Wednesday, August 27, 2014

Antara Lepas dan Lebur: tentang Cerpen “Otak” Karya Achmad Munjid*

oleh Anis Mashlihatin

Tulisan ini berusaha untuk menyelidiki perangkat literer yang digunakan pengarang, gagasan-gagasan yang dibangun, sekaligus kelemahan-kelemahan yang mungkin dimiliki oleh cerpen ini.
***
Cerpen “Otak” dibuka dengan keterkejutan Ben yang mendapati cairan putih amis yang berceceran ketika ia baru bangun dari tidurnya. Ternyata cairan itu adalah otaknya sendiri. Keterkejutan kemudian dialami oleh pembaca ketika menyadari bahwa Ben yang sudah kehilangan separuh otaknya itu masih bisa bergerak dan berpikir, masih bisa merasakan organ-organ tubuhnya yang sakit, bahkan Ben juga bisa menyadari bahwa cairan itu adalah otaknya sendiri. Luar biasa! Sejak paragraf pertama itu, kita tahu, pengarang telah menanamkan benih-benih surealis.

Cerpen-cerpen bergaya surealis seperti itu pernah marak dalam sastra Indonesia pada era 1990-an, seperti dapat dilihat pada beberapa cerpen Seno Gumira Ajidarma, kumpulan cerpen Danarto dalam Godlob dan kumpulan cerpen Memorabilia (1999) karya Agus Noor. Gaya surealisme biasanya dipilih oleh pengarang karena realisme seolah tak memberikan ruang yang cukup cair untuk menuangkan gagasan-gagasannya. Surealisme mengeksplorasi hal-hal yang irasional dan psikologis. Dalam hal ini, pengarang berusaha mencapai “super-realisme”, tempat antara batas-batas mimpi dan kenyataan melebur.

Arief Budiman, dalam pengantarnya untuk cerpen pilihan Kompas 2002, mengatakan bahwa gaya surealis dipilih oleh pengarang dimungkinkan karena realitas yang terjadi begitu mengerikan sehingga jika diceritakan ulang akan menimbulkan rasa sakit. Oleh karena itu, lanjut Budiman, konflik-konflik sosial diceritakan dalam bungkus yang surealistis sehingga pesan ketidakadilan yang mau diucapkan bisa disamai, tapi kejadiannya tidak dibaca secara telanjang karena bisa menimbulkan kepedihan.
Peristiwa yang dialami Ben muskil terjadi di dunia nyata. Peristiwa keluarnya otak dari tempurung kepala sementara si empunya masih bisa berjalan kesana-kemari hanya mungkin terjadi dalam dunia angan-angan. Kemudian kita tahu bahwa cara ini digunakan oleh pengarang untuk menimbulkan kesan satir yang bertebaran di sekujur cerpen ini. Selain, menimbulkan kesan satir, pengarang juga menyuguhkan kritik sarkastik terhadap realitas sosial. Surealisme adalah perangkat yang tepat digunakan untuk mewujudkan hal itu.

***
Tidak hanya Ben yang mengalami persoalan dengan otak. Ben menemui banyak sekali orang yang memiliki masalah yang sama dengan dirinya; tua-muda, miskin-kaya, laki-laki dan perempuan. Mereka semua berjubel mengadukan persoalannya itu ke rumah sakit. Namun, tidak seperti Ben yang merasakan kekhawatiran dan kesakitan yang amat sangat, orang-orang yang ditemuinya justru sebaliknya. Orang-orang itu terlihat biasa-biasa saja. Seolah-olah tidak terjadi suatu masalah serius atas diri mereka. Alih-alih khawatir, mereka justru gembira jika otaknya tak lagi bersarang di kepalanya.

Sikap orang-orang tersebut juga didukung oleh dokter. Dokter menganggap masalah otak yang dialami oleh orang-orang bukanlah masalah yang serius, bahkan lumrah. Diceritakan pula bahwa dokter lebih menyarankan pembuangan otak daripada mempertahankannya. Rumah sakit juga telah menyedikan seperangkat alat dan bahan untuk mengganti otak tersebut. Ini menunjukkan bahwa kejadian yang dialami oleh Ben bukanlah kejadian yang baru dan dahsyat, tetapi sudah banyak kasus serupa sehingga rumah sakit telah memiliki “solusi” untuk menanganinya. Operasi pembuangan otak telah disepakati oleh banyak orang.

Ketika masuk dalam kondisi ini, terjadi pergulatan dalam diri Ben. Persoalan yang dihadapi oleh Ben memang persoalan kolektif, tetapi kegelisahannya individual. Ini mengharuskannya untuk berkompromi dengan banyak hal. Namun, Ben ternyata memilih untuk tidak berkompromi. Ia dengan segala cara berusaha mempertahankan otaknya. Ketika berperan sebagai subjek yang bertahan seorang diri, Ben seolah menjadi orang asing di lingkungannya sendiri. Ben menjadi diri yang terasing. Lantas, apakah dengan demikian Ben menjadi subjek yang kalah?

Masyarakat dengan gaya modernis, menurut cerpen ini, tidak memerlukan otak untuk hidup karena fungsi otak telah digantikan oleh beragam teknologi yang canggih. Akibatnya, masyarakat semacam ini dimanjakan oleh teknologi yang menjadikan beban pikiran menjadi lebih ringan. Jika dulu kehidupan tak bisa berjalan tanpa otak, maka kini kehidupan tak bisa berjalan tanpa teknologi.
Jika bagi sebagian besar orang teknologi begitu membantu, lain halnya dengan Ben. Teknologi justru membuat kehidupan yang dijalani oleh Ben menjadi bising dan mengerikan. Televisi dan radio mengabarkan berita-berita yang menyakitkan. Berita-berita tentang kebahagiaan orang-orang yang memutuskan hidup tanpa otak membuatnya semakin tersiksa. Dengan demikian, bagi Ben, teknologi adalah musuh karena mengancam akal sehat. Teknologi hanya membahagiakan bagi orang yang hidup tanpa otak.

***
Ben mengalami keterguncangan karena terdapat paksaan untuk memahami keadaan yang tidak logis, yang tidak dapat diterima oleh akal sehat Ben. Ia tiba-tiba dihadapkan pada dunia yang ganjil yang tak dipahaminya. Sulit bagi Ben, yang dibesarkan dalam keluarga yang menjunjung tinggi nilai otak, untuk menerima dunia yang justru meremehkan otak dan menganggapnya sebagai beban. Karena bagi Ben, kebudayaan yang tinggi dan peradaban besar hanya mungkin dibangun oleh manusia-manusia yang mengedepankan nalar.
Di sinilah letak sinisme pengarang terhadap persoalan yang tengah berlangsung dalam masyarakat. Suara pengarang, yang diwakili oleh Ben, mencibir apa yang dilakukan oleh masyarakat yang punya otak tapi tak menggunakan otaknya, tak mau berpikir. Bagi mereka, tindakan berpikir adalah tindakan yang membebani dan tak ada gunanya. Itulah mengapa mereka ingin menanggalkan otak itu dari kepalanya. Selain itu, terdapat sinisme pada produk-produk luar negri yang berjejalan di otak sebagain besar orang. Produk-produk yang digemari. Produk-produk itu ditanamkan dengan sengaja, dengan kesadaran penuh.

Di samping itu, terdapat kemungkinan lain. Kondisi yang terjadi dalam masyarakat tak lagi mampu dicerna oleh akal sehat sehingga tokoh-tokoh dalam cerpen ini memutuskan untuk mengeluarkan otaknya. Perhatikan kutipan berikut.

Tapi, kenapa hampir semua hal yang ditemuinya kini tampak menjadi bukti telanjang bagi kemustahilan yang tetap tak bisa dicerna pikirannya? Setiap hari, para politisi berebut upeti untuk kantong sendiri di layar televisi dengan mengatasnamakan agama dan moralitas sambil menginjak-injak prinsip-prinsip yang disucikannya. Para intelektual meneriakkan kepalsuan sebagai kebenaran dalam istilah-istilah serba ganjil dan memberondongkannya kepada telinga siapa saja. Para seniman, rohaniawan, budayawan, lalu-lalang dalam kegaduhan seperti tukang-tukang jamu berjualan di pinggir-pinggir jalan. Anak-anak remaja dan orang-orang miskin saling bantai seperti kawanan binatang. Ayah memperkosa anak gadisnya, anak laki-laki menikam ibu kandungnya. Orang bicara, asal njeplak. Orang tertawa sambil menganiaya sesama. Orang berkelahi asal mereka suka. Segala peristiwa berjumpalitan tanpa logika.

Berbeda dengan yang dikatakan oleh Arief Budiman di muka, tampaknya pengarang memilih untuk mengungkapkan kepedihan secara gamblang pada apa yang tengah berlangsung. Kutipan di atas seolah menjadi jawaban mengapa banyak orang mengalami masalah otak. Selama ini, otak dipaksa untuk berpikir telalu keras mencerna hal-hal yang tak masuk akal. Barangkali karena tak sanggup menahan beban berat itu, otak akhirnya muncrat keluar. Ada banyak hal yang menurut Ben mustahil, tetapi toh terjadi juga. Para politisi yang seharusnya bekerja untuk kepentingan rakyat justru sibuk mengumpulkan upeti untuk kantongnya sendiri, bahkan sambil menginjak prinsip yang disucikannya. Begitu juga yang dilakukan oleh para intelektual.

Namun, ada yang membingungkan saya, seniman-rohaniawan-budayawan yang gaduh dianggap sama dengan tukang-tukang jamu. Menurut cerpen ini, tukang jamu yang gaduh adalah kewajaran, sedangkan seniman yang gaduh adalah sesuatu yang tidak dapat diterima. “Tidak logis” dalam istilah cerpen ini. Demikian juga anggapan cerpen ini terhadap anak-anak remaja dan orang-orang miskin yang saling membantai. Itu adalah tindakan tak logis. Apakah orang dewasa/anak-anak dan orang kaya yang saling membantai itu logis? Barangkali bukan siapa pelakunya yang menjadi perhatian/fokus cerpen ini, tetapi tindakan biadab itulah yang dikritisinya.
Tidak hanya pengarang yang menggunakan surealisme sebagai perangkat literer, tetapi si tokoh juga mengalami kondisi yang surealis. Ia pun mengalami pergulatan yang dahsyat dalam dirinya.

Dari hari ke hari ia terus berharap, bahwa apa yang sedang dialaminya sekarang hanyalah sebuah mimpi. Ia yakin, pada suatu hari nanti dirinya akan terbangun kembali ke dalam dunia yang sebenarnya. Dunia di mana otak dan kesadaran pikiran adalah harta paling berharga yang dimiliki manusia. Tapi dari hari ke hari pula ia kian kecewa. Sampai-sampai ia mulai berpikir bahwa, dunia yang menghargai otak dan pikiran yang dulu dialaminya barangkali bukanlah dunia yang nyata. Mungkin justru dunia seperti itulah yang merupakan mimpi, bukan kenyataan yang ia kira.

Bagi Ben, dengan segala peristiwa ynag telah dialaminya, batas antara mimpi dan kenyataan menjadi kabur sehingga ia merasa dirinya menjadi gila. Ia tak dapat membedakan mana yang “nyata” dan mana yang mimpi. Ia pun mulai meragukan apa yang dipercayainya selama ini.

Jika demikian, masihkah perlu mempertahankan otak? Ben, sebagai orang yang mempertahankan otak, digambarkan sebagai laki-laki yang malang dan tampak usang, rapuh, dan tak berdaya. Ia merasa sia-sia karena digerogoti waktu dan keterasingan. Selain itu, ia juga hidup dalam lingkungan yang tidak nyaman. Kondisi yang terik sangat menyengat. Aspal jalanan panas terbakar. Jalan-jalan raya di kota yang seakan ular-ular hitam yang hendak mengibas-ngibaskan kawanan manusia yang saling tak peduli berlarian di atas kendaraan, melintas cepat di atas punggung sang ular seperti diburu setan. Sebaliknya, setidaknya menurut cerpen ini, orang yang menanggalkan otaknya justru “berbahagia”.

Ben menyadari sesuatu yang berbeda ketika semua otaknya (akhirnya) terlepas dari tempurung kepalanya. Ia semacam merasakan “kebebasan”, meskipun muncul keraguan. Dalam ketidakberdayaan menghadapi keadaan yang menekan dan mencengkeram, Ben terombang-ambing dalam kebingungannya: memilih lepas atau lebur. Lepas berarti lepas dari masyarakat yang melingkupinya, yaitu masyarakat yang lebih memilih untuk menanggalkan otaknya dan memanjakan diri dengan teknologi. Jika lepas, Ben akan selalu menjadi subjek yang asing dan resah. Ben harus siap dengan segala konskuensi itu. Akan tetapi, jika memutuskan untuk lebur di dalamnya, yaitu turut menanggalkan otak, itu berarti ia telah melanggar prinsip-prinsip yang telah dipegangnya, yang sangat dijunjung tinggi. Ini jelas bukan hal yang mudah bagi Ben. Sampai akhir cerita kita pun belum mendapat kepastian akan pilihan Ben. Ben belum dapat dikatakan lepas dari atau lebur dengan masyarakatnya karena ia masih memperlihatkan kebingungannya: apakah akan bisa hidup tanpa otak seperti orang-orang?

Di sini dapat diketahui bahwa ternyata Ben tidak berdaya dalam hal apapun, meskipun ia punya kehendak untuk mempertahankan sesuatu. Pertama, Ben tidak berdaya menghadapi kekuatan masyarakat, menghadapi sesuatu yang telah menjadi tren, life style. Kedua, Ben tidak berdaya menghadapi lingkungannya yang tidak nyaman, termasuk perkembangan teknologi seperti yang telah diurai di muka. Ketiga, ia bahkan tak berdaya menghadapi seekor anjing dan lalat. Anjing hanya menyeringai sambil memamerkan lidah dan gigi-giginya ketika Ben mencoba untuk memukulnya. Anjing itu kemudian berhasil menjilati otak Ben yang tercecer. Keempat, dan ini yang paling penting, Ben tak berdaya menghadapi dirinya sendiri. Ben menjadi orang yang resah dan ragu. Bukannya bertahan, Ben justru goyah. Keluarnya otak dari tempurung kepalanya juga mempertegas bahwa Ben tidak berdaya menghadapi apapun, termasuk bagian dalam dirinya.

***
Biasanya, cerita-cerita yang dibungkus dengan gaya suralisme mempunyai kecenderungan untuk menimbulkan perasaan “mual/enek” dan sarkas yang bertujuan untuk memberikan teror. Barangkali kemualan inilah yang justru menarik dan layak diberi perhatian. Di awal cerita pembaca sudah disuguhi sajian yang memualkan, yaitu otak Ben yang tercecer dan menimbulkan bau amis. Di akhir cerita, hal itu pun kembali disajikan. Perhatikan kutipan berikut.

Tapi, kian sering dilihatnya benda itu, perutnya jadi kian terasa mual. Gumpalan itu rupanya mulai meleleh dan menebarkan bau anyir yang menusuk-nusuk lubang hidung hingga ke dasar lambungnya. Ratusan lalat-lalat hijau terbang-hinggap mengikuti langkah Ben. Dari jengkal ke jengkal lalat itu kian bertambah banyak dan terus mendengung-dengung bising. Sebagian lalat itu berputar-putar di atas kepala, bahkan beberapa ekor mulai menggerumut bagian ubun-ubunnya yang mungkin kini kembali terbuka.

Bau benda itu bertambah menusuk. Ribuan lalat-lalat hijau kini tampak berkerumun dan dengan ganas menghisapnya begitu ada kesempatan. Warna benda itu telah berubah amat pekat. Perut Ben kembali bergeronjal, seakan seluruh isinya terpompa hendak keluar.
Sebagai cerpen surealis, efek kemualan yang disajikan oleh cerpen ini masih “nanggung”. Cerpen ini masih memunculkan kata ‘mual’ untuk menciptakan efek mual. Yang terjadi memang bukan kegagalan, tetapi sesuatu yang dipaksakan.

Biasanya, tokoh-tokoh seperti Ben memilih untuk “bermain-main” dengan kondisinya. Namun, dalam cerpen ini, si tokoh sangat khawatir ketika otaknya hilang, padahal ia terbukti tidak terlalu menggunakannya. Cerpen ini akan terasa lebih “asyik” ketika si tokoh justru bermain-main dengan kondisinya itu. Misalnya, teror yang dihasilkan akan berbeda ketika si tokoh melihat takjub otaknya yang muncat dengan si tokoh yang ketakutan. Hal itu juga akan membuat nuansa satir dalam cerpen ini lebih kuat. Selain itu, karena tidak memilih untuk bermain-main, dalam cerpen ini si tokoh seolah tidak dapat bergerak bebas dan terlalu terbebani oleh gagasan pengarang.

***
Berdasarkan uraian di atas, cerpen ini menunjukkan bahwa realitas seringkali tak dapat diterima akal sehat. Secara keseluruhan, cerpen ini memotret kebiadaban yang tak dapat diterima akal sehat, meledek realitas yang tak masuk akal, dan melihat kenyataan-kenyataan yang jungkir balik. Karena jungkir balik, maka tidak dapat menggunakan logika biasa. Oleh karena itu, surealis adalah salah satu perangkat yang cocok untuk digunakan, dan cerpen ini (cukup) berhasil menggunakannya.[]

*tulisan singkat untuk diskusi sastra PKKH UGM, 25 Agustus 2014

No comments:

Post a Comment

Jatuh Cinta Seperti di Film-Film

 Halo! Apa kabar? Semoga kamu baik, ya.  Kamu sudah nonton Jatuh Cinta Seperti di Film-Film ? Aku sudah. Dua kali di bioskop.  Setelah nonto...