Thursday, June 14, 2012

kota yang gagal dikenang

Membaca keempat sajak Indrian Koto tentang kota, saya tidak ingin menganalisisnya dari teori puisi yang rumit, yang tentu saja sudah saya lupakan. Saya ingin melihatnya justru dari sisi arsitektur. Karena, membaca sajak-sajak Koto seperti membaca pengalaman dan kegelisahan Avianti Armand yang ditulis dalam buku Arsitektur yang Lain.

Jika dibagi dalam tataran waktu, keempat sajak Koto bisa dirangkum dalam masa lalu, masa kini, dan masa depan. Masa lalu dalam sajak-sajak ini terkesan begitu harmoni. Dalam sajak “Yogyakarta: Kelahiran Kedua”, awalnya kota menjadi tempat yang nyaman dengan bermacam grafiti di tembok-temboknya. Perasaan-perasaan akan keindahan muncul layaknya remaja yang jatuh cinta. Betapa jatuh cinta saat remaja adalah hal yang sulit dijelaskan keindahan serta kegembiraannya.

Namun, masa kini dalam sajak ini diwakili oleh gempa yang telah mengubah suasana harmoni tersebut menjadi konflik. Barangkali karena banyaknya jalan yang retak dan rumah yang ambruk, bangunan-bangunan baru pun menjamur. Kebangkitan dari ‘keretakan’ dan ‘keambrukan’ itu ternyata over dosis. Kota yang sunyi tiba-tiba berubah menjadi padat. Berbanding lurus dengan kegelisahan. Si aku menjadi diri yang asing, yang lain. Bangunan-bangunan tersebut gusar dan saling bersaing. Tidak saling melengkapi.

Si aku berhadapan dengan ruang yang semakin menyempit. Berdesakan. Jalan yang sunyi dan daun gugur hanya tinggal kenangan yang dirindukan. Namun, kenangan itu gagal dihidupkan karena terdesak oleh bangunan-bangunan baru yang mengepung. Bangunan-bangunan lama hanya tinggal nama. Seperti bioskop tua yang terpaksa gulung layar. Hanya romantisisme tentangnya yang masih bergaung.

Namun seperti kekasih aku pun enggan melepasmu. Ia mencintai kota dengan segala kecintaan yang nanar. Meskipun Ia lahir kembali bukan di sebuah tempat yang sunyi. Tetapi penuh teror kecemasan. Awalnya ia memandang kota dengan mata yang takjub. Namun, masa kini tidak mengizinkan ketakjuban itu berulang. Sehingga pertanyaan-pertanyaan tentang kota pun bermunculan. Kegelisahan yang menggebu.
Masa kini menjadi semakin sesak. Jalan-jalan sempit/ kendaraan penuh dan saling menjepit/. Di mana kepadatan kuantitas sebuah kota tidak diimbangi dengan kualitatifnya. Sehingga di sini aku nyaris tak mengenal kami lagi. Sehingga hari depan menjadi begitu meresahkan.

Gedung baru dan lampu yang berpijar tidak mampu memberikan kenyamanan awal yang dirasakan oleh si aku. Justru hal-hal tersebutlah yang menggusur kenyamanannya. Kota yang diimpikan oleh si aku adalah kota yang sunyi dengan daun gugur di jalanan yang sepi. Juga sungai Code yang alami seperti perawan yang sedang tumbuh ketika subuh.Hal ini mengingatkan saya pada lagu “Resah”nya Payung Teduh. Aku ingin berdua denganmu, di antara daun gugur. Aku ingin berdua denganmu, tapi aku hanya melihat keresahanmu.

Ketika berada dalam kondisi kota yang terbelenggu dalam politik identitas, yang bergerak untuk menuju yang lebih 'megah', si aku hanya bisa mengutuk sambil menghidupkan lagi kenangan. Namun, sayangnya, kenangan tak mampu dihidupkan kembali. Ia terdesak oleh lahan parkir dan kampus yang berdiri angkuh. Kegelisahan-kegelisan tersebut berlanjut ketika si aku dihadapkan pada rumah-rumah susun, pinggiran kali, dan kecemasan para penganggur. Yang paradoks dengan mini market 24 jam dan kedai makan impor. Kedai dengan kaca-kaca transparan tempat bersarangnya modal. Bangunan-bangunan tersebut tersuguhkan dalam suasana kota yang hiruk pikuk.

Sapen, yang dulu adalah kampung penyamun, yang masih sunyi, kini pun telah berubah. Menjadi lain. Menjadi asing. Hutan dan belukar berubah kampung dan kamar-kamar/ kegelapan berubah kampus, berubah hotel, berubah pusat perbelanjaan/ masa depan ditanam, kampung digusur, orang-orang berebut datang/ siapa peduli masa lalu kampung ini/ mereka membutuhkan warung makan, laundry, kios pulsa dan sewa murah/.

Bangunan-banguna baru, apa pun bentuknya itu, menjadikan diri semakin asing, bahkan di tanah sendiri. Warnet, rental komputer, dan fotokopi telah menjadi kebutuhan primer orang-orang yang berebut datang itu. Tak ada lagi ruang sosial yang hangat. Semua bertekuk lutut pada modal. Dan jejak masa lalu terabaikan. Ya, siapa yang mau ambil pusing. Harusnya, diantara bangunan yang ramai tersebut, diri menjadi riang, namun sayangnya sepi justru mengoyak. Dan Chairil mencibir, “mampus kau dikoyak-koyak sepi”.

Namun, apa pun itu, ia merasa dilahirkan kembali. Dilahirkan dengan segala kondisi yang melingkupi kota “yang baru”. Dilahirkan untuk mengakrabi dan bergelut dengan kota “baru tersebut”. Berebut tempat dengan kecemasan. Bukan kota “yang dulu” yang membuatnya seperti remaja yang jatuh cinta. Kini Ia telah dewasa dan merasakan patah hati.

Kembali ke masa lalu pun, ke Langgai, ia terkejut oleh keadaan yang sudah berubah. Tak lagi lengang. Si aku menjadi semakin asing. Sebab masa depan terpancang pada antena para bola dan seragam sekolah. Si aku kembali ditempatkan pada ruang ‘realitas’ yang membuatnya gusar.

Dalam “Sosrodipuran” si aku berhadapan dengan rumah dan pintu yang terbuka. Rumah semacam simbol tempat diri berpulang. Namun, ia pun kembali dihadapkan pada kenangan dan kegelisahan. Mengenang yang singkat, mengabaikan yang telah/ dan akan terus berjalan. Seperti tubuhmu, pohon/ kecil yang merangkak jadi remaja/.

Namun, rumah memang tak selamanya mampu menjaga. Ini seperti yang dikatakan oleh Avinati Armand, bahwa rumah telah menjadi semacam ruang transit. “Rumah, juga kota, telah jadi sangat cair, di mana ruang-ruang antah-berantah mengambil bentuk yang spontan, sebuah kepulauan urban dalam mana “ruang-ruang tinggal” adalah pulau-pulau dalam lautan luas yang dibentuk oleh “ruang-ruang pergi” (Armand, 2011: 12).

Kegelisahan akan kota yang telah menjadi hiruk pikuk dan berdesakan tersebut juga dapat dilihat dalam tulisan Avianti yang berjudul “Sembarang Kota”. Adalah tentang pertahanan kota terhadap kapitalisme. Ya, tak satu kotapun yang mampu bertahan. Satu demi satu kota terperangkap pada jaring-jaring kapitalisme. Bandung, yang dulu sempat punya satu mal dan wisatawannya masih senang makan batagor, kini sudah banjir mal, restoran, juga distro. Masjid tua Banten pun mengalami nasib yang sama, sekeliling masjid telah dipenuhi orang berjualan ini itu. Tak ada lagi keagungan masa lalu dan juga kesakralannya. Begitu pula Cirebon dan Palembang.

Dan Yogyakarta, persis seperti yang disajakkan oleh Koto, juga mulai ikut tergerus dalam jaring-jaring tersebut. Di daerah kos saya, baru-baru ini sudah lebih dari tiga restoran dan satu hotel berbintang muncul. Pusat perbelanjaan di seberang jalan itu juga ujug-ujug ada di sana. Sampai-sampai saya lupa bangunan sebelumnya itu apa.

Namun, berbeda dengan Koto, Avianti melihat (atau menemukan?) resistensi di antara keterbatasan ruang yang dikuasai modal. Homo Jakartensis, merujuk pada istilah Seno Gumira Ajidarma, mampu mengisi ruang kosong yang memungkinkan untuk menghirup udara. Sedangkan si aku dalam sajak-sajak Koto larut kedalamnya. Ia tidak sempat (atau tidak bisa?) melakukan apa pun terhadap keadaan kota yang semakin menekan mendesak tersebut.

Entahlah, barangkali si aku memang lebih memilih untuk terus mengenang. Meskipun akan sangat panjang jalannya setelah ini. Meskipun kota itu tak lagi sunyi. Ah, seberapa sunyi kah kamu?

Wednesday, June 13, 2012

selamat ulang tahun, bumil :)



tulisan ini kubuat 10 hari setelah hari ulang tahunmu.

gimana rasanya 24 tahun? biasa aja? semoga tidak. paling tidak sekarang kamu merayakannya dengan penghuni baru di rahimmu. selamat untuk itu. turut berbahagia, sangat bahagia.

nah, karena kehadiran si baby itu, kamu harus bisa lebih menjaga kesehatan. jangan makan yang pedes-pedes (sial, gak ada partner makan mercon lagi). gak boleh makan mie instan. sering jalan-jalan. ojo malesan. ojo begadang. ojo tangi awan terus. ojo stress, tapi skripsi kudu tetep dikerjakne sih.

banyak hal yang diam-diam kupelajari darimu. meskipun kita sering berbeda pendapat,tapi sebenarnya aku iri padamu yang bisa berpikir praktis. yang masih selalu kuingat adalah semboyan dahsyatmu dalam persoalan cinta segitiga. "daripada sing loro telu, mending sing loro siji wae". pancen gendeng kowe! mungkin sekarang gak ada lagi teman yg bisa diajak 'gendeng2an'. masa-masa itu sudah harus berakhir. masa muda yang bergelora. ah!

kamu yang cerewet. kamu yg tidak mengenal kompromi. kamu yang suka 'bengak-bengok'. kamu yang suka bilang 'gek ndang toh nis'. aku sering kangen sebenarnya. terlebih setelah kamu jarang di jogja.

terima kasih atas persahabatan yang hangat. maaf aku belum bisa jadi teman yang baik.
semoga di 24 ini kamu semakin dekat denganNya. semakin bijak dalam menghadapi segala hal. sudah saatnya menghadapi segalanya dengan kebijaksanaan, tidak melulu ego dan perasaan.

selamat menjadi ibu. aku menyayangimu :)

didedikasikan kepada Mustika Sari Cahyaningtyas
*jebule koe wes tuwo yo ce. 24 ik. haha

ah asik, aku mbiyen tau nulis koyok ngene jebul


ini rasa,
semoga nyala kembang api yang sejenak
bukan teduh kunang-kunang yang abadi
sungguh, air mataku telah mengkristal penuh

sebab mencintaimu.

-020109, saat hatiku sedang resah-


#berniat merapikan file, eh jebul ketemu tulisan kuwi. njut ngakak-ngakak dewe. jan rak mutu tenan aku mbiyen. iki pas aku lapo yo? ndandak resah-resahan rak cetho ngono :p
ah, enjoy!

Tuesday, June 12, 2012

mungkin beginilah rindu itu

Sudah hampir dua tahun saya meninggalkan bangunan indah nan megah itu. Asrama Mahasiswa Putri Ratnaningsih. Banyak hal yang terjadi selama tiga tahun saya tinggal di sana. Dan semuanya itu tidak bisa saya rangkum menjadi tulisan, sayangnya. Setiap kali melewati bengunan itu lagi, hanya ada satu perasaan: rindu. Namun, bangunan itu tak lagi sama. Kehidupan di sana pun sudah berbeda. Entah seperti apa. Ia dekat tapi jauh. Ia tak berjarak tapi tak tersentuh.

Banyak sekali yang saya rindukan. Dan hal-hal sepele inilah yang sering saya rindukan:

1.Rapat sampek malem banget di aula
2.Evaluasi warga baru
3.Himne Ratna Ningsih
4.Nonton film rame2..
5.Kenalan sama warga baru
6.Mbak Teny: sang pemadam kelaparan
7.Kamar 5X6 bertiga
8.M*nj*t pagar. Hehe
9.Makan bareng di blok 2, rujakan, ngerampok makanannya Fani
10.Ngelihat kembang api di balkon pas lagi tahun baru
11.Beli makan bareng di Pak Man
12.Suara airphone yang gak diangkat-angkat
13.Suara-suara kursi yg diseret tengah malem
14.Voly, basket, dan badminton yg penggemarnya semakin langka..
15.Panen mangga depan kamar, jambu, markisa, sukun, dan kadang-kadang rambutan dan pepaya
16.Buku-buku perpus yg berdebu
17.Buka puasa bareng, nyari saur bareng.
18.Bubur RN yg cuma setahun sekali
19.Suara kompor yg gasnya lagi habis
20.Bikin mie instan tengah malem
21.Minum kopi di koridor
22.Sarapan soto Pak Toni yang tinggal sodorin mangkok lewat pagar
23.Mengkliping koran
24.Bunga kamboja yang didaulat jadi lambang RN
25.Suara motornya Mbak Intan
26.Karyawan yg suka ngasih makanan sambil bersiul-siul nggak jelas
27.Berbagai jemuran: pemandangan tiap hari di depan kamar
28.Para klien yg mau konsultasi fashion
29.Teman-teman (cowok) yang menunggu di ruang tamu itu
30.Hujan-hujanan karena alasan kecerdasan
31.Jendela tinggi dan lebar itu

Tidak pernah merindukan--> pengelola asrama

Monday, June 11, 2012

Code yang mesra, yang intim

Entah kenapa saya selalu merasa tenang kalau melihat air yang mengalir. Dan sore tadi, dengan kepala yang rasanya nyutnyut, dari belakang kamar kos seorang kawan, saya menyempatkan diri untuk melihat sungai itu lagi. Akhirnya, setelah sekian lama.

Code,

Dalam sore yang sebentar tadi, ada kenangan yang tiba-tiba menyeruak. Masa awal kuliah banyak saya habiskan di belakang kos ini. Waktu itu kami masih lengkap. Masih sering memanjat pohon rambutan yang kini sudah mengering. Tapi pohon pepaya itu masih ada. Pohon sawo itu juga masih ada, tetap sama. Buahnya tidak pernah bisa dimakan.

Dan tadi saya sendiri saja. Satu teman sudah bekerja di kota lain. Satu teman sudah menikah dan tinggal di kota asalnya, dan hari ini jadwalnya datang ke kota ini. Satu teman sedang tidak ingin dihubungi. Satu teman sedang bersibuk menyelesaikan tugas akhir. Dan saya (masih) jadi seksi dokumentasi.

Code sore tadi, seperti sore-sore yang telah berlalu, masih tetap mesra. Beberapa perempuan masih mandi di sana. Menutup tubuhnya yang segar dengan kain sarung. Mengguyurkan air ke badannya dengan gayung. Di sebelahnya ada beberapa orang yang mencuci pakaian. Ada seorang lelaki tua sendirian memancing dengan khusyuk. Ada beberapa lelaki mengambil karung yang penuh dengan pasir. Ada anak kecil bermain layang-layang. Ada gadis-gadis remaja dengan bedak belepotan. Ada ibu-ibu bercengkerama di bawah terpal biru yang dibentangkan. Ada anjing-anjing yang lucu berkejaran.

Semua terjadi begitu saja. Begitu intim.

Rumah-rumah kecil yang berderet dan merapat itu, meskipun tidak seperti rumah-rumah kecil lain di sepanjang kanal kota Amsterdam yang gambarnya sering saya lihat di kalender dan wallpaper komputer, terasa begitu hangat. Gang-gang itu, lorong-lorong itu, seperti halnya kenangan, sesak dan panjang.

Sore tadi pula, di Code, ada kenangan lain yang tiba-tiba menyusup lembut. Tapi sore terlanjur berganti gelap. Seperti tak mau ditunda. Seolah tak mengizinkan ingatan bekerja lebih dalam. Entahlah.

*malam ini, tidak perlu pangeran hayalan, cukup seorang biasa saja yang membawakan segelas air dan obat flu di tangannya


Sunday, June 10, 2012

datang dan pergi

ternyata menulis setiap hari itu sulit. lima belas hari yang saya perkirakan akan longgar ternyata padat gilak. tapi bagaimanapun harus ada postingan. baiklah.

ini saya sedang ngurusin adek-adek kelas SMA saya yang mau SNMPTN di jogja. lima tahun yang lalu saya pernah menjadi mereka. dan lima tahun yang begitu panjang itu begitu saya nikmati. hingga saya juga begitu mencintai kota ini. masih enggan lepas tapi terkadang ingin lepas. dan sekarang saya sedang mengenang jejak yang telah berlalu.

lima tahun. orang-orang datang dan pergi. dan saya bisa merasakan pedih dan sepinya ditinggal teman-teman yang pulang kampung halaman, pergi ke kota lain, menikah, meninggal, bahkan menghilang entah kemana. gedung-gedung baru bermunculan. gedung-gedung lama terpendam. musim datang silih berganti.

lima tahun mendatang entah akan seperti apa. saya dan kamu pun tidak tahu. tapi saya sabar menunggu kejutan-kejutannya.

Saturday, June 9, 2012

sajak-sajak tentang kota

Masih dalam perbincangan tentang kota, berikut ini adalah sajak-sajak Indrian Koto yang saya dapatkan beberapa waktu yang lalu dalam sebuah diskusi di PKKH. Ada empat sajak. Mudah-mudahan besok ada waktu untuk sekadar analisis singkat, versi saya.

Yogyakarta: Kelahiran Kedua

I
di kota ini, aku merasa kembali dilahirkan

begitulah mungkin kita bertemu
aku orang asing mencari persinggahan
kau memberi tempat yang nyaman.

kumasuki lorongmu seperti remaja yang jatuh cinta
masa lalu kutorehkan dalam grafiti
tertulis di tembok-tembok kota, di makam-makam tua.

aku mendapati gempa yang singkat dan liar
seperti merapi, bibirku gemetar
aku melewati tenda pengungsian, jalan retak,
rumah ambruk dengan pikiran runtuh

setelahnya, aku merisaukan hari depan
seperti dikurung abu dan gempa subuh.
ia datang dengan banyak rencana
membangun tembok, menanam gedung, memanen warung cepat saji
dan menyepakati masa depan dengan siasat ganjil.

seperti kekasih aku pun enggan melepasmu.
aku merindukan nyala lampu, jalan sepi dan daun gugur di kota baru
dan code seperti perawan yang sedang tumbuh ketika subuh.

II
dari apa sebuah kota tegak berdiri?
jalan-jalan sempit
kendaraan penuh dan saling menjepit.

di sini aku nyaris tak mengenal kami lagi
politik menjadi begitu nyaring dan lantang
lampu merah terus ditancapkan
sepeda seperti kenangan yang terus dihidupkan.

dari apa sebuah kota diciptakan?
orang-orang berbondong datang
aku mendengar makian di jalan-jalan
traffic light tak menyala, awas ada galian,
diskon murah, warung makan, demonstrasi, aturan-aturan basi.
kekuasaan seperti terbuat dari pijar lampu dan gedung baru
masa depan seperti lahan parkir dan kampus yang berdiri angkuh.

dari apa sebuah kota dibangun?
rumah susun, pinggir kali, kecemasan para penganggur.
kota dikepung mini market 24 jam
kedai makan impor, kriuk ayam goreng diantar ke depan pintu.

di kota ini aku merasa kembali dilahirkan
berebut tempat dengan kecemasan
politik seperti orang tua nyinyir dalam kerangkeng masa lalu.


2012


Sosrodipuran

di kampung sosro aku merasa
punya rumah. ingatanku lekat pada
kanak-kanak yang sulit dihapal
keseluruhan. remaja tanggung
yang cemas akan masa depan, bergantung
pada tubuh yang mulai mekar.
aku meramal kalian dengan pura-pura
yang tulus. sehati-hati aku menyimpan
kenangan di pohon riwayat. terus mengakar,
terus menjulang menghadap langit.

di gang sosro, aku merasa
punya pintu untuk pulang, ika.
arthur, nanda, diah, tak pernah kehabisan cerita
mengenang yang singkat, mengabaikan yang telah
dan akan terus berjalan. seperti tubuhmu, pohon
kecil yang merangkak jadi remaja.
aku mengenang rara, anggi dan indi
berbagi cinta pertama, debar yang mula-mula.
lalu di mana winda, di mana
surat-suratku kini kau simpan?

aku mengingat semua dengan gamang
secemas aku melewati gang dan halaman kalian
aku mungkin tak pernah tersesat, sesekali lintang
menuntunku kembali pada rumah di mana peristiwa
tak pernah bergerak di sana.

rumah tak selamanya mampu menjaga.
aku mencemaskan kalian yang tumbuh dengan ganjil
di antara para pelancong, hotel dan kafe. aku takut
kalian tersesat di gang sebelah, di tempat orang-orang
menjajakan kesakitan atau berebut naik kereta, hilang ditelan
rel-rel yang kadang menyesatkan.

di sosrodipuran aku merasa kembali pulang.
kueja dengan sepenuh gugup.
kubiarkan kalian berkebun di hatiku,
kampung sempit tanpa halaman,
untuk dikunjungi ketika rindu.


2010


Ke Langgai ke Asal Leluhur

kami meluncur
ke langgai, ke asal leluhur
mengendarai nasib masing-masing.

jalan bebatu, lumpur dan bukit terjal
seperti silsilah yang sukar diurai
satu demi satu.
dari keriuhan kami datang
ke kampung lengang kami pulang.

kami menuju
langgai, ke hulu asal leluhur
rumah-rumah merenggas, memencilkan diri
dengan penghuni
hutan dan orang kampung
digasak sepanjang siang, sepanjang petang.

berapa harga sekilo nilam dan daun gambir?

di kampung hulu
masa depan terpancang
pada antena parabola dan seragam sekolah

kami menuju langgai
seperti perantau asing
yang gampang terpesona dengan asal sendiri.


2010


Sapen

mungkin akan sangat panjang jalanku setelah ini
akan kutinggalkan kau dan terus mengunjungi

kata orang: di sini dulu penuh belukar
terbenam dalam liar dan kutukan
mereka dengan gugup menghindar, dengan mata dan raut cemas
mereka berucap: “sarang penyamun, sarang penyamun..”

siapa yang tahu masa depan
kampung penyamun itu kini berubah menjadi lain
hutan dan belukar berubah kampung dan kamar-kamar
kegelapan berubah kampus, berubah hotel, berubah pusat perbelanjaan
masa depan ditanam, kampung digusur, orang-orang berebut datang
siapa peduli masa lalu kampung ini
mereka membutuhkan warung makan, laundry, kios pulsa dan sewa murah

sarang penyamun, kau tak mendengar itu lagi
ia menyerbu ke dalam warnet, kamar pengap, rental komputer dan fotokopi
di mana penduduk kampung ini kini
yang dulu terdengar begitu sangar dan kasar
menjadi orang asing di tanah sendiri.

di sapen, kampung yang menjadi sarang penyamun
orang-orang datang dan pergi, mencatat masa depan
saling menelanjangi di dalam kamar

aku akan terus mengenang
mungkin akan sangat panjang jalanku setelah ini.


2012

Friday, June 8, 2012

ruang, dan hal-hal yang melingkupinya

Selalu ada yang menarik dalam pembicaraan mengenai ruang, bangunan, kota, desa, dan segala hal yang melingkupinya. Saya bahkan mempercayai bahwa sebuah bangunan memiliki jiwa. Ia merekam jejak, merekam memori.

Saat menonton film, seringkali yang saya perhatikan adalah bangunan yang muram, lampu-lampu kota yang kuning, lorong-lorong panjang, juga jalan yang sering kali hiruk pikuk namun tiba-tiba sepi. Masih ingat film Before Sunrise? Selain obrolannya yang menyenangkan, dalam film ini penghadiran tentang sebuah kota juga sungguh memesona. Tapi mungkin ini dipengaruhi oleh Paris sebagai latarnya.

Pembicaraan menarik tentang kota dan para penghuninya pernah saya baca dalam Affair Obrolan tentang Jakarta karya Seno Gumira Ajidarma. Dalam bukunya tersebut, Seno melihat secara kritis apa-apa yang menghidupi kota. Dari gang sempit, jalan buntu, ruang tunggu, Ali Oncom, sampai buntil. Sisi-sisi romantiknya, juga kepalsuan-kepalsuannya.

Dan dua minggu yang lalu saya pun dipertemukan dengan buku berjudul Arsitektur yang Lain karya Avianti Armand. Jujur saya baru tahu kalau Avianti adalah seorang arsitek. Saya lebih mengenal namanya sebagai cerpenis. Beberapa cerpennya memang luar biasa. Dan membicarakan bukunya tentang arsitektur ini bagi saya tidaklah mudah. Saya begitu jatuh cinta pada buku ini.

Buku ini semacam kumpulan tulisan lepas. Tentang rumah, jendela, kosong, monumen, air, kitsch, dan lain sebagainya. Setidaknya ada 27 tulisan dalam buku ini yang ditulis dengan gaya puitis nan filosofis. Menurut saya, yang membuat menarik dalam buku ini adalah Avianti tidak hanya membicarakan bangunan dari sisi fisiknya. Ia menggali lebih dalam. Jejak dan memori diikutsertakan. Pertanyaan-pertanyaan mengenai eksistensi, guna, dan nilai pun tak luput dari perhatiannya.

Dalam tulisan kali ini, saya tidak akan membicarakan semuanya. Selain tulisan ini akan menjadi sangat panjang dan berkelok, karena keterbatasan waktu saya merasa tidak sanggup membahasnya secara keseluruhan.

Rumah
Buku ini mengawali pembicaraannya tentang sebuah rumah. Saya pikir, rumah memiliki definisinya sendiri bagi setiap orang. Namun, rumah selalu memberikan “rasa” tersendiri bagi saya. Perasaan-perasaan sentimentil selalu muncul setiap kali membicakan tentang hal satu itu. Bagi saya, dan mungkin sebagian orang, rumah adalah penerimaan. Maka tak jarang memilih pendamping hidup seringkali dianalogikan memilih rumah atau yang bisa menjadi rumah.

Nah, menurut Avianti, yang terjadi pada kaum urban, rumah kini telah bergeser sekadar menjadi ruang transit. Persinggahan. Orang dipaksa untuk keluar rumah dan terpental-pental dalam pergolakan waktu. Meminjam kalimat Avianti, kini rumah telah kehilangan batas definitifnya dan menjadi sangat elastis. Tidak ada lagi tempat yang kita kenali dan cintai. Dan seringkali orang membutuhkan momen, benda, bahkan seseorang untuk mengikat ingatan dan manjadikan rumah sebagai tempat yang intim.

Barangkali rumah memang tidak selalu ruang. Saya masih selalu teringat pada Old Shutterhand dalam Winnetou yang tidak pernah betah tinggal dalam sebuah ruang. Ia selalu merasa sesak dan tidak bisa bergerak. Karena, baginya, rumah adalah padang rumput.

Rumah bahkan meluas pada rumah Tuhan. Saya pikir, yang ingin ditekankan oleh Avianti adalah adanya keterjabakan pada hal-hal simbolik yang sering terjadi pada “rumah Tuhan”. Kubah, barangkali adalah simbol utama untuk mengenali sebuah masjid. Namun, jika tidak ada kubah, apakah lantas tidak bisa disebut masjid? Demikian halnya dengan tanda salib.

Arsitek dan Tanggung Jawab Sosial
Di samping persoalan fisik bangunan, harusnya, seorang arsitek memiliki tanggung jawab sosial. Ia tidak hanya memikirkan konstruksi bangunan, keindahan serta kemegahannya, tata letak, dan lain sebagainya. Namun, lingkungan, manusia, dan masyarakat secara umum harus pula dipikirkan, diikutsertakan.

Hal ini, salah satunya, bisa merujuk pada perkampungan pinggiran kali Code Yogyakarta yang adalah karya Y.B Mangunwijaya. Perkampungan yang lorong-lorong dan kali-nya memiliki jejak tersendiri dalam memori saya. Romo Mangun, sang sastrawan merangkap arsitek itu, “menyelamatkan” warga Code yang waktu itu hampir tergusur karena tanahnya akan digunakan untuk pembangunan waduk Kedung Ombo. Ruang tinggal mereka akhirnya menjadi hunian yang indah, bahkan proyek ini dianugerahi Aga Khan Award for Architecture pada 1992.

Selain itu, ada Eko Prawoto yang membantu para korban gempa di Yogyakarta pada 2006. Dia membuat proyek sosial untuk membangun rumah di Desa Ngibikan. Dia memberdayakan masyarakat setempat untuk proyek tersebut. Arsitek ini juga kerap disebut-sebut sebagai murid Romo Mangun.

***
Begitulah, sebuah ruang atau tempat, kota ataupun desa, bahkan sintetis antara keduanya, selalu menyimpan jejak. Selayaknya, seorang arsitek pun bisa mengetahui bangunan yang mewakili penghuninya. Tidak harus merujuk pada kekinian. Prestis. Keuntungan. Tapi bagaimana sebuah bangunan bisa menjadi bagian diri penghuninya. Hingga tak ada lorong kampus yang lebih mirip ruang tunggu di rumah sakit. Juga kantin di kampus saya yang beberapa tahun belakangan tidak lagi “nyastra”. Tapi gedung tinggi di depan itu sungguh ekonomi, dan tempat yang asoy untuk bunuh diri.

Thursday, June 7, 2012

perbincangan diri #3

Ada lubang dalam dirimu. Entah di bagian mana. Tapi kamu memilih untuk membuta dan menuli. Hingga akhirnya lubang itu semakin dalam. Semakin lebar. Dan kamu tidak mampu menutupnya kembali.

Maka, sejatinya yang kamu butuhkan hanyalah hening. Tafakkur. Sesungguhnya apa-apa yang terjadi adalah pertanda. Dan hanya mata hati yang mampu membuka tabirnya. Membangkitkan sadarmu yang telah lama lumpuh.

Sesakit apapun yang kamu rasakan dalam hidupmu, semoga tak membuatmu kehilangan jernih jiwamu.

Wednesday, June 6, 2012

teruntuk kamu yang telah pergi


Oh ternyata ini jawaban ketawa ngakak seharian tadi. Ternyata ini jawaban perasaan nggak menentu beberapa hari terakhir. Ternyata ini.

Kamu pergi

Sungguh tidak menyangka akan secepat ini. Semendadak ini.

Selamat bertemu sang Kekasih sejati. Selamat berbahagia di sana. Aku tahu ini yang kamu tunggu-tunggu. Semoga kamu sedang tertawa-tawa saat ini. Semoga kamu sedang makan kacang koro.

Terima kasih dan mohon maaf untuk semuanya.

Hoooaaaaaaaaa T___T

*Aku janji nggak akan lupa pake jaket kalo keluar malam.

Tuesday, June 5, 2012

pulang

*Maap yak, lagi gak ada ide buat nulis nih. Ini tulisan zaman dahulu kala banget. Tapi gak semuanya tak posting sih. Tak ‘bersambungin’ ajah. Hehe. Oh ya, ini dimaksudkan sebagai cerpen. Tapi kok ya seperti ini ya..ah mbuh lah..


Empat tahun, berlalu begitu saja. Sudah banyak yang berubah. Jalanan semakin lebar dan halus. Tidak seperti dulu waktu aku masih SD. Hujan menjadi musibah besar karena kami harus bertelanjang kaki dan baru memakai sepatu ketika tiba di sekolah. Takut sepatu kami kotor karena lumpur. Tapi sekarang aku yakin tak ada anak-anak yang bertelanjang kaki ketika pergi ke sekolah. Dan tak ada kolong meja penuh rontokan tanah yang menempel di sepatu.


Pohon-pohon besar di pinggir jalan itu sudah musnah. Banyak bangunan baru. Ada warung baru. Ada rumah baru. Rumah-rumah yang dulu mau ambruk sekarang sudah berdiri menjulang. Rumah yang dulu paling megah sekarang tidak ada apa-apanya, kalah dimakan usia. Mushola bercat hijau itu kini masih berdiri tegak. Meskipun dindingnya mulai retak. Masih ada bahkan semakin banyak coretan di dinding itu. Coretan tangan kreatif anak-anak yang mengaji. Ada gambar hati, panah, juga tidak jarang coretan dengan huruf arab. Entah apa artinya.


Samar-samar terdengar nadhoman imriti dilagukan, aku hanya bisa tersenyum. Dulu aku dan kawan-kawanku belajar mati-matian menghafal tiap nadhoman. Was-was kalau ditanya dan tidak bisa menjawab. Imbasnya akan fatal, ustadz kami tidak akan berhenti menasihati, mengoceh lebih tepatnya. Beberapa umpatan ringan akan singgah di telinga kami. Sekarang, hafalan-hafalan itu lenyap, tak berbekas.


Aku pulang.


Jika pulang selalu dikaitkan dengan rumah, maka aku tidak masuk dalam kategori itu. Karena aku tidak punya rumah. Jika pulang juga selalu dikaitkan dengan ayah ibu yang menunggu, maka aku sudah lama tidak melaksanakan ritual itu.


Aku masih tertunduk. Aku tidak ingin berlama-lama menjadi pemandangan yang asing. Meskipun hanya ada beberapa lampu di jalan, tapi kupikir orang masih bisa mengenali wajahku. Maka kututup sebagian wajahku dengan ujung kerudung. Aku membiarkan sekian mata yang bertanya-tanya. Dan kadang kudengar orang menyebut-nyebut namaku. Tapi aku diam saja. Langkah kupercepat.


Aku sudah tahu kemana harus pergi. Paling ujung jalan ini ada sebuah bangunan berbentuk kotak yang semoga saja masih bisa kukenali. Tiba-tiba langkahku gemetaran. Aku ingin berbelok dan berlari menjauh dari sini. Mungkin harusnya aku memang tidak pernah kembali lagi. Tapi nyatanya aku tidak bisa. Ada perasaan yang mendesak-desak untuk sekadar melihat masa lalu.


Dan, ya, kini aku telah sampai di sebuah bangunan yang dulu kusebut sebagai rumah. Yang kini lebih mirip kuburan. Muram. Aku menghela nafas panjang. Aku mengucap beberapa kali kalimat salam, tapi tidak ada jawaban. Aku masuk ke dalam. Tidak ada suara. Aku masuk semakin dalam. Dan kutemukan kakek. Lelaki tua itu. Masih seperti dulu. Aku menghampirinya. Mencium tangannya.


Mataku terasa panas.


Bersambung..


Monday, June 4, 2012

Suhuchi, selamat ulang tahun

Aku gak tahu, Hu, ini ulang tahunmu yang ke berapa. Ah gak penting juga lah ya. Semoga kamu selalu menjadi yang bijak, yang tulus, yang penuh kasih, yang selalu bermanfaat buat banyak orang. Semoga segera menikah. Segera punya kambing dan sawah. Hidup di desa seperti keinginanmu. Ah dasar manusia posmo. Tapi semoga kamu tidak meninggalkan Jogja dulu. Paling nggak dua tahun ini lah, Hu. Ah tapi siapa juga yang bisa melarangmu. Ah!

Terima kasih sudah menjadi kakak sekaligus guru yang selalu bijak. Terima kasih atas obrolan semalam suntuk yang selalu menakjubkan. Terima kasih atas semua ilmu dan nasihat yang Suhu berikan. Maaf, aku masih selalu jadi murid yang bandel. Masih suka menjajah singgasanamu. Masih manja. Masih belum bisa naek motor jugak. Masih suka begadang di warung kopi. Ah kamu sih Hu yang nularin.

Salam keharmonian sejagat untukmu, Hu.

*Nah, kalau pulang kampung dengan buku sebanyak di kamarmu itu kan ngerepotin, Hu. Gimana kalau diwariskan ke aku. Hehehe.
*Hu, kali ini aku mau ditraktir. Yok ayok.

Sunday, June 3, 2012

KOLONIALISME DALAM BEBERAPA WAJAH

Judul Asli: Dalam Bayang-Bayang Kolonialisme, Filologi dan Studi Sastra
Penulis : Sudibyo
Penerbit : Unit Penerbitan Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Tebal : 301 Halaman


Sejatinya, kolonialisme di Indonesia belumlah berakhir, hanya berganti wajah. Masyarakat pascakolonial di negara-negara bekas jajahan dihadapkan pada kondisi yang serba ambigu. Di satu sisi mereka hidup dalam warisan sistem kolonial yang terlanjur mengakar, tetapi di sisi lain mereka ingin resisten.

Hal ini pulalah yang ingin dikemukakan oleh Sudibyo dalam bukunya yang dibagi menjadi dua belas bab dalam enam bagian besar ini. Kedua belas bab ini sebenarnya adalah mozaik terpisah, tetapi kemudian disatukan oleh satu tema pokok, yaitu kolonialisme. Adapun yang menjadi konsentrasi Sudibyo dalam pembahasan kolonialisme tersebut adalah persoalan-persoalan dalam bidang filologi dan sastra.

Ideologi Kolonialisme dan Pertemuan Kolonial
Kita tahu, filologi di Indonesia tumbuh dan berkembang dalam tradisi orientalisme. Pada masa itu, para filolog membuat batasan yang tegas antara Barat dan Timur sehingga filologi seringkali digunakan sebagai mesin hasrat kolonial. Menghadapi hal tersebut, menurut Sudibyo, diperlukan adanya upaya kartografi hasil kajian filologi serta mempertimbangkan ulang tradisi suntingan teks atau kritik teks. Dengan kata lain, dekolonisasi metode penelitian filologi mendesak untuk dilakukan.


Selanjutnya, pertemuan-pertmuan antara pihak penjajah dan terjajah mememunculkan berbagai wacana kolonial. Dalam hal i, Sudibyo melihatnya dalam beberapa tokoh yang terlibat dengan “tuan-tuan” kolonial, misalnya, Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi dan Rafles; Ranggawarsita dan C.F. Winter; dan beberapa Raja Nusantara pada penguasa Eropa yang kesemuanya menggambarkan hubungan antara “diri” dan “liyan”.

Selain itu, Sudibyo juga memaparkan wacana kekuasaan dan negara yang diambil dari Babad Tanah Jawi, Hkayat Raja-Raja Pasai, dan Hikayat Hang Tuah yang ketiganya membentuk wacana tunggal, yaitu, Raja sebagai penguasa yang memiliki kesaktian luar biasa. Baik di Jawa maupun Melayu.

Masih dalam bidang filologi, Sudibyo kemudian menjelaskan fenomena pernaskahan dan perteksan dalam tradisi sastra Melayu klasik. Naskah-naskah tersebut antara lain Hikayat Banjar, Hikayat Muhammad Hanafiyah, Hikayat Sri Rama, Hikayat Indraputra, dan Hikayat Iskandar Zulkarnaen. Dalam naskah-naskah tersebut dapat dilihat bahwa proses transmisi mutlak diperlukan guna memahami fenomena pernaskahan dan perteksan itu sendiri.

Wacana Kolonial dalam Sastra
Wacana kolonial hampir selalu bersinggungan dengan subjek terjajah. Dalam hal ini, kaum bumiputra selalu dihadapkan pada posisi itu. Di bagian ini ada laporan perjalanan Van Goens yang dinilai berat sebelah karena terlahir dari prasangka-prasangka stereotipe. Dalam banyak hal, laporan-laporan perjalanan inilah yang seringkali menjadi acuan Barat untuk mendeskripsikan Timur. Bahkan, laporan perjalanan merupakan cikal bakal munculnya cerita-cerita perjalanan yang bertumbuh dari tradisi sastra Eropa.

Selain laporan perjalanan tersebut, karya sastra juga memegang kendali. Bab Citra Kuli di Deli dalam Novel Berpacu Nasib di Kebun Karet, Kuli, dan Doekoen Karya Madelon Szekely-Lulofs menghadirkan analisis yang tajam mengenai komunitas diaspora kulit putih yang disandingkan dengan nasib para kuli atau orang-orang yang terpinggirkan. Ketiga novel ini menambah daftar panjang karya sastra Hindia-Belanda yang menjustifikasi eksploitasi dan kekuasaan.

Yang juga tak luput dari pandangan Sudibyo adalah Tetralogi Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca) karya Pramoedya Ananta Toer. Dalam tetralogi ini, Sudibyo menitikberatkan pada persoalan nasionalisme. Tetralogi Buru dianggap sebagai novel bildungsroman. Selain itu, Tetralogi Buru pun berhasil mengungkap persoalan bangsa dan antarbangsa secara kuat.

Selain novel, salah satu cerpen Y.B Mangunwijaya juga menjadi perhatian Sudibyo. Cerpen Saran “Groot Mayor” Prakoso mengungkap pola hubungan hegemoni dan resistensi masyarakat pascakolonial. Melalui cerpen tersebut terlihat bagaimana Mangunwijaya secara konsisten melakukan asketisme intelektual. Menurut Sudibyo, Mangunwijaya mampu menciptakan distansi dan bersikap kritis terhadap situasi. Ia mampu keluar dari segala keterikatan serta segala dominasi sosial terhadap dirinya.

Buku ini merupakan salah satu referensi yang bagus dalam studi-studi kolonialisme dan poskolonialisme. Sudibyo menggali secara mendalam dan memberikan cara pandang yang berbeda terhadap persoalan-persoalan sastra dan filologi. Menariknya, dalam buku ini daftar pustaka dihadirkan per bab. Namun, sayangnya, dalam buku ini masih begitu banyak kata maupun tanda baca yang luput dari perhatian editor sehingga cukup mengganggu. Sayangnya lagi, buku ini hanya dicetak terbatas sehingga kekayaan pengetahuan Sudibyo mengenai persoalan kolonialisme dan poskolonialisme pun agak sulit dijangkau.

Saturday, June 2, 2012

mie instan, episode kenangan


Dalam jagat per-mie instan-an saya berani diadu. Haha. Lima tahun menjadi mahasiswa adalah waktu yang cukup bagi saya untuk malang melintang di dunia instan2an ini. Baiklah, berikut ini adalah beberapa mie instan favorit, yang menurut saya bisa bikin lidah joget-joget.

Indomie Goreng. Siapa yang gak tahu makanan ajaib satu ini. Sungguh laknat dia. Dalam jarak 10 meter aromanya saja bisa bikin laper tiba-tiba. Menurut saya dia punya aroma yang khas. Paduan mie yang kenyal dan bumbu yang pas menjadikan mie ini menjadi alternatif utama saat kelapan datang menghardik. Kalau sebungkus masih terasa laper tapi dua bungkus nggak habis, sekarang udah tersedia yang ukuran jumbo. Itu sama kayak ukuran satu setengah.

Indomie Goreng Jumbo Rasa Ayam Panggang. Ini adalah indomie goreng andalan. Tekstur mie-nya mirip mie keriting. (oh mie keriting. Betapa enaknya jenis mie satu itu). Dilengkapi dengan sayuran kering dan bakso. Bumbunya pas. Dikasih potongan cabe lebih mantap. Meskipun ukurannya jumbo, dua porsi pun saya bisa menghabiskan mie satu ini. Hehe.

Nah, kalau mau yang agak pedes tanpa dikasih cabe dan beraroma ikan, ada Indomie Goreng Cakalang. Kalau yang ini bumbunya agak menusuk menurut saya. Tapi enak juga kok. Indomie Goreng Sate juga enak. Apalagi ditambah sate beneran.

Mau yang anget pas hujan-hujan? Mie Sedaap Rasa Kari Spesial cukup bisa jadi teman istimewa. Kuahnya yang kental, meskipun mienya gak begitu kenyal, cukup mampu bikin senyum-senyum sendiri sambil ngeliatin ribuan pasukan air yang turun ke bumi. Sebenernya, mie dengan rasa kari yang enak tuh mie Kare. Kuahnya bisa kentel banget gitu. Tapi sayangnya ini udah nggak diproduksi lagi (atau saya yang gak pernah ketemu?). Padahal sumpah enak banget. Bumbunya nendang!

Ada juga sih kalau mau yang nendang-nendang lagi. Indomie Rasa Empal Gentong. Bumbunya merasuk dengan potongan daging kecil-kecil. Nah, mungkin karena saya suka yang bumbu-bumbu nendang itu, saya pernah muntah pas nyobain yang rasa cakalang tapi versi yang kuah. Itu kuah warnanya pucat dan rasanya hambar. Uh!

Suka soto? Sarimi jagonya. Bumbu sotonya menurut saya lezat, ditambah dengan koya dan rasa mienya yang lembut. Koyanya pun macem-macem, ada yang pedes, gurih, sampe jeruk nipis. Indomie Soto saya rasa masih kalah dengan mie satu ini. Lagian, mie ini mengambil tempat tersendiri dalam masa kanak-kanak saya. Iklan om jinnya itu lho yang bikin senyum-senyum sendiri.

Ada mie yang menurut saya juga enak banget. ABC Selera Pedas Rasa Sup Tomat. Rasanya bisa asem-asem seger gitu. Karena saya emang penggemar tomat, jadinya sering saya tambah dengan potongan tomat juga. Mantap abis! Lagian tekstur mie ABC ini beda dengan mie-mie yang lain. Kenyal tapi juga lembut. Ini kalau dimakan pas hujan-hujan juga enak banget.

Selain makan mie pas hujan-hujan, sensasi makan mie yang cukup menyenangkan adalah makan Pop Mie di kereta. Rasanya ada magnet yang menrik-narik saya untuk selalu membeli mie ini kalo pas lagi di kereta. Yang paling saya suka adalah yang rasa bakso. Harganya bisa tiga kali lipat sih kalo di kereta gini.

Oh ya, mie Nissin dan mie Gaga ada yang enak juga lho. Saya lupa yang rasa apa. Soalnya emang jarang banget beli mie ini. Yang sering saya beli cuma versi bihun. Yang bihun ini sering saya campur sayuran dan bakso. Enak gilak. Eh iya ada Mie Gelas jugak. Enak sih. Tapi jelas ini cemilan doang. Gak nyampe perut. Hehe.

Hemm, baiklah, saatnya saya ngasih tau kenapa saya nulis mie-mie tadi. Lengkap dengan merknya. Saya nggak dibayar sepeserpun kok. Sebenarnya ini hanyalah tulisan untuk mengenang. Mengenang segala rasa mie instan yang ajaib karya anak bangsa yang patut diacungi jempol. Kenapa mengenang? Karena, sekitar satu setengah bulan yang lalu saya berjanji untuk tidak menjamah mie instan lagi. Alasan klisenya adalah demi kesehatan.

Meskipun saya sering mengabaikan rumor zat lilin, pengawet, MSG yang menempel pada si mie instan, sebenernya saya ngerasa ngeri juga sih. Apalagi kesehatan kita berhubungan dengan generasi berikutnya. Apasih jadi ngomong kesehatan gini. Ah.

Saya, yang tau jenis mie apa hanya dari mencium aromanya beberapa meter, ternyata cukup mampu menahan diri untuk tidak makan mie instan lagi. Meskipun godaannya gila-gilaan. Kadang kangen juga kebangetan.

Nah, suatu ketika, seseorang yang tau ikrar saya untuk tidak menjamah mie instan lagi, membelikan saya mie yang tanpa pengawet dan rendah lemak. Healtimie. Warnanya ijo. Sebelumnya kami sempat memperbincangkan mie ini di YM. Waktu itu mie-nya belum ada di Jogja. Dan sekarang udah tersebar dimana-mana. Mie-nya kayak mie gepeng. Ada potongan wortel dan sayur lainnya. Jadi warnanya menarik. Sayangnya belum ada versi kuah.

Tulisan ini saya dedikasikan kepada seseorang yang mengenalkan mie lumut itu, satu-satunya mie yang menyertakan akun faceboook dan twitter di bungkusnya. Makasih ya. Mie-nya cukup enyak kok :)

Friday, June 1, 2012

mbul aku kangen koe mbuuuuul :(



Mbul, aku gak ngurus yo mbuh koe ngomong aku lebay toh alay. Aku encen lebay tur alay. Seng penting aku pengen nules. Wong sak jagat ngerti yo rapopo. Yo ben. Malah apik. Ben dikandakno koe. Aku kangen koe mbul. kangen banget sumpah! Koe neng endi? Di sms gak dibales. Ditelpon malah mbak operator seng ngomong og piye.

Piye kabarmu mbul? Koe ijek nang jeporo po? Po wes nang yogjo? Jangan-jangan koe disekap mbokmu yoh. Astaghfirlloh. Tak dongakno koe sehat wal afiat mbul. Aku sayang karo koe (asemik aku dadi koyo lesbi).

Wes pirang ulan jal ra ketemu? Terakhir ketemu kan pas pendadaranku kae. Tego men koe. Iku wae ra sempet ngobrol2. Jerene pengen crito. Kene mbul, kupingku wes siap. Suwengi yo rapopo. Karo nonton film yo asik. Aku yo ndue crito uakeh. Asoy lo critoku.

Koe ora diciulik alien toh? Nek diculik aku mbok dijak. Kan aku seng pengen diculik alien. Kok malah koe seng ngilang. Ndang cepet mbalek mbuul. Eh, jangan-jangan koe rabi karo kancil yoh? Asemik ra ngomong-ngomong. Asemik aku didisik’i! Ra trimo! Sik sik, koe ora sido dijodohno karo wong tuwek sugeh kae toh? Mugo2 ora ya alloh.

Mbul ayok mangan soto meneh. Referensiku wes tambah akeh tentang dunia persotoan. Ayo tak tantang. Koe wani ra nek rong minggu sarapan soto terus? Berturut-turut. Koe durung tau nyobo soto ngarep asrama andalanku toh? Koe mesti ketagihan. Yakin.

Oh iyo, berita gembira. Awak dewe meh ndue ponakan. Raiso mbayangno aku si mustice meteng. Bocah kurune ngono ndang meteng og. Jal dibayangno jal. mesti lucu. Saiki ra ono seng isok dijak gendeng meneh. Ternyata ngene yo rasane ditinggal konco ki. Dunia rasane berakhir og ra ono koe2 ki. Mustice yo kangen karo koe. Koe sering tak rasani karo dekne.

Koe njaluk tak parani po? Nek aku ngerti posisimu tak parani tenang og. Sayange aku ra ngerti. Aku yo ra ngerti omahmu. Nomere kancil kae ternyata ora kesimpen.

Mustice nek nang yogjo mesti nggarap skripsi. Ndredeg ketemu pinus. Koyo aku mbiyen. Hehe. Si Bayu yo wes mulai nggarap skripsi. Wingi tulisane tak woco. Tapi yo ijek amburadul ra jelas kae. Tapi aku seneng paling gak dekne wes gelem mbukak skripsi. Bobi yo mulai nggarap. Ternyata bocah kae wes dadi juragan iwak. Koe piye? Ndak wes tau ketemu pak faruk? Ayo mbul dimulai sithik-sithik. Ayo tak ewangi sak isoku. Wong liyo iso tak ewangi mati2an ngopo koe kok malah ora? Aku sedih ik nek wisuda dewean ki. Mustice jerene ora wisuda :(

mbul bales smsku mbuuuuul. Angakat telponkuu. Jarang-jarang loh aku nelpon cah wedok ki..koe ra bangga po?

#mbul susi,mugo-mugo koe moco iki, po ono wong liyo seng ngandakno yo ra popo

Ucapan Terima Kasih

Saya menulis ucapan terima kasih yang cukup panjang di skripsi saya, di bagian kata pengantar. Ucapan sepanjang lima halaman itu saya tujuka...