Romo Mangun, sang sastrawan merangkap arsitek itu, “menyelamatkan” warga Code yang waktu itu hampir tergusur karena tanahnya akan digunakan untuk pembangunan waduk Kedung Ombo. Ruang tinggal mereka akhirnya menjadi hunian yang indah, bahkan proyek ini dianugerahi Aga Khan Award for Architecture pada 1992.

Selain itu, ada Eko Prawoto yang membantu para korban gempa di Yogyakarta pada 2006. Dia membuat proyek sosial untuk membangun rumah di Desa Ngibikan. Dia memberdayakan masyarakat setempat untuk proyek tersebut. Arsitek ini juga kerap disebut-sebut sebagai murid Romo Mangun.

***
Begitulah, sebuah ruang atau tempat, kota ataupun desa, bahkan sintetis antara keduanya, selalu menyimpan jejak. Selayaknya, seorang arsitek pun bisa mengetahui bangunan yang mewakili penghuninya. Tidak harus merujuk pada kekinian. Prestis. Keuntungan. Tapi bagaimana sebuah bangunan bisa menjadi bagian diri penghuninya. Hingga tak ada lorong kampus yang lebih mirip ruang tunggu di rumah sakit. Juga kantin di kampus saya yang beberapa tahun belakangan tidak lagi “nyastra”. Tapi gedung tinggi di depan itu sungguh ekonomi, dan tempat yang asoy untuk bunuh diri.

Thursday, June 7, 2012

perbincangan diri #3

Ada lubang dalam dirimu. Entah di bagian mana. Tapi kamu memilih untuk membuta dan menuli. Hingga akhirnya lubang itu semakin dalam. Semakin lebar. Dan kamu tidak mampu menutupnya kembali.

Maka, sejatinya yang kamu butuhkan hanyalah hening. Tafakkur. Sesungguhnya apa-apa yang terjadi adalah pertanda. Dan hanya mata hati yang mampu membuka tabirnya. Membangkitkan sadarmu yang telah lama lumpuh.

Sesakit apapun yang kamu rasakan dalam hidupmu, semoga tak membuatmu kehilangan jernih jiwamu.

Wednesday, June 6, 2012

teruntuk kamu yang telah pergi


Oh ternyata ini jawaban ketawa ngakak seharian tadi. Ternyata ini jawaban perasaan nggak menentu beberapa hari terakhir. Ternyata ini.

Kamu pergi

Sungguh tidak menyangka akan secepat ini. Semendadak ini.

Selamat bertemu sang Kekasih sejati. Selamat berbahagia di sana. Aku tahu ini yang kamu tunggu-tunggu. Semoga kamu sedang tertawa-tawa saat ini. Semoga kamu sedang makan kacang koro.

Terima kasih dan mohon maaf untuk semuanya.

Hoooaaaaaaaaa T___T

*Aku janji nggak akan lupa pake jaket kalo keluar malam.

Tuesday, June 5, 2012

pulang

*Maap yak, lagi gak ada ide buat nulis nih. Ini tulisan zaman dahulu kala banget. Tapi gak semuanya tak posting sih. Tak ‘bersambungin’ ajah. Hehe. Oh ya, ini dimaksudkan sebagai cerpen. Tapi kok ya seperti ini ya..ah mbuh lah..


Empat tahun, berlalu begitu saja. Sudah banyak yang berubah. Jalanan semakin lebar dan halus. Tidak seperti dulu waktu aku masih SD. Hujan menjadi musibah besar karena kami harus bertelanjang kaki dan baru memakai sepatu ketika tiba di sekolah. Takut sepatu kami kotor karena lumpur. Tapi sekarang aku yakin tak ada anak-anak yang bertelanjang kaki ketika pergi ke sekolah. Dan tak ada kolong meja penuh rontokan tanah yang menempel di sepatu.


Pohon-pohon besar di pinggir jalan itu sudah musnah. Banyak bangunan baru. Ada warung baru. Ada rumah baru. Rumah-rumah yang dulu mau ambruk sekarang sudah berdiri menjulang. Rumah yang dulu paling megah sekarang tidak ada apa-apanya, kalah dimakan usia. Mushola bercat hijau itu kini masih berdiri tegak. Meskipun dindingnya mulai retak. Masih ada bahkan semakin banyak coretan di dinding itu. Coretan tangan kreatif anak-anak yang mengaji. Ada gambar hati, panah, juga tidak jarang coretan dengan huruf arab. Entah apa artinya.


Samar-samar terdengar nadhoman imriti dilagukan, aku hanya bisa tersenyum. Dulu aku dan kawan-kawanku belajar mati-matian menghafal tiap nadhoman. Was-was kalau ditanya dan tidak bisa menjawab. Imbasnya akan fatal, ustadz kami tidak akan berhenti menasihati, mengoceh lebih tepatnya. Beberapa umpatan ringan akan singgah di telinga kami. Sekarang, hafalan-hafalan itu lenyap, tak berbekas.


Aku pulang.


Jika pulang selalu dikaitkan dengan rumah, maka aku tidak masuk dalam kategori itu. Karena aku tidak punya rumah. Jika pulang juga selalu dikaitkan dengan ayah ibu yang menunggu, maka aku sudah lama tidak melaksanakan ritual itu.


Aku masih tertunduk. Aku tidak ingin berlama-lama menjadi pemandangan yang asing. Meskipun hanya ada beberapa lampu di jalan, tapi kupikir orang masih bisa mengenali wajahku. Maka kututup sebagian wajahku dengan ujung kerudung. Aku membiarkan sekian mata yang bertanya-tanya. Dan kadang kudengar orang menyebut-nyebut namaku. Tapi aku diam saja. Langkah kupercepat.


Aku sudah tahu kemana harus pergi. Paling ujung jalan ini ada sebuah bangunan berbentuk kotak yang semoga saja masih bisa kukenali. Tiba-tiba langkahku gemetaran. Aku ingin berbelok dan berlari menjauh dari sini. Mungkin harusnya aku memang tidak pernah kembali lagi. Tapi nyatanya aku tidak bisa. Ada perasaan yang mendesak-desak untuk sekadar melihat masa lalu.


Dan, ya, kini aku telah sampai di sebuah bangunan yang dulu kusebut sebagai rumah. Yang kini lebih mirip kuburan. Muram. Aku menghela nafas panjang. Aku mengucap beberapa kali kalimat salam, tapi tidak ada jawaban. Aku masuk ke dalam. Tidak ada suara. Aku masuk semakin dalam. Dan kutemukan kakek. Lelaki tua itu. Masih seperti dulu. Aku menghampirinya. Mencium tangannya.


Mataku terasa panas.


Bersambung..


Monday, June 4, 2012

Suhuchi, selamat ulang tahun

Aku gak tahu, Hu, ini ulang tahunmu yang ke berapa. Ah gak penting juga lah ya. Semoga kamu selalu menjadi yang bijak, yang tulus, yang penuh kasih, yang selalu bermanfaat buat banyak orang. Semoga segera menikah. Segera punya kambing dan sawah. Hidup di desa seperti keinginanmu. Ah dasar manusia posmo. Tapi semoga kamu tidak meninggalkan Jogja dulu. Paling nggak dua tahun ini lah, Hu. Ah tapi siapa juga yang bisa melarangmu. Ah!

Terima kasih sudah menjadi kakak sekaligus guru yang selalu bijak. Terima kasih atas obrolan semalam suntuk yang selalu menakjubkan. Terima kasih atas semua ilmu dan nasihat yang Suhu berikan. Maaf, aku masih selalu jadi murid yang bandel. Masih suka menjajah singgasanamu. Masih manja. Masih belum bisa naek motor jugak. Masih suka begadang di warung kopi. Ah kamu sih Hu yang nularin.

Salam keharmonian sejagat untukmu, Hu.

*Nah, kalau pulang kampung dengan buku sebanyak di kamarmu itu kan ngerepotin, Hu. Gimana kalau diwariskan ke aku. Hehehe.
*Hu, kali ini aku mau ditraktir. Yok ayok.

Sunday, June 3, 2012

KOLONIALISME DALAM BEBERAPA WAJAH

Judul Asli: Dalam Bayang-Bayang Kolonialisme, Filologi dan Studi Sastra
Penulis : Sudibyo
Penerbit : Unit Penerbitan Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Tebal : 301 Halaman


Sejatinya, kolonialisme di Indonesia belumlah berakhir, hanya berganti wajah. Masyarakat pascakolonial di negara-negara bekas jajahan dihadapkan pada kondisi yang serba ambigu. Di satu sisi mereka hidup dalam warisan sistem kolonial yang terlanjur mengakar, tetapi di sisi lain mereka ingin resisten.

Hal ini pulalah yang ingin dikemukakan oleh Sudibyo dalam bukunya yang dibagi menjadi dua belas bab dalam enam bagian besar ini. Kedua belas bab ini sebenarnya adalah mozaik terpisah, tetapi kemudian disatukan oleh satu tema pokok, yaitu kolonialisme. Adapun yang menjadi konsentrasi Sudibyo dalam pembahasan kolonialisme tersebut adalah persoalan-persoalan dalam bidang filologi dan sastra.

Ideologi Kolonialisme dan Pertemuan Kolonial
Kita tahu, filologi di Indonesia tumbuh dan berkembang dalam tradisi orientalisme. Pada masa itu, para filolog membuat batasan yang tegas antara Barat dan Timur sehingga filologi seringkali digunakan sebagai mesin hasrat kolonial. Menghadapi hal tersebut, menurut Sudibyo, diperlukan adanya upaya kartografi hasil kajian filologi serta mempertimbangkan ulang tradisi suntingan teks atau kritik teks. Dengan kata lain, dekolonisasi metode penelitian filologi mendesak untuk dilakukan.


Selanjutnya, pertemuan-pertmuan antara pihak penjajah dan terjajah mememunculkan berbagai wacana kolonial. Dalam hal i, Sudibyo melihatnya dalam beberapa tokoh yang terlibat dengan “tuan-tuan” kolonial, misalnya, Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi dan Rafles; Ranggawarsita dan C.F. Winter; dan beberapa Raja Nusantara pada penguasa Eropa yang kesemuanya menggambarkan hubungan antara “diri” dan “liyan”.

Selain itu, Sudibyo juga memaparkan wacana kekuasaan dan negara yang diambil dari Babad Tanah Jawi, Hkayat Raja-Raja Pasai, dan Hikayat Hang Tuah yang ketiganya membentuk wacana tunggal, yaitu, Raja sebagai penguasa yang memiliki kesaktian luar biasa. Baik di Jawa maupun Melayu.

Masih dalam bidang filologi, Sudibyo kemudian menjelaskan fenomena pernaskahan dan perteksan dalam tradisi sastra Melayu klasik. Naskah-naskah tersebut antara lain Hikayat Banjar, Hikayat Muhammad Hanafiyah, Hikayat Sri Rama, Hikayat Indraputra, dan Hikayat Iskandar Zulkarnaen. Dalam naskah-naskah tersebut dapat dilihat bahwa proses transmisi mutlak diperlukan guna memahami fenomena pernaskahan dan perteksan itu sendiri.

Wacana Kolonial dalam Sastra
Wacana kolonial hampir selalu bersinggungan dengan subjek terjajah. Dalam hal ini, kaum bumiputra selalu dihadapkan pada posisi itu. Di bagian ini ada laporan perjalanan Van Goens yang dinilai berat sebelah karena terlahir dari prasangka-prasangka stereotipe. Dalam banyak hal, laporan-laporan perjalanan inilah yang seringkali menjadi acuan Barat untuk mendeskripsikan Timur. Bahkan, laporan perjalanan merupakan cikal bakal munculnya cerita-cerita perjalanan yang bertumbuh dari tradisi sastra Eropa.

Selain laporan perjalanan tersebut, karya sastra juga memegang kendali. Bab Citra Kuli di Deli dalam Novel Berpacu Nasib di Kebun Karet, Kuli, dan Doekoen Karya Madelon Szekely-Lulofs menghadirkan analisis yang tajam mengenai komunitas diaspora kulit putih yang disandingkan dengan nasib para kuli atau orang-orang yang terpinggirkan. Ketiga novel ini menambah daftar panjang karya sastra Hindia-Belanda yang menjustifikasi eksploitasi dan kekuasaan.

Yang juga tak luput dari pandangan Sudibyo adalah Tetralogi Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca) karya Pramoedya Ananta Toer. Dalam tetralogi ini, Sudibyo menitikberatkan pada persoalan nasionalisme. Tetralogi Buru dianggap sebagai novel bildungsroman. Selain itu, Tetralogi Buru pun berhasil mengungkap persoalan bangsa dan antarbangsa secara kuat.

Selain novel, salah satu cerpen Y.B Mangunwijaya juga menjadi perhatian Sudibyo. Cerpen Saran “Groot Mayor” Prakoso mengungkap pola hubungan hegemoni dan resistensi masyarakat pascakolonial. Melalui cerpen tersebut terlihat bagaimana Mangunwijaya secara konsisten melakukan asketisme intelektual. Menurut Sudibyo, Mangunwijaya mampu menciptakan distansi dan bersikap kritis terhadap situasi. Ia mampu keluar dari segala keterikatan serta segala dominasi sosial terhadap dirinya.

Buku ini merupakan salah satu referensi yang bagus dalam studi-studi kolonialisme dan poskolonialisme. Sudibyo menggali secara mendalam dan memberikan cara pandang yang berbeda terhadap persoalan-persoalan sastra dan filologi. Menariknya, dalam buku ini daftar pustaka dihadirkan per bab. Namun, sayangnya, dalam buku ini masih begitu banyak kata maupun tanda baca yang luput dari perhatian editor sehingga cukup mengganggu. Sayangnya lagi, buku ini hanya dicetak terbatas sehingga kekayaan pengetahuan Sudibyo mengenai persoalan kolonialisme dan poskolonialisme pun agak sulit dijangkau.

Saturday, June 2, 2012

mie instan, episode kenangan


Dalam jagat per-mie instan-an saya berani diadu. Haha. Lima tahun menjadi mahasiswa adalah waktu yang cukup bagi saya untuk malang melintang di dunia instan2an ini. Baiklah, berikut ini adalah beberapa mie instan favorit, yang menurut saya bisa bikin lidah joget-joget.

Indomie Goreng. Siapa yang gak tahu makanan ajaib satu ini. Sungguh laknat dia. Dalam jarak 10 meter aromanya saja bisa bikin laper tiba-tiba. Menurut saya dia punya aroma yang khas. Paduan mie yang kenyal dan bumbu yang pas menjadikan mie ini menjadi alternatif utama saat kelapan datang menghardik. Kalau sebungkus masih terasa laper tapi dua bungkus nggak habis, sekarang udah tersedia yang ukuran jumbo. Itu sama kayak ukuran satu setengah.

Indomie Goreng Jumbo Rasa Ayam Panggang. Ini adalah indomie goreng andalan. Tekstur mie-nya mirip mie keriting. (oh mie keriting. Betapa enaknya jenis mie satu itu). Dilengkapi dengan sayuran kering dan bakso. Bumbunya pas. Dikasih potongan cabe lebih mantap. Meskipun ukurannya jumbo, dua porsi pun saya bisa menghabiskan mie satu ini. Hehe.

Nah, kalau mau yang agak pedes tanpa dikasih cabe dan beraroma ikan, ada Indomie Goreng Cakalang. Kalau yang ini bumbunya agak menusuk menurut saya. Tapi enak juga kok. Indomie Goreng Sate juga enak. Apalagi ditambah sate beneran.

Mau yang anget pas hujan-hujan? Mie Sedaap Rasa Kari Spesial cukup bisa jadi teman istimewa. Kuahnya yang kental, meskipun mienya gak begitu kenyal, cukup mampu bikin senyum-senyum sendiri sambil ngeliatin ribuan pasukan air yang turun ke bumi. Sebenernya, mie dengan rasa kari yang enak tuh mie Kare. Kuahnya bisa kentel banget gitu. Tapi sayangnya ini udah nggak diproduksi lagi (atau saya yang gak pernah ketemu?). Padahal sumpah enak banget. Bumbunya nendang!

Ada juga sih kalau mau yang nendang-nendang lagi. Indomie Rasa Empal Gentong. Bumbunya merasuk dengan potongan daging kecil-kecil. Nah, mungkin karena saya suka yang bumbu-bumbu nendang itu, saya pernah muntah pas nyobain yang rasa cakalang tapi versi yang kuah. Itu kuah warnanya pucat dan rasanya hambar. Uh!

Suka soto? Sarimi jagonya. Bumbu sotonya menurut saya lezat, ditambah dengan koya dan rasa mienya yang lembut. Koyanya pun macem-macem, ada yang pedes, gurih, sampe jeruk nipis. Indomie Soto saya rasa masih kalah dengan mie satu ini. Lagian, mie ini mengambil tempat tersendiri dalam masa kanak-kanak saya. Iklan om jinnya itu lho yang bikin senyum-senyum sendiri.

Ada mie yang menurut saya juga enak banget. ABC Selera Pedas Rasa Sup Tomat. Rasanya bisa asem-asem seger gitu. Karena saya emang penggemar tomat, jadinya sering saya tambah dengan potongan tomat juga. Mantap abis! Lagian tekstur mie ABC ini beda dengan mie-mie yang lain. Kenyal tapi juga lembut. Ini kalau dimakan pas hujan-hujan juga enak banget.

Selain makan mie pas hujan-hujan, sensasi makan mie yang cukup menyenangkan adalah makan Pop Mie di kereta. Rasanya ada magnet yang menrik-narik saya untuk selalu membeli mie ini kalo pas lagi di kereta. Yang paling saya suka adalah yang rasa bakso. Harganya bisa tiga kali lipat sih kalo di kereta gini.

Oh ya, mie Nissin dan mie Gaga ada yang enak juga lho. Saya lupa yang rasa apa. Soalnya emang jarang banget beli mie ini. Yang sering saya beli cuma versi bihun. Yang bihun ini sering saya campur sayuran dan bakso. Enak gilak. Eh iya ada Mie Gelas jugak. Enak sih. Tapi jelas ini cemilan doang. Gak nyampe perut. Hehe.

Hemm, baiklah, saatnya saya ngasih tau kenapa saya nulis mie-mie tadi. Lengkap dengan merknya. Saya nggak dibayar sepeserpun kok. Sebenarnya ini hanyalah tulisan untuk mengenang. Mengenang segala rasa mie instan yang ajaib karya anak bangsa yang patut diacungi jempol. Kenapa mengenang? Karena, sekitar satu setengah bulan yang lalu saya berjanji untuk tidak menjamah mie instan lagi. Alasan klisenya adalah demi kesehatan.

Meskipun saya sering mengabaikan rumor zat lilin, pengawet, MSG yang menempel pada si mie instan, sebenernya saya ngerasa ngeri juga sih. Apalagi kesehatan kita berhubungan dengan generasi berikutnya. Apasih jadi ngomong kesehatan gini. Ah.

Saya, yang tau jenis mie apa hanya dari mencium aromanya beberapa meter, ternyata cukup mampu menahan diri untuk tidak makan mie instan lagi. Meskipun godaannya gila-gilaan. Kadang kangen juga kebangetan.

Nah, suatu ketika, seseorang yang tau ikrar saya untuk tidak menjamah mie instan lagi, membelikan saya mie yang tanpa pengawet dan rendah lemak. Healtimie. Warnanya ijo. Sebelumnya kami sempat memperbincangkan mie ini di YM. Waktu itu mie-nya belum ada di Jogja. Dan sekarang udah tersebar dimana-mana. Mie-nya kayak mie gepeng. Ada potongan wortel dan sayur lainnya. Jadi warnanya menarik. Sayangnya belum ada versi kuah.

Tulisan ini saya dedikasikan kepada seseorang yang mengenalkan mie lumut itu, satu-satunya mie yang menyertakan akun faceboook dan twitter di bungkusnya. Makasih ya. Mie-nya cukup enyak kok :)

Friday, June 1, 2012

mbul aku kangen koe mbuuuuul :(



Mbul, aku gak ngurus yo mbuh koe ngomong aku lebay toh alay. Aku encen lebay tur alay. Seng penting aku pengen nules. Wong sak jagat ngerti yo rapopo. Yo ben. Malah apik. Ben dikandakno koe. Aku kangen koe mbul. kangen banget sumpah! Koe neng endi? Di sms gak dibales. Ditelpon malah mbak operator seng ngomong og piye.

Piye kabarmu mbul? Koe ijek nang jeporo po? Po wes nang yogjo? Jangan-jangan koe disekap mbokmu yoh. Astaghfirlloh. Tak dongakno koe sehat wal afiat mbul. Aku sayang karo koe (asemik aku dadi koyo lesbi).

Wes pirang ulan jal ra ketemu? Terakhir ketemu kan pas pendadaranku kae. Tego men koe. Iku wae ra sempet ngobrol2. Jerene pengen crito. Kene mbul, kupingku wes siap. Suwengi yo rapopo. Karo nonton film yo asik. Aku yo ndue crito uakeh. Asoy lo critoku.

Koe ora diciulik alien toh? Nek diculik aku mbok dijak. Kan aku seng pengen diculik alien. Kok malah koe seng ngilang. Ndang cepet mbalek mbuul. Eh, jangan-jangan koe rabi karo kancil yoh? Asemik ra ngomong-ngomong. Asemik aku didisik’i! Ra trimo! Sik sik, koe ora sido dijodohno karo wong tuwek sugeh kae toh? Mugo2 ora ya alloh.

Mbul ayok mangan soto meneh. Referensiku wes tambah akeh tentang dunia persotoan. Ayo tak tantang. Koe wani ra nek rong minggu sarapan soto terus? Berturut-turut. Koe durung tau nyobo soto ngarep asrama andalanku toh? Koe mesti ketagihan. Yakin.

Oh iyo, berita gembira. Awak dewe meh ndue ponakan. Raiso mbayangno aku si mustice meteng. Bocah kurune ngono ndang meteng og. Jal dibayangno jal. mesti lucu. Saiki ra ono seng isok dijak gendeng meneh. Ternyata ngene yo rasane ditinggal konco ki. Dunia rasane berakhir og ra ono koe2 ki. Mustice yo kangen karo koe. Koe sering tak rasani karo dekne.

Koe njaluk tak parani po? Nek aku ngerti posisimu tak parani tenang og. Sayange aku ra ngerti. Aku yo ra ngerti omahmu. Nomere kancil kae ternyata ora kesimpen.

Mustice nek nang yogjo mesti nggarap skripsi. Ndredeg ketemu pinus. Koyo aku mbiyen. Hehe. Si Bayu yo wes mulai nggarap skripsi. Wingi tulisane tak woco. Tapi yo ijek amburadul ra jelas kae. Tapi aku seneng paling gak dekne wes gelem mbukak skripsi. Bobi yo mulai nggarap. Ternyata bocah kae wes dadi juragan iwak. Koe piye? Ndak wes tau ketemu pak faruk? Ayo mbul dimulai sithik-sithik. Ayo tak ewangi sak isoku. Wong liyo iso tak ewangi mati2an ngopo koe kok malah ora? Aku sedih ik nek wisuda dewean ki. Mustice jerene ora wisuda :(

mbul bales smsku mbuuuuul. Angakat telponkuu. Jarang-jarang loh aku nelpon cah wedok ki..koe ra bangga po?

#mbul susi,mugo-mugo koe moco iki, po ono wong liyo seng ngandakno yo ra popo

Thursday, May 31, 2012

ada yang lebih penting dari sekadar....

lihat segalanya lebih dekat, dan kau bisa menilai lebih bijaksana

Itu adalah penggalan lagu Sherina yang berjudul “Lihatlah Lebih Dekat” yang masih sering saya dendangkan. Dan banyak hal yang jika dilihat lebih dekat, memang terasa menakjubkan.

Kadang, kita(?) hanya melihat sesuatu sambil lalu. Tanpa mencoba untuk memahami. Lalu terburu-buru menilai. Padahal, banyak hal tersembunyi disana. Yang layak untuk ditengok, dan dihayati.

Nah, mungkin hal-hal yang terlihat sepintas itu adalah hal-hal yang “seharusnya” menurut masyarakat umum. Harusnya begini dan harusnya begitu. Namun, dibalik yang “seharusnya” itu ada “yang lebih penting” sih menurut saya.

Daaaan..menurut saya, berdasarkan pengalaman nyata, ada yang lebih penting dari sekadar

... keuntungan yang banyak
Saya punya seorang teman. Dia adalah direktur di penerbitnya. Sebuah penerbit yang mungkin tidak begitu populer.

Suatu kali si teman ini menjual buku-buku diskonan, yang harganya jadi benar-benar anjlok dari harga pasar. Untuk itu dia membikin rak buku di kamarnya. Jadilah dinding itu dak dok dak dok selama dua hari. Saya turut serta dalam proses itu. Mulai dari inventaris buku-buku sampai nempelin harga, saya juga turut serta. Seharian. Sampai-sampai saya hafal di mana letak buku, covernya, dan harganya melebihi si teman.

Oya, selain menjadi direktur, dia adalah sekretaris sekaligus bendahara. Haha. Intinya, dia memegang sendiri penerbitannya itu. Kok bisa? Buktinya bisa. Sudah puluhan buku yang terbit. Dan penerbit ini memang tidak membatasi satu jenis buku tertentu. Apa aja dibabat. Mulai dari sastra sampai buku doa untuk anak-anak. Nah, itulah mengapa saya sering terlibat dalam acara rekap merekap itu.

Suatu kali seorang teman lain bertanya, “ngapain sih kamu jualan buku kayak ginian? Untungnya apa? Buang-buang tenaga.”

Memang si teman direktur ini nggak bakalan kekurangan uang meskipun tiap hari dia cuma duduk leyeh-leyeh sambil fesbukan dan minum susu beruang kesukaannya. Dan memang kalau dilihat-lihat, apa yang dilakukannya adalah tindakan yang buang-buang waktu dan tenaga.

Terhadap pertanyaan tadi itu, dia nggak njawab. Cuma senyum.

Tapi suatu ketika, dia bilang pada saya, “aku ngelakuin kayak gini tuh jangan dilihat keuntungannya. Kalau masalah untung, mungkin gak cukup buat makan, mungkin malah rugi. Coba liat berapa orang yang mau bekerja jadi sales buku. Mereka pernah meminta pekerjaan, jadinya aku bikin kayak ginian. Seneng rasanya kalau mereka mau bekerja.”

Seperti halnya dia, saya hanya senyum mendengar. Tidak bisa berkata-kata. Heeem. Di saat semua orang berkutat dengan untung rugi dan tunduk pada permainan pasar, dia masih memikirkan orang lain. Dan memang kebanyakan buku yang diterbitkan oleh penerbit miliknya itu adalah untuk menolong teman-teman yang punya karya tetapi nggak punya duit. Penerbit miliknya tidak memiliki karyawan tetap, setiap orang digaji sesuai dengan kerja yang dilakukannya.

Dan saya hanya menggumam dalam hati “Masih ada ya orang kayak gini. Ternyata.”

*oh ya, dia juga seorang dosen di sebuah universitas swasta di Jogja

... mempertahankan hubungan
Apa gunanya seseorang di sampingmu, tetapi hatinya tidak? Tapi kamu matian-matian mempertahankannya, berjuang untuknya. Hingga pada satu titik kamu pun kelelahan, tapi tak mau mengakui penyesalan.

Baiklah, mungkin kamu sedang berusaha untuk meyakinkan dirimu bahwa ‘dia akan berubah menjadi lebih baik’. Aku mengamini itu.

Tapi saat aku bertanya, “kamu bahagia?” matamu sungguh tidak bisa bohong. Dan pandangan matamu dipertegas dengan lisanmu. Kamu merasa dihianati. Berkali-kali dihianati. Kamu merasa berjuang sendirian dan tidak dipedulikan. Tapi lagi-lagi ini adalah pilihanmu. Keputusanmu, yang kamu bilang benar-benar matang. Tak mengenal kompromi. Tapi menurutku, kamu sedang diperbudak egomu.

Dan sekarang, kamu memutuskan untuk bertahan. Mempertahankan hubungan yang sudah terlanjur menjadi ikatan resmi. Tidak ada jalan lain, katamu.

Melepas. Adalah satu kata yang memang tidak pernah ada dalam kamus hidupmu. Itu kesimpulanku selama berkawan denganmu. Kamu selalu “harus” mencapai apa yang kamu inginkan. Dalam segala hal. Tidak peduli apa pun. Dan kali ini pun aku mencoba maklum.

Ah, sekali lagi, “apakah kamu bahagia?” Tapi sepertinya itu adalah pertanyaan yang cukup membebanimu.

Harusnya, kamu layak berbahagia. Maaf, kali ini aku mungkin sedang tidak bijak menilaimu.

*kepada seorang kawan

... lulus cepat
Siapa yang tak suka lulus cepat, hingga terhindar dari pertanyaan-pertanyaan menyebalkan seperti “skripsi udah nyampek mana?” “kok lambat banget sih, ngapain aja?” “kapan ujian” “kapan lulus?” “eh, seangkatan cuma kamu aja ya yang belum lulus?”. Orang yang nanya gitu disetiap kesempatan berpapasan pasti belum pernah tau rasanya digampar. Yakin.

Ada banyak hal yang sebenarnya bisa dinikmati, dipelajari, dihayati, dalam proses panjang berskripsi. Misal, berkumpul dengan sesama penderita skripsi adalah hal yang sangat bergizi. Seringkali kita bisa tahu hal-hal yang tak terduga. Memahami orang dari sisi lainnya. Hingga berujung sering maen ke kosnya. Haha.

Mengenal lebih banyak adik angkatan adalah kelezatan yang lain lagi. Ini bisa bikin kita lebih muda. Dan biasanya adik angkatan ini lebih jago kalau nggosip tentang dosen. Apalagi adik angkatan yang juga lagi skripsi. Wuih, jiwa raganya pasti lagi dipenuhin tentang si dosen pembimbing, dan seorang ini menyenangkan untuk diajak ngobrol.

Biasanya, kita juga jadi akrab dengan teman se-dosen pembimbing atau se-teori. Merasa senasib. Beban rasanya sedikit berkurang. Bisa sharing ini itu. Dan seringnya ini menjadi obrolan yang berkualitas. Ini penting! Karena teman yang kayak gini bisa di-sms tengah malem sekadar nanya teori yang bikin insomnia. Dan pasti sms itu berbalas. Dan berlanjut pada sms-sms yang melenceng jauh dari si teori tadi. Hohoho..

Saya kok yakin ya, kalau hal-hal kayak gini gak pernah dialami mereka yang lulus cuepat. Kebanyakan orang yang lulus cepat, apalagi kecepetan, itu ujung-ujungnya kesepian. Soalnya temen-temennya masih pada enjoy. Hehe. Gak kenal temen. Soalnya udah melesat pergi entah kemana. Mbuh nding :p

*mudah-mudahan ini bukan menjadi pembelaan dan kambing hitam

Nah nah, gak harus untung besar, mempertahankan hubungan, dan lulus cepet kan? Ada yang lebih penting dari itu.

Tapi terserah kamu jugak sih.. enjoy!


Wednesday, May 30, 2012

tantangan saya terima!

Pembaca budiman, ini berita penting. Selama lima belas hari kedepan blog ini akan update. Ini adalah proyek sok-sokan teman saya untuk menulis tiap hari di blog. Tulisan boleh apa aja. Apa aja boyeh. Tapi syaratnya adalah tiap hari harus ada postingan. Tiap hari! Oh betapaaaa

Yang menang boleh makan mie sepuasnya. Hahaha. Gak penting sih, tapi yoi!

Oke, tantangan saya terima! Itung-itung ngisi waktu selo (yang tidak selo) yang amat lezat dan sebentar lagi usai..

*Dinyatakan menang ketika gak pernah absen nulis/posting. Enjoy!

Sunday, May 27, 2012

Ngawur Karena Benar ala Sujiwo Tedjo

Tadinya saya mau nulis tentang buku yang menurut saya sangat ciamik. Tentang kritik arsitektur oleh Avianti Armand. Tapi berhubung saya belum selesai membaca buku itu, jadinya terpostinglah ini. Tulisan ini sebenarnya hanya mengumpulkan ingatan biar nggak tercecer sia-sia aja sih.

Bersama seorang kawan, semalem saya dateng di acara bedah buku Ngawur Karena Benar-nya sang Presiden Jancukers alias Sujiwo Tedjo di Djendelo cafe. Kira-kira pukul 18.30 tikar yang disediakan panitia sudah penuh manusia, hampir tidak ada celah. Tapi alhamdulillah karena tubuh saya kecil, saya bisa ndresel-ndresel dan duduk dengan nyaman.

Tak berapa lama kemudian Sujiwo Tedjo (Mbah Tedjo) datang dengan dandanan khasnya: topi koboi, jaket kulit hitam, sarung, dan selop. Ada alasannya mengapa si Mbah mengenakan itu semua. Konon, topi koboi ini adalah hadiah seseorang waktu si Mbah manggung di Australia, memakai sarung biar nggak kejepit resleting, dan selop adalah bukti kecerdasan manusia Indonesia yang memodifikasi sepatu yang datangnya dari budaya Eropa. Dan ternyata wajah beliau lebih muda dari yang saya bayangkan. Entah sih ya, kenapa semakin berumur, lelaki justru semakin keren sih. Haha. Lupakan!

Si Mbak MC sekaligus moderator yang kalau gak salah namanya Ajeng membuka acara dengan suara yang renyah. Kaos dan kerudungnya yang merah membikin suasana malam itu jadi bersemangat. Setelah berbasa-basi sebentar tentang buku dan penulisnya, akhirnya tibalah giliran Mbah Tedjo memberikan pengantar terhadap bukunya.

Oke, biar tulisan ini gak terlalu bertele-tele dan saya juga harus membagi waktu untuk nyetrika, saya persingkat saja tulisan ini. Setidaknya, diskusi dengan si Mbah Tedjo bisa dirangkum dalam tiga poin. Tuhan, cinta, dan bangsa.

Tuhan
Semalam, topik tentang Tuhan menjadi perbincangan yang hangat. Mbah Tedjo percaya bahwa segala sesuatu yang terjadi sudah direncanakan oleh Tuhan. Kita hanya menjalankan skenario. Kita hanya berperan sesuai dengan skenario yang sudah ditulis tersebut. Dan yang menggerakkan segala pilihan kita adalah Tuhan.

Tokoh panakawan yang disebut-sebut oleh Mbah Tedjo adalah Semar. Semar adalah panakawan yang manunggal dengan Tuhan. Segala gerak geriknya adalah bentuk ibadahnya kepada Tuhan, termasuk ngupil dan melirik perempuan. Iya juga sih ya, bukankah kenikmatan Tuhan itu begitu luar biasa dalam segala hal. Dalam konteks melirik, bukankah kita bisa bersyukur telah diberikan mata sehingga bisa ngeliat makhluk Tuhan yang kinclong nan mempesona.

Bahwa segala sesuatu itu ada maksudnya yang kadang kita terlalu bebal untuk bisa mengerti. Semisal, demo kenaikan BBM beberapa waktu yang lalu. Coba liat berapa pedagang asongan yang bisa makan karenanya. Segala sesuatu harus terjadi untuk segala sesuatu yang lain. Ini sebenarnya ada hubungannya dengan Sastra Jendra, tapi sayangnya saya tidak bisa menjelaskan lebih tentang itu.

Oya, menurut si Mbah, harusnya Tuhan itu tidak maha Esa, tapi maha kosong. Karena kekosongan bisa menampung semuanya. Di sini kosong, dan bukan nol. Karena nol itu angka yang punya nilai, tapi kosong bukan angka. Nol ada dalam kosong. *sambil nginget2 pelajaran matematika waktu smp

Cinta
Tapi ini adalah topik yang paling menarik menurut saya. Ya, segala hal yang menyangkut cinta-cintaan itu selalu menarik. Hehe. Kebanyakan dari kita sering bilang kalau “cinta itu butuh pengorbanan”. Bener? Nah, menurut Mbah Tedjo, kalau kita udah ngerasa berkorban, itu udah bukan cinta lagi. Kadar kecintaan kita udah berkurang dan perlu dipertanyakan. Gini nih maksudnya, kalau kita melakukan sesuatu untuk orang yang kita cintai, jangan merasa berkorban, tapi asyik-asyik aja. Mau hujan-hujanan, mau nunggu sampe karatan juga kalau alasannya cinta gak usah merasa berkorban. Enjoy aja ngejalaninnya. Biarin orang lain menilai berkorban, tapi kita nggak usah merasa berkorban.

Hal lain tentang cinta adalah kisah Rama dan Sinta. Kata si Mbah, sebenarnya Sinta tuh nggak cinta sama Rama. Dan sebenernya Sinta yang pingin diculik sama Rahwana. Alkisah, Sinta bosan sama Rama yang nggak ada cacat-cacatnya, yang lurus-lurus aja, ganteng dan nggak pernah selingkuh. Ibarat di sinetron peran itu dimainkan oleh Dude Herlino, yang kata temen saya, dialah cowok paling absurd sedunia.

Si mbah bilang, pada dasarnya, perempuan tuh gak suka lelaki yang lulus-lurus aja. Gak ada sensasinya katanya.(Halah2, sok tau wae si Mbah ki sebenere). Nah, jatuh cintalah Sinta dengan Rahwana yang slengekan itu. Tapi kalau mau dirunut, menurut salah satu versi, nggak salah juga kenapa Rahwana menculik Sinta. Sebeneranya Rahwana pernah bertapa selama 50000 tahun untuk memenggal kepalanya yang sepuluh. Ketika kepalanya tinggal satu, dewa turun dan menggagalkan rencana bunuh diri Rahwana. Karena dengan kematiannya, dunia ini nggak bakalan jalan. Harus ada yang berperan menjadi jahat untuk mengimbangi yang baik. Karena kesediaannya, Rahwana dijanjikan dua hal, yaitu kesaktian tiada tara dan perempuan paling cantik sedunia alias Dewi Widowati. Dewi Widowati inilah yang menitis ke Sinta.

Nah, bukankah Rahwana hanya menjemput cintanya? Asemlah kenapa tiba-tiba muncul kata menjemput cinta gini.


Bangsa
Yang perlu diluruskan adalah Indonesia bukan 350 tahun dijajah. Si Mbah Tedjo menawarkan diksi ‘350 tahun melawan’. Menurut saya ini benar, bukankah yang dijajah hanya para raja yang bersedia bekerja sama dengan pemerintah kolonial guna melanggengkan kekuasaanya? Bukankah rakyat tetap melawan? Diksi “dijajah” inilah yang seringkali menimbulkan sikap inferior. Buku-buku sejarah di sekolah sudah selayaknya dirombak. Oh ya, dalam buku Bukan 350 Tahun Dijajah karangan G.J Resink disebutkan bahwa sebenarnya Indonesia hanya(?) 40 tahun dijajah, waktu 310 tahun digunakan oleh Belanda untuk mencari strategi menaklukan bangsa Indonesia. Ajib kan..

Pernyataan Mbah Tedjo yang menurut saya menarik adalah, manusia Indonesia yang selalu tersenyum dalam keadaan apapun ini mustahil bisa dijajah. Mungkin yang dijajah adalah fisiknya, tapi hatinya nggak mungkin bisa ditembus. *manggut2*

Bahwa dunia digerakkan oleh perempuan, si Mbah Tedjo menyetujui itu. Segala macam perang, industri, dan politik terjadi akibat persaingan antarperempuan. Hahaha.

Sebenernya masih banyak hal yang diungkapkan Mbah Tedjo dalam perbincangan kurang lebih dua jam itu. Ada soal hukum, etika, politik, tentang panakawan, blablabla. Tapi berhubung memori saya tidak terlalu bagus untuk menampung semuanya, dan saya yag udah nggak tahan ngeliat tumpukan baju yang berantakan, jadinya saya sudahi saja ya tulisan kali ini. Enjoy!

Eh, tapi saya belum menjelaskan kenapa itu judul bukunya Ngawur karena Benar, ya? Dan mengapa bukan Benar karena Ngawur? Oke, dikit aja tapi ya. Biar Anda membaca bukunya langsung.

Ngawurisme sebenarnya adalah istilah yang digunakan si Mbah Tedjo untuk membobol kesopanan yang dibuat-buat, munafik. Ngawur ini cenderung pada urakan, tapi bukan kurang ajar. Urakan mengacu pada pelanggaran aturan, juga pikiran, karena tidak sesuai dengan hati nurani. Kurang ajar mengacu pada pelanggaran oleh dorongan nafsu sesaat. Hati nurani ini beda dengan perasaan. Perasaan sering membohongi, tapi hati nurani adalah ketika kita bisa merasakan ketulusan atau tidak.


Ah..wes yaa..setrikaku wes panass...

Friday, May 25, 2012

kepada Bapak dan Ibu terkasih

Sebenernya, saya pengen nulis proses panjang selama mengerjakan si skripsi, atau memposting kata pengantar yang sempet-sempetnya di coret-coret si dosen. Tapi entah mengapa saya justru nulis ini.

Saya nggak tau ini tulisan efek nonton film korea atau apa, yang ceritanya tentang hubungan orang tua-anak melulu. Atau efek hipnotis si mas-mas bergitar di LIP tadi yang sungguh sangar tapi ibarat sambel dia kurang pedes. Haha.

Alkisah, Bapak saya, lelaki berambut gondrong itu, beberapa hari yang lalu menelpon.

Ann, lagi lapo? Wes maem? (Ann, lagi ngapain? Udah makan?)” Suara di seberang sana. “Ann” adalah panggilan kesayangan beliau kepada saya.

Wes, Bapak. Saiki lagi moco-moco wae sih nang ngarep leptop. (udah, Bapak. Sekarang lagi mbaca-mbaca aja sih di depan leptop)” Terkutuklah saya karena tidak pernah boso pada orang tua sendiri.

Penggawean kok mocooo ae (kerjaan kok mbacaa mulu),” ucapnya sambil terkekeh. Dan saya hanya menjawab dengan “hehehe”.

Kemudian obrolan berlanjut pada hal inti. Yang untuk inilah Bapak saya menelpon. Dan obrolan dengan orang tua seputar mau ngapain setelah lulus kuliah itu sungguh uh uh uh!

Iya, saya ditanya panjang lebar seputar setelah lulus mau ngapain. Kerja atau sekolah? Kalau kerja mau kerja apa? Kalau sekolah lagi udah siap belum? Mau sekolah di mana? Untungnya opsi ‘menikah’ tidak turut serta. Haha.

Dan sungguh sangat berat menjawab pertanyaan ini.

Pengene kerjo ndisek sih, tapi gak ngerti, ijek bingung, (pengennya kerja dulu sih, tapi belum tahu, masih bingung)” jawab saya asal. Dan betapa obrolan ini sungguh kaku.

Cah cilik iso kerjo opo? (anak kecil bisa kerja apa?)” Suara Bapak saya terkekeh lagi. Ah, sial! Saya masih selalu dianggap sebagai gadis kecilnya yang suka ngemut choki-choki. Padahal sampe sekarang juga masih iya sih. Hehe.

Nek ijek pengen sekolah, yo sekolah wae. Mumpung durung akeh tanggungan (kalau masih pengen sekolah, ya sekolah aja. Mumpung belum banyak tanggungan).”

Dan saya hanya bisa menjawab “hemmhemmhemm” sambil senyum-senyum najong.

Memutuskan untuk sekolah lagi itu bukan hal yang mudah. Banyak hal yang saya pertimbangkan. Saya masih pengen maen-maen. Pengen ngelakuin ini itu. Pengen kesana-kemari. Tapi suatu saat saya juga pengen sekolah lagi. Ah!

Sedikit banyak saya tahu, alasan apa yang membuat Bapak saya secara tersirat menyuruh saya untuk sekolah lagi. Tidak lain tidak bukan adalah senang melihat anaknya bisa sekolah. Lantaran Bapak dan Ibu saya tidak pernah mengenyam bangku sekolah seperti saya. Beliau berdua hanya lulusan SMP. Soal apalagi kalau bukan soal ekonomi.

Beliau berdua tidak mengenal Pramoedya Ananta Toer, Leo Tolstoy, Umberto Eco, apalagi Foucault. Tapi beliau senang setiap kali melihat anaknya membaca buku, bercerita tentang tokoh ini itu. Dulu sekali, kalau listrik lagi padam dan saya sedang belajar, Bapak selalu mengusahakan penerangan, agar saya nyaman belajarnya.

Saya bersyukur punya beliau berdua yang tidak pernah mempersoalkan nilai akademik. Sejak kecil saya tidak pernah disuruh belajar, malah sering dilarang-larang. Gak pernah dimarahin gara-gara nilai. Tapi beliau juga seneng kalau saya telpon dan ngabarin IP cumlaude, meskipun beliau gak ngerti cumlaude itu apa.

Nah, mendengar mereka menginginkan saya sekolah lagi itu terasa sangat menyenangkan. Beliau berdua menyekolahkan saya juga dengan kerja keras tentunya. Beliau tidak pernah protes saya milih jurusan apa dan di mana. “Terserah, sing penting tanggung jawab, (terserah, yang penting tanggung jawab)” kata beliau. Saya masih ingat pesan ketika saya mau berangkat ke Jogja waktu itu. “kuliah itu diniatin nyari ilmu. Gak usah pengen jadi ini atau itu.” Dan ini sungguh so sweet menurut saya.

Apa yang bisa dibanggakan dadari anak konyol seperti saya. Saya tidak pernahercita-cita menjadi orang besar. Menjadi tokoh atau apalah yang selalu disorot. Dari dulu saya lebih senang menjadi orang di balik layar. Padahal, orang tua saya mungkin senang jika kelak saya memiliki profesi yang prestisius. Yang selalu berada di depan. Sayangnya saya tidak bisa dan tidak suka, maafkan.

Ah, entahlah..

Itulah mengapa saya mengurungkan niat untuk tidak berwisuda. Terasa sangat egois dan jahat ketika saya merenggut kebanggaan beliau yang ingin melihat saya bertoga. Sesuatu yang tidak pernah beliau alami.

Intermezo sebentar, ada satu momen yang sangat saya ingat bersama Bapak. Waktyu itu saya masih TK. Malam hari, purnama, Bapak memboncengkan saya di sepeda. Kami melewati sebuah kuburan. Dan kala itu saya bertanya, “Bapak, kenopo toh mbulane kok melu terus? (Bapak, kenapa sih bulannya kok ngikutin terus?) Dan dengan suara menahan tawa, Bapak saya cuma bilang, “engko nek sampean wes gedhe yo ngerti dewe (nanti kalau kamu sudah besar juga tahu sendiri).” Entah kenapa itu adalah momen yang sungguh tak terlupakan bagi saya. Mungkin itu sebabnya setiap melihat bulan selalu ada romantisme tersendiri. Mungkin itu pula sebabnya saya pernah bercita-cita pergi ke bulan. Hahaha

Mungkin beliau berdua tidak membaca ini. Jelas tidak karena tidak bisa menggunakan internet. Tapi melalui catatan sederhana ini saya hanya ingin berucap terima kasih. Bapak, Ibu, di manapun kalian berada sekarang, terima kasih untuk semua yang telah kalian berikan kepada saya. Saya belum bisa dan mungkin tidak bisa membalas segala kebaikan dan cinta kasih kalian. Doakan selalu anakmu yang masih terlalu manja diusianya yang sudah 22 tahun ini, yang dengan surat keterangan lulus entah akan berbuat apa.


Kita memang tidak bisa memilih dilahirkan dari rahim siapa dan hidup di keluarga mana, tapi saya bersyukur terlahir dari rahim ibu saya dan menjadi bagian dari mereka ^____^

*ditulis dengan mengulang-ulang lagu “hanya satu”nya Mocca di playlist

Wednesday, May 9, 2012

jadi, Nis, kamu yang melupakan waktu, atau waktu yang justru melupakanmu?

demi waktu,
dari subuh hingga maghrib,
dari maghrib hingga subuh lagi,
dan detik-detik yang semakin menderas
aku lupa berucap syukur

aku malu
ampuni aku

kini terimalah aku,
di sajadahMu

"lalu waktu bukan giliranku," kata Amir Hamzah

Saturday, May 5, 2012

perbincangan diri #2

#ah, hubungan antar manusia, mengapa bisa begitu kompleks?

bagaimanapun, kita tidak akan pernah bisa benar-benar paham tentang seorang manusia. beratus-ratus buku ditulis, seminar dan diskusi diselenggarakan, tapi tidak ada keputusan final tentang masalah satu itu. nah, justru disitulah menariknya. kalau manusia bisa dikonsepkan, bisa dirumuskan, apa bedanya dengan konstruksi sebuah bangunan?

hati, nona, yang membedakannya. dan hati manusia, siapa yang tahu kedalamannya?

setiap orang, siapa pun itu, yang meninggalkan jejaknya di hidupmu, jangan pernah dilupakan. jangan lantas menganggap keberadaan mereka tidak pernah berarti. bahwa semuanya terjadi tidak begitu saja terjadi. ada maksudnya. ada jalinan cerita selanjutnya. lihatlah lebih dalam lagi. aku pikir benar, bahwa kehadiran seseorang tidak akan pernah bisa digantikan seseorang yang lain. manusia diciptakan sebegitu spesifiknya.

kejadian-kejadian, dan segala macam hubungan yang pernah kamu alami, seraplah, terimalah dengan lapang. serupa mozaik, potongan-potongan partikel itu akan melengkapi hidupmu. kalau salah satu kamu buang, bukankah menjadi tidak seimbang?

teruslah bertumbuh dan berproses, nona. butuh waktu, memang.


*semoga semua makhluk berbahagia. selamat waisak, teman-teman :)

Jatuh Cinta Seperti di Film-Film

 Halo! Apa kabar? Semoga kamu baik, ya.  Kamu sudah nonton Jatuh Cinta Seperti di Film-Film ? Aku sudah. Dua kali di bioskop.  Setelah nonto...