Saturday, February 9, 2013

sekali lagi, Pramoedya


: selamat berulang tahun, Pram. sayang sekali, kita gagal makan siang bersama.

Tidak terasa hampir delapan tahun negeri ini ditinggalkan oleh penulis besar Pramoedya Ananta Toer (Pram). Namun, Pram seperti tak lelah-lelahnya dibicarakan. Ia terus-menerus ditulis, diteliti, didiskusikan, serta diapresiasi dalam berbagai sisi dan bentuk. Berbagai penghargaan dari luar negeri, bahkan kandidat nobel pun disandangnya.

Ratusan buku yang telah terbit banyak membahas karya, proses kreatif, bahkan hal-hal yang paling pribadi dari seorang Pramoedya. Buku-buku tersebut kebanyakan justru ditulis oleh peneliti-peneliti berkebangsaan asing. Memang, Pram dicintai di negeri lain, tetapi disingkirkan dari negeri sendiri. Berita baiknya, tiga tahun terakhir buku-buku tentang Pram sudah banyak ditulis oleh orang-orang dalam negeri. Meskipun belum ada penelitian serius mengenai karya-karyanya dan keterlibatannya dengan berbagai rezim. Buku-buku tersebut seringkali hanya berupa hasil wawancara atau semacam testimoni dari keluarga dekatnya. Jarangnya penelitian (apalagi di tingkat akademis) tersebut dapat dipicu oleh kondisi politik di Indonesia yang tidak memungkinkan seorang peneliti untuk bersentuhan lebih akrab dengan karya-karya Pram, yang hingga kini izin pelarangannya belum dicabut.

Dari sekian banyak hal, keterlibatan Pram dengan Lekra dan tuduhan sebagai komunislah yang mendapat banyak sambutan. Ada yang membela, tak sedikit yang menghujat. Perkara tuduhan komunis itu pula, ia dibuang bersama puluhan ribu tahanan politik ke Pulau Buru. Karya-karyanya pun sering dianggap “berbahaya”. Tapi di mata saya Pram dalah penulis “yang suka cari perkara, tetapi berani mengambil risiko”. Bagi saya pula, inilah yang kemudian menjadikannya sebagai pribadi yang begitu menarik. Asyik.

Segala milik Pram telah dirampas: naskah, hidup, dan masa muda. Sebagian besar naskahnya hilang dan dibakar. Namun, Pram tak pernah menyerah. Untuk sebagian naskah-naskahnya, Pram membuat salinan dan bahkan diceritakan secara lisan agar naskahnya ada yang bisa diselamatkan. Bahkan sebagian besar karyanya disebarkan secara sembunyi-sembunyi. Delapan belas tahun hidupnya dihabiskan dan menjalani sebagian besar masa kreatifnya di penjara. Tiga tahun dalam penjara Kolonial, 1 tahun di Orde Lama, dan 14 tahun yang melelahkan di Orde Baru tanpa proses pengadilan. Walaupun pada 21 Desember 1979 Pram mendapat surat pembebasan tidak bersalah dan tidak terlibat dalam G 30 S/PKI, tetapi ia tetap dikenakan tahanan rumah, tahanan kota, tahanan negara, hingga 1999 dan wajib lapor ke Kodim Jakarta Timur satu kali seminggu selama dua tahun.

Tak perlu diragukan, Pram adalah seorang penulis yang memiliki wawasan luas mengenai sejarah Indonesia. Bahkan melalui kebiasaan mengklipingnya, Pram berencana membuat ensiklopedi sejarah Indonesia. Sayangnya keinginan tersebut belum terealisasi. Ia pun melahirkan novel sejarah. Dalam novel-novelnya, sejarah mendapatkan alur dan bentuk. Di tangannya, sejarah dikaji ulang sehingga menjadi sejarah yang “baru”. Ia seolah membuat sejarah tandingan. Sebut saja roman Arus Balik dan Arok Dedes.

Apa yang dilakukannya tersebut dianggap tugas nasional. Baginya, menulis tidak hanya sebagai usaha untuk menolak lupa, tetapi juga melawan. Ia melawan dengan menulis karena ia sadar betul bahwa “jika tak menulis, kamu akan disingkirkan dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian”. Dan yang membuat karya-karyanya selalu fenomenal adalah adanya unsur nation dan pembangunan karakter bangsa, yang gamblang terlihat dalam Tetralogi Bumi Manusia.

Pram menyeru dengan lantang: kebenaran tidak datang dari langit, ia mesti diperjuangkan untuk menjadi benar. Dan setiap ketidakadilan harus dilawan, walaupun hanya dalam hati. Pram menulis untuk melawan. Ia berani mengambil segala risiko atas tindakan yang dilakukannya itu. Keberaniannya tersebut jelas terlihat dalam sikap-sikapnya ketika menulis karya. Sehingga dalam pahitnya kekalahan, Pram masih bisa berkata, “kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik baiknya, sehormat-hormatnya.”

Keberaniannya tersebut sebenarnya bermula dari kehidupan keluarganya. Ia terlahir dari orang-orang hebat yang berperan kuat dalam pribadinya dan dididik dalam keluarga nasionalis. Ibunya adalah seorang wanita yang lembut dan tegas, yang diceritakan Pram dalam Cerita dari Blora. Ayahnya, Mastoer Imam Badjoeri, adalah seorang pendiri sekolah Boedi Oetomo. Seorang pendidik yang keras, meski Pram kecil terkadang membenci ayahnya. Pram kecil selalu merasa rendah diri karena selalu dianggap bodoh. Pram yang telah dewasa kemudian mengambil keputusan-keputusan yang bisa membahayakan kehidupan dirinya dan keluarganya. Adik-adiknya banyak yang dipenjara hanya karena menyandang nama “Toer”.

Barangkali, yang bisa membuat Pram tetap gigih adalah harapan terhadap angkatan muda. Ia percaya bahwa angkatan muda mampu melahirkan sejarah. Barangkali pula, angkatan muda sekarang tidak banyak yang mengenal Pram secara langsung, tetapi melalui karya-karyanya dapatlah diketahui bagaimana essensi jiwa Pram terwujud. Dalam karya-karyanya, Pram selalu menampilkan tokoh muda yang revolusioner. Sebut saja Minke, Larasati, Wiranggaleng, dan Hardo yang begitu gigihnya memperjuangkan keadilan. Kepada angkatan muda pun ia berseru “Angkatan muda harus bisa melahirkan pemimpin dan jangan jadi ternak saja yang sibuk mengurus diri sendiri. Angkatan muda harus bekerja dan berproduksi.”

Dengan karya-karyanya --yang sudah diterjemahkan dalam lebih dari 40 bahasa asing, termasuk bahasa etnis di India-- Pram tak lagi menjadi miliknya pribadi, ia telah menjadi warga dunia. Karya-karyanya merupakan pembelaan terhadap orang-orang kecil, orang-orang yang tidak didengarkan. Sejarah orang kecil tersebut diabadikan dalam cerpen-cerpennya, misalnya dalam antologi Cerita dari Jakarta, Percikan Revolusi, dan Subuh. Ia selalu berguru pada kehidupan, karenanya ia tak pernah percaya pada penguasa yang berjarak jauh dengan keadilan. Baginya, keindahan adalah perjuangan untuk kemanusiaan.

Terakhir, semoga karya-karya Pram tak hanya berakhir pada bacaan, tetapi menjadi percikan revolusi subuh. Wahai anak-anak dan cucu-cucuku, kalian boleh tidak tahu The Beatles. Tapi ketahui dan kenalilah Pramoedya Ananta Toer. Dia adalah manusia besar dari bangsamu sendiri.

No comments:

Post a Comment

Jatuh Cinta Seperti di Film-Film

 Halo! Apa kabar? Semoga kamu baik, ya.  Kamu sudah nonton Jatuh Cinta Seperti di Film-Film ? Aku sudah. Dua kali di bioskop.  Setelah nonto...