Monday, November 9, 2015

lambung dan antasida

Aku memandangi keringatnya yang menetes-netes. Bersinergi dengan mulutnya yang tak henti mengunyah. Diselingi huh hah huh hah kepedasan. Nasi di piringnya masih cukup banyak. Itu berarti aku masih bisa memandanginya cukup lama. Makananku? Sudah kuhabiskan. Aku sengaja menghabiskannya cepat-cepat. Lagian, separuh porsi nasiku kualihkan ke piringnya. Tentu saja agar aku bisa melakukan ini: memandanginya selagi makan. Kesempatan ini, sedetik pun, tak boleh kusia-siakan.

Perlu kau tahu, kami menjalani hari-hari dengan serangkaian perdebatan.

Aku bilang dia terlalu serius menghadapi hidup. Dia bilang aku harus sesekali baca buku filsafat. Biar gak baca komik terus. Buang-buang waktu, katanya. Aku hendak membantahnya. Dia bilang tak ada gunanya. Dia bilang aku tak peduli derita orang lain. Aku bilang dia menteri urusan orang lain. Dia memaki. Aku ngakak.

Dia bilang sastra Indonesia harus berterima kasih pada Pramoedya Ananta Toer. Aku bilang dunia sastra Indonesia harus berterima kasih berjuta-juta pada Raditya Dika. Dia ngotot itu bukan karya sastra. Aku tidak peduli. Aku tak suka Pram, tulisan-tulisannya terlalu pahit. Dia bilang Pram menulis kehidupan. Kemudian dia menyarankanku membacai novel-novel para pemenang nobel. Penulis-penulis hebat, katanya. Aku malas membacanya. Dia bilang aku pemalas seperti babi. Babik!

Dia suka musik-musik indie macam Sisir Tanah dan Efek Rumah Kaca. Aku suka Peterpan-Noah. Dia mencibir habis-habisan. Dia bilang aku hanya suka tampang vokalisnya. Aku tak membantah. Percuma.

Dia merokok. Aku ingin merokok tapi tak berani. Dia bilang aku pengecut. Sialan. Maka aku hanya memandanginya menghembuskan asap dari mulutnya. Semacam ‘huh’ yang sangat pelan. Kemudian tercipta bulatan-bulan asap itu. Bagus sekali. Aku suka sekaligus iri.

Maka, tempat ini adalah satu-satu yang mampu membuat kami bersepakat: sambalnya mantap. Kami tak menemukan kata-kata untuk mendeskripsikannya. Dia bilang tak usah dideskripsikan, kata-kata tak mampu menampung kenikmatannya. Aku setuju. Dalam hal persambalan, aku dan dia tak pernah beradu pendapat. Kami juga sama-sama menyukai sambal kemasan yang terkenal dari Surabaya itu. Meskipun agak kebanyakan minyak, komposisi sambal itu pas.

Tentu tidak semua urusan lidah kami bersepakat. Dia suka makanan bersantan. Aku ogah. Dia suka gudeg. Aku menolak mentah-mentah. Delapan tahun di kota ini tak membuat lidahku jadi multikultural. Sejak awal lidahku menolak makanan satu itu. Dia bilang lidahku Jawa Timur sentris. Hahaha. Dia suka makan mie, aku juga sangat suka. Tapi dia aktivis anti-mie instan. Aku koki jagoan urusan mie instan. Dia lalu bicara ngalor ngidul tentang hegemoni dan kapitalisme. Aku muak sekali.

Dan ketika aku tahu tempat ini akan tutup buat selamanya, aku sedih luar biasa. Aku tanya kenapa? Si penjual yang tampangnya mirip Aqi Alexa ini bilang ia bosan. Bosan? Aku tak percaya sambal selezat itu dibuat oleh orang yang sedang bosan. Ia akan kembali ke kampung asalnya, sebuah desa di Lamongan (oya, aku sering ngobrol dengan si dia tentang diaspora Lamongan di seantero jagad), ia tak mau bilang apa alasannya. Aku bilang sayang kalau dilepas, toh warung makan ini tak pernah sepi pembeli. Si penjual hanya senyum tak mau menanggapi lagi.

Sebentar, bagaimana bisa orang menutup warung yang laris hanya karena soal bosan? Apa dia tidak memikirkan pelanggan yang akan merindukan masakannya? Lebih jauh, apa dia tidak tahu, di luar sana banyak orang yang usahanya gulung tikar? Sementara ia hanya menutup warung hanya gara-gara bosan? Cih!

Dari bangunannya, warung ini biasa saja. Sedikit kumuh malah. Bungkus krupuk bertebaran di lantainya. Letaknya di pertigaan. Dekat pos ronda. Pos ronda itulah yang seringkali digunakan orang-orang untuk makan kalau kursi panjang yang disediakan telah penuh. Dan kami sedang duduk di pos ronda itu.

Jadi, ini adalah makan terakhir kami di warung yang besok akan tutup selamanya.

“Bukankah si penjual itu sangat egois?” dia melontarkan pertanyaan tiba-tiba, sambil menyedot es tehnya. Nasi di piringnya sudah tandas. Yang tersisa hanya potongan timun di pinggir piring. Seketika aku mengalihkan pandangan ke jalanan. Tak mau kedapatan memandanginya.
“Egois, kan?” dia agak sebal karena aku tak kunjung mengiyakan. Sedikit merengut. Betapa rupawannya. Ah!
“Aku tidak percaya alasannya karena bosan. Pasti ada alasan lain. Pasti!” Dia masih tidak terima warung ini akan tutup.

Keringatnya masih menetes satu dua. Aku tak hendak memberikan tisu. Biar. Begitu lebih enak dipandang.

Lalu, yang terjadi adalah adegan yang kutunggu-tunggu: dia menaruh rokok di bibirnya. Satu tangannya menyalakan korek api. Tangannya yang lain melindungi api dari angin. Satu dua tiga. Dia menghisap rokoknya dalam-dalam. Dan…keluarlah asap rokok yang kusukai itu.

“Iya. Sangat egois. Persis seperti aku, kan?” akhirnya aku bersuara. “Dan sebagai sesama orang egois dan mudah bosan, aku memahami pilihannya.”

Dia menungguku melanjutkan kata-kata.

Orang kan berhak menentukan pilihannya masing-masing, kataku. Jawaban khas orang egois, dia bilang. Lalu kami bersikukuh pada pendapat masing-masing.

Sudah kubilang, hanya sambal lezat itu yang mampu membungkam mulutku dan dia. Bagaimana kalau warung pemilik sambal lezat ini tutup?

“Jadi kamu rela warung ini tutup selamanya? Kamu rela kehilangan sambal terlezat di dunia?” dia menggugat. Aku diam saja.

Lebih dari dia, lebih dari dari siapapun, aku adalah orang yang paling sedih mengetahui warung ini akan tutup selamanya. Ini bukan perkara sambal terlezat sedunia. Bukan. Kau jelas tahu ini perkara apa.

Ah!

Jatuh Cinta Seperti di Film-Film

 Halo! Apa kabar? Semoga kamu baik, ya.  Kamu sudah nonton Jatuh Cinta Seperti di Film-Film ? Aku sudah. Dua kali di bioskop.  Setelah nonto...