Sebenarnya, diskusi buku Orang-Orang Bloomington dengan Pak Budi Darma ini sudah agak lama. Bulan Agustus lalu. Diskusi ini dilaksanakan di Ruang Semanggi gedung Graha Pena Jawa Pos pada Sabtu siang yang baik. Ruang diskusi, dengan deretan kursi merahnya, tertata dengan rapi dan terasa kesejukan yang bersumber dari AC. Saya mengambil posisi duduk di deretan paling depan sebelah kiri dengan tujuan khusus: supaya bisa melihat Pak Budi Darma lebih dekat. Maklum, itu pertama kalinya saya bertemu beliau. Dan, Ya Tuhan, ternyata beliau adalah orang yang sangat tenang dan teduh, seperti para petapa.
Saya menyusun catatan ini dari catatan sebelumnya yang saya tulis di buku. Saya memang berencana mengetiknya dan mempostingnya di blog ini. Tapi seperti yang kalian tahu, saya adalah pemalas kelas wahid. Jadilah catatan itu ngendon terlalu lama. Namun, karena diskusinya sangat berkesan buat saya, hari ini saya memaksa diri gak tidur lagi setelah subuhan lalu mengetik ini untuk dibagi ke kalian. Adakah di antara kalian yang sudah membaca Orang-Orang Bloomington atau mengidolakan Pak Budi Darma?
***
Orang-Orang Bloomington pertama kali terbit pada tahun 1980. Cerita-cerita di dalamnya ditulis pada akhir tahun 70-an ketika Pak Budi Darma menyelesaikan studi Amerika Serikat. Sebelum membahas kumpulan cerpennya, terlebih dahulu Pak Budi Darma bercerita tentang latar historis di Inggris pada abad ke-17. Cerita tersebut berkaitan erat dengan orang-orang Bloomington.
Pada abad ke-17, di Inggris, terdapat gerakan besar puritanisme. Orang-orang Kristen puritan merasa diri mereka adalah orang-orang Kristen tulen yang bisa berhubungan langsung dengan Tuhan. Dengan demikian, orang lain selain Kristen puritan, adalah kafir. Mereka melakukan tindakan ekstrem terhadap orang-orang Kristen di luar pahamnya. Akibatnya, terjadi bals dendam yang berujung pada perang saudara. Orang-orang Kristen puritan diperangi oleh kristen lainnya sehingga mereka terdesak keluar dari Inggris.
Terdapat tiga kapal yang melakukan pelayaran. Salah satu di antara ketiga kapal itu ada yang sampai di tanah baru, yang diberi nama New England yang kini berkembang menjadi Massachusets. Di tanah baru ini, mereka memerangi suku Indian hingga muncul rencana membunuh suku Indian tersebut dengan jalan menyebarkan penyakit cacar.
Kemudian datang gelombang pendatang berikutnya yang mencintai perdamaian. Mereka mencari kota yang lain hingga menemukan sebuah tanah dengan bunga-bunga yang bermekaran (blooming flowers), yang kemudian disebut dengan Blooming Town. Negara bagiannya disebut Indiana karena mereka bisa berdamai dengan suku Indian. Mereka tidak suka menyakiti dan tidak suka diganggu.
Latar belakang historis itu menjadi bibit sikap orang-orang Bloomington yang sangat menjaga privasi. Sampai tahun 70-an, orang-orang bloomington asli masih ada. Mereka takmau mengganggu dan takmau diganggu. Semua orang menjaga privasi dengan ketat. Akibatnya, timbul alienasi. Mereka hidup bersama tapi taksaling mengenal karena terlalu mengagungkan privasi. Kehidupan orang-orang Bloomington itu memang berjalan sangat tenang tanpa ada yang mengusik.
Untuk menggambarkan betapa tenangnya kota itu, Pak Budi Darma memberikan contoh seorang lelaki tua yang mengendarai mobilnya hanya untuk membeli satu barang di nimimarket. Kemudian lelaki tua itu pulang. Ia lalu pergi lagi untuk membeli satu barang yang lain di tempat yang sama. Tak ada kemacetan. (Di Surabaya sini boroboro bisa hidup kayak gitu? Gak jadi daging gosong di jalan aja udah alhamdulillah). Namun, ketenangan yang terlalu justru sering menimbulkan persoalan. Jika dulu konflik fisik, sekarang konflik batin.
Itulah Bloomington pada tahun 70-an. Tahun ketika cerita-cerita dalam Orang-Orang Bloomington ditulis. Ketujuh cerita yang ada di kumpulan cerpen itu keberadaannya sangat erat. Jika kamu sudah membaca kumpulan cerpen itu, kamu akan paham mengapa Ny. MacMillan, Ny. Nolan, dan Ny. Casper bersikap tak acuh pada orang-orang di sekitarnya, mengapa Ny. Elberhart suka curigaan. Kamu juga akan memaklumi mengapa ada tokoh “saya” yang sungguh kepo dan usil itu. (Oke, kamu yang belum mbaca buku ini, silakan penasaran lalu cari bukunya dan bacalah. Saya gak suka ngasih sinopsis).
Lantas, bagaimana kondisi Bloomington setelah tahun 70-an? Sesudah tahun 70-an, di Bloomington terdapat perusahaan penebangan. Dalam setiap tahun selalu ada perubahan di kota itu. Konflik keluarga menjadikan penambahan jumlah rumah sehingga dalam waktu singkat, kota Bloomington sudah cukup padat.
Selain Pak Budi Darma, ada pembicara lain, seorang dosen dari Unesa: Pak Shoim Anwar. Menurutnya, tidak terdapat jarak kebahasaan dalam cerpen-cerpen Budi Darma. Saya sepakat. Meskipun cerpen-cerpen itu ditulis 36 tahun silam, masih tetap renyah dibaca hari ini. Tak terperangkap dalam satu ruang dan waktu. Berbeda misalnya ketika kita membaca karya-karya Marah Rusli atau Armijn Pane.
Analisis yang dilakukan Pak Shoim ala akademisi banget. Menurutnya, tokoh saya adalah tokoh yang selalu mengalami kegagalan. Kegagalan itu dihitung satu per satu. Dan ternyata, tiap cerita, kegagalan tokoh mencapai puluhan. (Pak Budi Darma ternyata penulis kejam, ya). Konflik terjadi akibat perbenturan antara dunia soliter dan dunia solider. Orang yang super kepo berjumpa dengan orang yang gak pengen dikepoin.
***
Oke, itulah hasil diskusi Orang-orang Bloomington. Saya sudah capek ngetik. Haha.
Monday, October 31, 2016
Saturday, October 29, 2016
surat yang tak terkirim #2
Sore tadi, seusai pelajaran, seorang siswa mendatangiku. Dia menyodorkan ponsel pintarnya lalu menunjukkan sebuah sajak milik W.S Rendra, berjudul "Khotbah".
Dia sedikit bingung mengapa ada ca ca ca dan ra ra ra dalam beberapa bait. Kami lalu mendiskusikan sajak itu sembari kuceritakan pertemuanku dengan sang penyair saat dirinya dulu menerima Doctor Honoris Causa di kampus. Siswa itu tampak kecewa mengapa sang penyair keburu meninggal.
Ngomong-ngomong soal Rendra, aku jadi teringat diriku sendiri di masa lalu. Ada suatu masa ketika dinding kamarku penuh foto Rendra. Lalu tibalah masa ketika beberapa foto Rendra itu terpaksa diturunkan karena diganti foto Nicholas Saputra.
Akupun jadi ingat kau. Sependek ingatanku, kau sangat mengidolakan sastrawan besar itu. Ya sajak-sajaknya, ya drama-dramanya.
Hei, kau. Mengapa pesan yang kukirim hanya centang satu?
Aku meyakinkan diriku bahwa kau tak mungkin memblokir nomorku. Semoga kau hanya tak sempat menyentuh ponselmu. Semoga kau sedang sangat sibuk. Sibuk berbahagia.
Dia sedikit bingung mengapa ada ca ca ca dan ra ra ra dalam beberapa bait. Kami lalu mendiskusikan sajak itu sembari kuceritakan pertemuanku dengan sang penyair saat dirinya dulu menerima Doctor Honoris Causa di kampus. Siswa itu tampak kecewa mengapa sang penyair keburu meninggal.
Ngomong-ngomong soal Rendra, aku jadi teringat diriku sendiri di masa lalu. Ada suatu masa ketika dinding kamarku penuh foto Rendra. Lalu tibalah masa ketika beberapa foto Rendra itu terpaksa diturunkan karena diganti foto Nicholas Saputra.
Akupun jadi ingat kau. Sependek ingatanku, kau sangat mengidolakan sastrawan besar itu. Ya sajak-sajaknya, ya drama-dramanya.
Hei, kau. Mengapa pesan yang kukirim hanya centang satu?
Aku meyakinkan diriku bahwa kau tak mungkin memblokir nomorku. Semoga kau hanya tak sempat menyentuh ponselmu. Semoga kau sedang sangat sibuk. Sibuk berbahagia.
Friday, October 14, 2016
Pispotnya Hamsad Rangkuti
Banyak cerpen yang membekas di ingatan saya. Bahkan memengaruhi hidup saya. Tapi, dari yang banyak itu, saya tidak akan bertele-tele dengan menyebutnya satu persatu. Saya akan langsung pada sasaran tulisan ini, yaitu cerpen “Pispot” karya Hamsad Rangkuti.
Saya berkenalan dengan cerpen ini tahun 2012. Tergolong amat sangat lambat mengingat cerpen ini ditulis tiga puluh tahun sebelumnya. Waktu itu kami sedang belajar tentang realisme magis. Nah, sebelum mempelajari lebih jauh tentang realisme magis, terlebih dahulu kami harus tahu apa itu realisme. Untuk itu, pengajar saya menyodorkan cerpen “Pispot” itu untuk dianalisis.
Kami diminta menganalisis apakah cerpen ini beraliran realis atau bukan. Berdasarkan karakteristik umum realisme, saya menyimpulkan bahwa cerpen ini termasuk cerpen realis. Bagi kamu yang belum membaca cerpen ini, maafkan saya karena saya tidak akan memberikan sinopsisnya. Silakan membacanya di kumpulan cerpen Hamsad Rangkuti yang berjudul Maukah Kau Menghapus Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu. Diterbitkan oleh DivaPress. (Btw, kenapa harga buku terbitan DivaPress mahal-mahal sih?).
Cerpen ini, entah mengapa, menimbulkan efek “nyeri” pada diri saya. Seperti ada yang tiba-tiba sakit di ulu hati saya. Berkali-kali saya membaca cerpen ini, efek itu masih tetap terasa.
Si tokoh digambarkan sebagai orang yang benar-benar tidak punya kuasa, tidak berdaya. Pertama, dia tidak berdaya menghadapi massa yang mengeroyoknya (di pasar). Kedua, dia tidak berkuasa terhadap kekuasaan polisi yang menginterogasinya, yang memaksanya meminum obat pencahar dan mengeluarkan kotoran sampai tubuhnya lemas. Ketiga, dia tidak kuasa menghadapi dokter “yang meminta banyak”. Keempat, ia tak berdaya terhadap dirinya sendiri sehingga akhirnya memutuskan menjadi penjambret.
Saya tahu “Pispot” bukan satu-satunya cerpen yang mengangkat persoalan ketidakberdayaan kaum marginal. Tapi dengan caranya yang sederhana, Hamsad mampu memberikan efek “nyeri” itu. Mungkin efek yang seperti itu tidak dialami oleh pembaca yang lain. Mungkin saya-nya saja yang terlalu masuk ke dalam cerita itu. Atau entah karena apa. Saya tidak tahu. Saya juga merasakan efek yang sama, bahkan lebih parah, pada cerpen “Parmin” karya Jujur Prananto. Selain membaca “Pispot”, saya sarankan kamu juga membaca “Parmin”. Suatu saat saya akan membahas cerpen itu secara khusus.
***
Sama seperti yang dilakukan oleh pengajar saya waktu itu, saya menyodorkan cerpen “Pispot” pada murid-murid saya untuk materi prosa fiksi. Selain untuk keperluan praktis menjelaskan konflik, penokohan, dan lain-lainnya, sebenarnya saya punya tujuan lain mengapa membagi cerpen itu untuk mereka. Yaitu, membagi kisah itu sendiri.
Saya tidak tahu apakah efek yang saya rasakan juga mereka rasakan. Tujuan saya menyodorkan cerpen itu tentu bukan agar mereka merasakan efek “nyeri” yang sama. Mungkin mereka akan segera melupakan cerpen itu. Toh di antara mereka ada juga yang membacanya dengan ogah-ogahan. Tapi yang jelas, sedikit atau banyak, saya yakin kisah itu akan menempel di dinding ingatan mereka.
Mungkin nanti di antara mereka ada yang menjadi dokter, dan tiba-tiba mereka mengingat kisah itu, mereka jadi lebih berbelas kasih pada orang sakit yang datang kepadanya. Mungkin di antara mereka ada yang akan menjadi polisi, mereka akan menjadi lebih manusiawi dalam memperlakukan tersangka kriminal. Tapi semoga di antara mereka, dengan segala kondisinya, tidak ada yang menjadi penjambret.
Siswa-siswa yang saya ajar adalah dari—katakanlah—kelas sosial atas, sementara tokoh yang ada dalam cerpen itu dari golongan kelas sosial bawah. Setidaknya mereka jadi tahu bahwa ada berbagai alasan mengapa orang melakukan tindak kriminal. Dalam hal moralitas, cerpen “Pispot” (dan cerpen-cerpen Hamsad Rangkuti yang lain) tidak menghakimi tokoh-tokohnya, tidak memandang hitam putih kebaikan dan kejahatan, tidak memberi cap siapa yang pahlawan dan siapa yang pecundang.
Oke, selamat membaca cerpen “Pispot”, ya. Kalau kamu mau, kamu bisa menceritakan pengalaman membacamu pada saya.
Saya berkenalan dengan cerpen ini tahun 2012. Tergolong amat sangat lambat mengingat cerpen ini ditulis tiga puluh tahun sebelumnya. Waktu itu kami sedang belajar tentang realisme magis. Nah, sebelum mempelajari lebih jauh tentang realisme magis, terlebih dahulu kami harus tahu apa itu realisme. Untuk itu, pengajar saya menyodorkan cerpen “Pispot” itu untuk dianalisis.
Kami diminta menganalisis apakah cerpen ini beraliran realis atau bukan. Berdasarkan karakteristik umum realisme, saya menyimpulkan bahwa cerpen ini termasuk cerpen realis. Bagi kamu yang belum membaca cerpen ini, maafkan saya karena saya tidak akan memberikan sinopsisnya. Silakan membacanya di kumpulan cerpen Hamsad Rangkuti yang berjudul Maukah Kau Menghapus Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu. Diterbitkan oleh DivaPress. (Btw, kenapa harga buku terbitan DivaPress mahal-mahal sih?).
Cerpen ini, entah mengapa, menimbulkan efek “nyeri” pada diri saya. Seperti ada yang tiba-tiba sakit di ulu hati saya. Berkali-kali saya membaca cerpen ini, efek itu masih tetap terasa.
Si tokoh digambarkan sebagai orang yang benar-benar tidak punya kuasa, tidak berdaya. Pertama, dia tidak berdaya menghadapi massa yang mengeroyoknya (di pasar). Kedua, dia tidak berkuasa terhadap kekuasaan polisi yang menginterogasinya, yang memaksanya meminum obat pencahar dan mengeluarkan kotoran sampai tubuhnya lemas. Ketiga, dia tidak kuasa menghadapi dokter “yang meminta banyak”. Keempat, ia tak berdaya terhadap dirinya sendiri sehingga akhirnya memutuskan menjadi penjambret.
Saya tahu “Pispot” bukan satu-satunya cerpen yang mengangkat persoalan ketidakberdayaan kaum marginal. Tapi dengan caranya yang sederhana, Hamsad mampu memberikan efek “nyeri” itu. Mungkin efek yang seperti itu tidak dialami oleh pembaca yang lain. Mungkin saya-nya saja yang terlalu masuk ke dalam cerita itu. Atau entah karena apa. Saya tidak tahu. Saya juga merasakan efek yang sama, bahkan lebih parah, pada cerpen “Parmin” karya Jujur Prananto. Selain membaca “Pispot”, saya sarankan kamu juga membaca “Parmin”. Suatu saat saya akan membahas cerpen itu secara khusus.
***
Sama seperti yang dilakukan oleh pengajar saya waktu itu, saya menyodorkan cerpen “Pispot” pada murid-murid saya untuk materi prosa fiksi. Selain untuk keperluan praktis menjelaskan konflik, penokohan, dan lain-lainnya, sebenarnya saya punya tujuan lain mengapa membagi cerpen itu untuk mereka. Yaitu, membagi kisah itu sendiri.
Saya tidak tahu apakah efek yang saya rasakan juga mereka rasakan. Tujuan saya menyodorkan cerpen itu tentu bukan agar mereka merasakan efek “nyeri” yang sama. Mungkin mereka akan segera melupakan cerpen itu. Toh di antara mereka ada juga yang membacanya dengan ogah-ogahan. Tapi yang jelas, sedikit atau banyak, saya yakin kisah itu akan menempel di dinding ingatan mereka.
Mungkin nanti di antara mereka ada yang menjadi dokter, dan tiba-tiba mereka mengingat kisah itu, mereka jadi lebih berbelas kasih pada orang sakit yang datang kepadanya. Mungkin di antara mereka ada yang akan menjadi polisi, mereka akan menjadi lebih manusiawi dalam memperlakukan tersangka kriminal. Tapi semoga di antara mereka, dengan segala kondisinya, tidak ada yang menjadi penjambret.
Siswa-siswa yang saya ajar adalah dari—katakanlah—kelas sosial atas, sementara tokoh yang ada dalam cerpen itu dari golongan kelas sosial bawah. Setidaknya mereka jadi tahu bahwa ada berbagai alasan mengapa orang melakukan tindak kriminal. Dalam hal moralitas, cerpen “Pispot” (dan cerpen-cerpen Hamsad Rangkuti yang lain) tidak menghakimi tokoh-tokohnya, tidak memandang hitam putih kebaikan dan kejahatan, tidak memberi cap siapa yang pahlawan dan siapa yang pecundang.
Oke, selamat membaca cerpen “Pispot”, ya. Kalau kamu mau, kamu bisa menceritakan pengalaman membacamu pada saya.
minggu sore di dbl dan kenangan yang singgah sebentar
Minggu sore. Setelah hujan deras, langit masih menyisakan awan mendung. Jalanan basah dan banyak genangan air. Lalu lalang kendaraan menciptakan cipratan-cipratan. Saya bersama seorang teman berangkat menuju DBL. sore itu, Kami akan menyaksikan pertandingan basket antarSMP.
Gedung DBL yang gagah itu tampak dipenuhi para abg. Betapa cuaca yang membikin orang ingin berselimut itu seolah tak berpengaruh pada hasrat mereka untuk menyaksikan pertandingan. Ramai. Mereka mengenakan kaos yang menjadi lambang identitas masing-masing sekolah. Biru toska. Merah marun. Beberapa remaja putri mengenakan pakaian super minim warna warni, berdandan super manis. Betapa kontras dengan warna langit sore itu.
Ruangan itu riuh oleh yel-yel. Tak berapa lama kemudian kedua tim memasuki arena dan pertandingan pun dimulai.
Yang kemudian terjadi adalah ingatan saya yang terbang menuju belasan tahun lalu. Saat itu saya kelas 2 SMP, menempati ruang kelas 2A bersama teman-teman paling keren di seluruh dunia. Kelas 2A termasuk kelas yang beruntung. Ruang kelas kami terpisah dari ruang kelas yang lain karena kami menempati gedung baru. Selain bangunannya yang bagus, gedung itu memiliki lapangan yang sangat luas, salah satunya adalah lapangan basket. Nah, dalam hal perbasketan, kelas 2A adalah tim andalan.
Minggu sore itu, ketika saya menyaksikan anak-anak SMP mendrible bola, saya seperti menyaksikan Wahid, Fani, Majid, Aang, Nashir sedang asyik berebut bola basket saat pelajaran olahraga atau jam istirahat. Kenangan itu tiba-tiba muncul di depan saya seperti potongan-potongan adegan film. Begitu dekat, begitu nyata. Saya seperti bisa melihat bagaimana mereka berlari, menangkap dan mendrible bola, kemudian memasukkan ke dalam ring. Di barisan penonton, saya bahkan bisa melihat dengan jelas ekspresi mereka. Juga keringat yang menetes-netes di wajah mereka.
Saya senyum-senyum sendiri mengingat kenangan indah yang berseliweran itu.
Saya tidak berusaha menggali kenangan itu lebih dalam. Saya biarkan saja apa adanya. Tapi mungkin waktu itu suasananya memang sangat mendukung kenangan-kenangan itu memenuhi kepala saya lagi. Dan tak ada yang kuasa menolak kenangan yang menyeruak tiba-tiba.
Yang kemudian saya lihat adalah anak-anak di usia belasan awal yang sumringah karena bel istirahat berbunyi. Mereka langsung menuju lapangan basket depan kelas. Saya melihat mereka sudah berkumpul di lapangan dan tak menghiraukan teriknya matahari. Siang itu, saya rasa mereka tak peduli dengan aturan permaian basket yang sesungguhnya. Yang penting bagi mereka adalah mendrible dan memasukkan bola ke dalam ring. Apa yang mereka lakukan di lapangan itu tidak bisa tidak menarik perhatian anak-anak perempuan untuk menonton, sambil minum teh botol. Tapi sayangnya jam istirahat itu terasa begitu pendek untuk permainan mereka yang seru.
Peluit wasit menarik saya lagi ke alam kini. Set pertama di menangkan oleh SMP Muh 5. Kemudian para remaja putri yang berpakaian warna-warni tadi bersiap mempertontonkan keahlian mereka meliuk-liukkan tubuh.
Saya sulit mendeskripsikan perasaan saya atas kenangan yang tiba-tiba muncul itu. Ada semacam perasaan suwung karena saya sudah begitu berjarak dengan masa-masa SMP yang menyenangkan itu. Tapi ya, sudahlah ya. Ketika kepala saya dengan asyik tiduran di gumpalan-gumpalan awan, saya harus memastikan bahwa kaki saya tetap menapak di bumi. Saya tidak menginginkan umat manusia bisa menciptakan mesin waktu yang memungkinkan saya bisa kembali ke masa-masa itu. Tidak. Saya sudah cukup berbahagia mereka datang kembali, meski hanya di alam kenangan.
Pertandingan sore itu dimenangkan oleh SMP Muh 5. Di luar, langit mendung lagi. Lalu gerimis tipis.
Gedung DBL yang gagah itu tampak dipenuhi para abg. Betapa cuaca yang membikin orang ingin berselimut itu seolah tak berpengaruh pada hasrat mereka untuk menyaksikan pertandingan. Ramai. Mereka mengenakan kaos yang menjadi lambang identitas masing-masing sekolah. Biru toska. Merah marun. Beberapa remaja putri mengenakan pakaian super minim warna warni, berdandan super manis. Betapa kontras dengan warna langit sore itu.
Ruangan itu riuh oleh yel-yel. Tak berapa lama kemudian kedua tim memasuki arena dan pertandingan pun dimulai.
Yang kemudian terjadi adalah ingatan saya yang terbang menuju belasan tahun lalu. Saat itu saya kelas 2 SMP, menempati ruang kelas 2A bersama teman-teman paling keren di seluruh dunia. Kelas 2A termasuk kelas yang beruntung. Ruang kelas kami terpisah dari ruang kelas yang lain karena kami menempati gedung baru. Selain bangunannya yang bagus, gedung itu memiliki lapangan yang sangat luas, salah satunya adalah lapangan basket. Nah, dalam hal perbasketan, kelas 2A adalah tim andalan.
Minggu sore itu, ketika saya menyaksikan anak-anak SMP mendrible bola, saya seperti menyaksikan Wahid, Fani, Majid, Aang, Nashir sedang asyik berebut bola basket saat pelajaran olahraga atau jam istirahat. Kenangan itu tiba-tiba muncul di depan saya seperti potongan-potongan adegan film. Begitu dekat, begitu nyata. Saya seperti bisa melihat bagaimana mereka berlari, menangkap dan mendrible bola, kemudian memasukkan ke dalam ring. Di barisan penonton, saya bahkan bisa melihat dengan jelas ekspresi mereka. Juga keringat yang menetes-netes di wajah mereka.
Saya senyum-senyum sendiri mengingat kenangan indah yang berseliweran itu.
Saya tidak berusaha menggali kenangan itu lebih dalam. Saya biarkan saja apa adanya. Tapi mungkin waktu itu suasananya memang sangat mendukung kenangan-kenangan itu memenuhi kepala saya lagi. Dan tak ada yang kuasa menolak kenangan yang menyeruak tiba-tiba.
Yang kemudian saya lihat adalah anak-anak di usia belasan awal yang sumringah karena bel istirahat berbunyi. Mereka langsung menuju lapangan basket depan kelas. Saya melihat mereka sudah berkumpul di lapangan dan tak menghiraukan teriknya matahari. Siang itu, saya rasa mereka tak peduli dengan aturan permaian basket yang sesungguhnya. Yang penting bagi mereka adalah mendrible dan memasukkan bola ke dalam ring. Apa yang mereka lakukan di lapangan itu tidak bisa tidak menarik perhatian anak-anak perempuan untuk menonton, sambil minum teh botol. Tapi sayangnya jam istirahat itu terasa begitu pendek untuk permainan mereka yang seru.
Peluit wasit menarik saya lagi ke alam kini. Set pertama di menangkan oleh SMP Muh 5. Kemudian para remaja putri yang berpakaian warna-warni tadi bersiap mempertontonkan keahlian mereka meliuk-liukkan tubuh.
Saya sulit mendeskripsikan perasaan saya atas kenangan yang tiba-tiba muncul itu. Ada semacam perasaan suwung karena saya sudah begitu berjarak dengan masa-masa SMP yang menyenangkan itu. Tapi ya, sudahlah ya. Ketika kepala saya dengan asyik tiduran di gumpalan-gumpalan awan, saya harus memastikan bahwa kaki saya tetap menapak di bumi. Saya tidak menginginkan umat manusia bisa menciptakan mesin waktu yang memungkinkan saya bisa kembali ke masa-masa itu. Tidak. Saya sudah cukup berbahagia mereka datang kembali, meski hanya di alam kenangan.
Pertandingan sore itu dimenangkan oleh SMP Muh 5. Di luar, langit mendung lagi. Lalu gerimis tipis.
Monday, September 26, 2016
kantong ajaib doraemon #2: Nana si sloth
Dalam Life of Pi, Yann Martel mendeskripsikan sloth sebagai berikut.
Makhluk ini sangat mengherankan. Kebiasaan utama satu-satunya adalah bermalas-malasan. Dia tidur atau beristirahat rata-rata duapuluh jam sehari. Sloth paling sibuk pada saat matahari terbenam. Sibuk di sini harap diartikan sebagai sibuk yang sesantai-santainya. Dia akan bergerak sepanjang batang pohon dalam posisi khas Sloth, bergelantungan terbalik dengan badan di atas dan kepala di bawah, pada kecepatan sekitar empatratus meter per jam, kalau sedang termotivasi, yang berarti empat ratus empat puluh kali lebih lamban daripada seekor cheetah yang termotivasi. Kalau sedang tak termotivasi, dia hanya bergerak empat sampai lima meter per jam.
Lalu bagaimana hewan ini bisa bertahan hidup? Justru dengan kelambanannya itu. Pembawaannya yang pengantuk dan segala atribut khas sloth membuat ia aman dari bahaya, lepas dari perhatian jaguar, ocelot, elang harpy, dan anakonda. Bulu-bulu di tubuh sloth merupakan tempat hidup ganggang yang berwarna cokelat pada musim kemarau dan hijau pada musim penghujan, sehingga hewan ini bisa berbaur dengan lumut dan kehijauan di sekitarnya, dan hanya tampak seperti sarang semut-semut putih atau tupai, atau sekadar seperti bagian dari sebatang pohon. (hlm. 19—21).
Nah, sekarang kamu sudah punya gambaran tentang si sloth. Makhluk yang menurut saya sangat unik dan rasanya pengen saya uyel-uyel. Saya kok senang dengan makhluk seperti sloth itu, ya. Terutama pada cara dia menjalani hidup. Lalu bagaimana jika gambaran tentang si sloth itu berwujud manusia? Saat membaca deskripsi Martel itu, yang langsung muncul di kepala saya adalah Syafrina, akrab dipanggil Nana.
Saya mengenal Nana tahun 2015. Tahun itu kami terlibat penelitian yang sama sehingga pertemuan kami cukup intens. Awal-awal bertemu Nana, saya menyangka dia adalah makhluk nocturnal. Sejenis makhluk yang selalu terjaga di malam hari dan tak punya cukup waktu untuk tidur di siang hari. Itu karena sepasang mata Nana, menurut saya, selalu terlihat mengantuk. Selain itu, Nana seperti tak mampu menopang tubuhnya supaya berdiri tegak. Cara dia berjalan seperti orang yang sedikit mabuk. Haha.
Selalu ada kemungkinan untuk salah pada setiap gambaran awal. Tak butuh waktu lama untuk saya tahu bahwa Nana sama sekali bukan makhluk nocturnal. Justru sebaliknya. Dia tak pernah terjaga di malam hari. Jika malam hari kita mengirim pesan, dan dia tak kunjung membalas, dapat dipastikan bahwa dia sudah tidur. Dia adalah jenis makhluk yang sangat mudah tidur. Dia bahkan bisa tidur duapuluh empat jam. Hampir tak pernah dalam hidupnya mengalami gangguan insomnia. Buat Nana, semua tempat adalah tepat yang nyaman untuk tidur. Sloth banget kan?
Suatu ketika, Nana pernah ke kost saya. Seingat saya, kami berdua duduk di kasur. Saya sibuk di depan laptop, begitu juga Nana. Di kasur saya ada bantal-bantal dan boneka empuk. Tapi Nana belum menjukkan tanda-tanda bahwa dia akan jatuh tertidur. Dia masih sibuk dengan laptopnya. Kami pun ngobrol sambil masih sibuk di depan laptop masing-masing. Mungkin karena merasa didongengin, Nana pun tidur sambil masih memegang laptop. Saya cuma bisa senyum. Perlu diketahui, niat awal Nana ke kost saya biar dia gak tidur terus di kamarnya.
Kelak, jika saya sedang tak bisa tidur, saya selalu bergumam, betapa enaknya menjadi Nana.
Cara Nana menjalani dan menikmati kehidupan begitu berbeda dengan saya. Dia menikmati hari-harinya dengan menonton video-video Exo (salah satu boyband Korea). Dia penggemar berat boyband itu. Dia bisa bermalas-malasan seharian sambil nonton boyband pujaannya itu. Meskipun saya sama sekali tidak tertarik—bahkan sebel—dengan boyband macam itu, saya sama sekali tidak keberatan jika dia memutar video-video itu di depan saya dan sering meminta pendapat tentang boyband itu. Saya biasanya bilang: aku gak suka cowok cantik! Dan dia ketawa-ketawa doang.
Dalam banyak hal, Nana memang begitu berbeda dengan saya, kecuali soal One Piece. Kami sama-sama penggemar berat One Piece, meskipun tokoh idola kami berbeda. Ketika saya memuja-muja Trafalgar D. Law, dia membela mati-matian Doflamingo. Begitulah.
Hmmm, saya kangen Nana. Bisa-bisanya saya merindukan makhluk seperti dia. Hahaha. Saya senang cara pandang Nana terhadap dunia. Dia begitu luweh dengan segala sesuatu. Dia jarang khawatir atau resah. Hidup terasa begitu ringan jika kamu dekat-dekat dengan Nana. Seperti si sloth, mungkin tidur dan bermalas-malasan adalah cara Nana menghadapi dunia.
Manusia memang misterius, ya. Mereka memiliki cara unik masing-masing untuk membuat orang lain rindu. Uh!
Makhluk ini sangat mengherankan. Kebiasaan utama satu-satunya adalah bermalas-malasan. Dia tidur atau beristirahat rata-rata duapuluh jam sehari. Sloth paling sibuk pada saat matahari terbenam. Sibuk di sini harap diartikan sebagai sibuk yang sesantai-santainya. Dia akan bergerak sepanjang batang pohon dalam posisi khas Sloth, bergelantungan terbalik dengan badan di atas dan kepala di bawah, pada kecepatan sekitar empatratus meter per jam, kalau sedang termotivasi, yang berarti empat ratus empat puluh kali lebih lamban daripada seekor cheetah yang termotivasi. Kalau sedang tak termotivasi, dia hanya bergerak empat sampai lima meter per jam.
Lalu bagaimana hewan ini bisa bertahan hidup? Justru dengan kelambanannya itu. Pembawaannya yang pengantuk dan segala atribut khas sloth membuat ia aman dari bahaya, lepas dari perhatian jaguar, ocelot, elang harpy, dan anakonda. Bulu-bulu di tubuh sloth merupakan tempat hidup ganggang yang berwarna cokelat pada musim kemarau dan hijau pada musim penghujan, sehingga hewan ini bisa berbaur dengan lumut dan kehijauan di sekitarnya, dan hanya tampak seperti sarang semut-semut putih atau tupai, atau sekadar seperti bagian dari sebatang pohon. (hlm. 19—21).
Nah, sekarang kamu sudah punya gambaran tentang si sloth. Makhluk yang menurut saya sangat unik dan rasanya pengen saya uyel-uyel. Saya kok senang dengan makhluk seperti sloth itu, ya. Terutama pada cara dia menjalani hidup. Lalu bagaimana jika gambaran tentang si sloth itu berwujud manusia? Saat membaca deskripsi Martel itu, yang langsung muncul di kepala saya adalah Syafrina, akrab dipanggil Nana.
Saya mengenal Nana tahun 2015. Tahun itu kami terlibat penelitian yang sama sehingga pertemuan kami cukup intens. Awal-awal bertemu Nana, saya menyangka dia adalah makhluk nocturnal. Sejenis makhluk yang selalu terjaga di malam hari dan tak punya cukup waktu untuk tidur di siang hari. Itu karena sepasang mata Nana, menurut saya, selalu terlihat mengantuk. Selain itu, Nana seperti tak mampu menopang tubuhnya supaya berdiri tegak. Cara dia berjalan seperti orang yang sedikit mabuk. Haha.
Selalu ada kemungkinan untuk salah pada setiap gambaran awal. Tak butuh waktu lama untuk saya tahu bahwa Nana sama sekali bukan makhluk nocturnal. Justru sebaliknya. Dia tak pernah terjaga di malam hari. Jika malam hari kita mengirim pesan, dan dia tak kunjung membalas, dapat dipastikan bahwa dia sudah tidur. Dia adalah jenis makhluk yang sangat mudah tidur. Dia bahkan bisa tidur duapuluh empat jam. Hampir tak pernah dalam hidupnya mengalami gangguan insomnia. Buat Nana, semua tempat adalah tepat yang nyaman untuk tidur. Sloth banget kan?
Suatu ketika, Nana pernah ke kost saya. Seingat saya, kami berdua duduk di kasur. Saya sibuk di depan laptop, begitu juga Nana. Di kasur saya ada bantal-bantal dan boneka empuk. Tapi Nana belum menjukkan tanda-tanda bahwa dia akan jatuh tertidur. Dia masih sibuk dengan laptopnya. Kami pun ngobrol sambil masih sibuk di depan laptop masing-masing. Mungkin karena merasa didongengin, Nana pun tidur sambil masih memegang laptop. Saya cuma bisa senyum. Perlu diketahui, niat awal Nana ke kost saya biar dia gak tidur terus di kamarnya.
Kelak, jika saya sedang tak bisa tidur, saya selalu bergumam, betapa enaknya menjadi Nana.
Cara Nana menjalani dan menikmati kehidupan begitu berbeda dengan saya. Dia menikmati hari-harinya dengan menonton video-video Exo (salah satu boyband Korea). Dia penggemar berat boyband itu. Dia bisa bermalas-malasan seharian sambil nonton boyband pujaannya itu. Meskipun saya sama sekali tidak tertarik—bahkan sebel—dengan boyband macam itu, saya sama sekali tidak keberatan jika dia memutar video-video itu di depan saya dan sering meminta pendapat tentang boyband itu. Saya biasanya bilang: aku gak suka cowok cantik! Dan dia ketawa-ketawa doang.
Dalam banyak hal, Nana memang begitu berbeda dengan saya, kecuali soal One Piece. Kami sama-sama penggemar berat One Piece, meskipun tokoh idola kami berbeda. Ketika saya memuja-muja Trafalgar D. Law, dia membela mati-matian Doflamingo. Begitulah.
Hmmm, saya kangen Nana. Bisa-bisanya saya merindukan makhluk seperti dia. Hahaha. Saya senang cara pandang Nana terhadap dunia. Dia begitu luweh dengan segala sesuatu. Dia jarang khawatir atau resah. Hidup terasa begitu ringan jika kamu dekat-dekat dengan Nana. Seperti si sloth, mungkin tidur dan bermalas-malasan adalah cara Nana menghadapi dunia.
Manusia memang misterius, ya. Mereka memiliki cara unik masing-masing untuk membuat orang lain rindu. Uh!
hey, Jude! mari bernananana~
Saya bersyukur bahwa sampai detik ini saya masih diberi hidup dan kekuatan menjalani kehidupan.
Saya berbahagia karena bisa bangun siang dan punya waktu luang untuk membaca buku-buku dan menonton film-film bagus. Kendati harus menghemat agar bisa membeli buku-buku kesayangan dan mengisi tabungan naik haji, saya memastikan bahwa saya makan dengan sehat dan bergizi. Saya mandi dua kali sehari, kalau gak males. Saya khawatir kulit saya jadi tipis kalau keseringan mandi.
Saya berbahagia karena makin banyak angkringan di sekitar kos saya. Saya berbahagia karena mulai mengenal orang-orang di sekitar kos. Saya bahagia karena tempat saya mengajar berlangganan koran dan mengizinkan saya mengklipingnya. Saya berbahagia setiap hari bisa melihat para remaja belasan tahun yang tertawa ngakak, yang ngantuk di kelas, yang makan dengan semangat, yang konyol, yang caper, yang kasmaran, yang mencari identitas, yang tak sabar menunggu bel istirahat dan pulang. Rasanya benar-benar menyenangkan. Mereka membuat saya kembali remaja. Haha.
Saya berbahagia karena ternyata ada murid saya, kelas sembilan smp, yang referensi filmnya lebih banyak dari pada saya. Dan dia dengan senang hati meng-copy film koleksinya ke dalam hardisk saya. Saya juga berbahagia karena ada murid saya yang mulai membaca buku-buku Pramoedya Ananta Toer. Itu berarti “virus” yang saya sebarkan selama ini gak sia-sia amat. Dia termasuk anak yang langka mengingat dia anak kelas duabelas IPA yang biasanya selalu berkutat dengan rumus-rumus dan sedang persiapan ujian nasional dan sbmptn. Dia gadis yang manis dan pintar.
Saya berbahagia karena akhir-akhir ini saya bisa lebih banyak menghabiskan waktu di kamar. Kamar saya luas dan menyenangkan. Berantakan tapi bersih. Entah, saya punya kecenderungan “sesak nafas” di tempat-tempat yang tertata rapi. Saya masih sering begadang untuk menyelesaikan buku bacaan atau melamun. Saya lebih suka membaca di malam hari, rasanya lebih merasuk. Mendengarkan musik juga lebih enak waktu malam. Entah kenapa.
Saya berbahagia karena masih bisa menjaga ritual menulis di buku harian. Saya memastikan bahwa saya menulis dengan rapi agar suatu saat nanti, jika saya diizinkan hidup sampai tua, saya masih bisa membacanya dengan baik dan nyaman. Saya menunggu momen-momen itu. Bagaimana reaksi saya saat itu membaca diri saya saat ini, ya? Demi bisa membaca dengan nyaman itu pula, saya selalu berusaha menjaga kesehatan mata saya. Saya rajin minum jus wortel dan menangis. Iya, penting kalian ketahui, menangis itu sangat baik untuk kesehatan mata.
Terima kasih, Tuhan, untuk kehidupan yang Kau berikan. Aku yakin Engkau membaca ini. Aku juga yakin Engkau yang menggerakkanku menyusun kata-kata ini.
Oke, semoga hari-hari kalian menyenangkan. Kalaupun tidak menyenangkan, harus dibuat menyenangkan! Meskipun saya gak pernah muncul di mimpi-mimpi kalian, yakinlah bahwa saya tak pernah selesai mendoakan keselamatan dan kebahagiaan kalian
Saya berbahagia karena bisa bangun siang dan punya waktu luang untuk membaca buku-buku dan menonton film-film bagus. Kendati harus menghemat agar bisa membeli buku-buku kesayangan dan mengisi tabungan naik haji, saya memastikan bahwa saya makan dengan sehat dan bergizi. Saya mandi dua kali sehari, kalau gak males. Saya khawatir kulit saya jadi tipis kalau keseringan mandi.
Saya berbahagia karena makin banyak angkringan di sekitar kos saya. Saya berbahagia karena mulai mengenal orang-orang di sekitar kos. Saya bahagia karena tempat saya mengajar berlangganan koran dan mengizinkan saya mengklipingnya. Saya berbahagia setiap hari bisa melihat para remaja belasan tahun yang tertawa ngakak, yang ngantuk di kelas, yang makan dengan semangat, yang konyol, yang caper, yang kasmaran, yang mencari identitas, yang tak sabar menunggu bel istirahat dan pulang. Rasanya benar-benar menyenangkan. Mereka membuat saya kembali remaja. Haha.
Saya berbahagia karena ternyata ada murid saya, kelas sembilan smp, yang referensi filmnya lebih banyak dari pada saya. Dan dia dengan senang hati meng-copy film koleksinya ke dalam hardisk saya. Saya juga berbahagia karena ada murid saya yang mulai membaca buku-buku Pramoedya Ananta Toer. Itu berarti “virus” yang saya sebarkan selama ini gak sia-sia amat. Dia termasuk anak yang langka mengingat dia anak kelas duabelas IPA yang biasanya selalu berkutat dengan rumus-rumus dan sedang persiapan ujian nasional dan sbmptn. Dia gadis yang manis dan pintar.
Saya berbahagia karena akhir-akhir ini saya bisa lebih banyak menghabiskan waktu di kamar. Kamar saya luas dan menyenangkan. Berantakan tapi bersih. Entah, saya punya kecenderungan “sesak nafas” di tempat-tempat yang tertata rapi. Saya masih sering begadang untuk menyelesaikan buku bacaan atau melamun. Saya lebih suka membaca di malam hari, rasanya lebih merasuk. Mendengarkan musik juga lebih enak waktu malam. Entah kenapa.
Saya berbahagia karena masih bisa menjaga ritual menulis di buku harian. Saya memastikan bahwa saya menulis dengan rapi agar suatu saat nanti, jika saya diizinkan hidup sampai tua, saya masih bisa membacanya dengan baik dan nyaman. Saya menunggu momen-momen itu. Bagaimana reaksi saya saat itu membaca diri saya saat ini, ya? Demi bisa membaca dengan nyaman itu pula, saya selalu berusaha menjaga kesehatan mata saya. Saya rajin minum jus wortel dan menangis. Iya, penting kalian ketahui, menangis itu sangat baik untuk kesehatan mata.
Terima kasih, Tuhan, untuk kehidupan yang Kau berikan. Aku yakin Engkau membaca ini. Aku juga yakin Engkau yang menggerakkanku menyusun kata-kata ini.
Oke, semoga hari-hari kalian menyenangkan. Kalaupun tidak menyenangkan, harus dibuat menyenangkan! Meskipun saya gak pernah muncul di mimpi-mimpi kalian, yakinlah bahwa saya tak pernah selesai mendoakan keselamatan dan kebahagiaan kalian
Monday, August 8, 2016
pisang, susu, dan realisme magis
Ada hadits nabi yang kira-kira bunyinya seperti ini: janganlah kamu mencintai sesuatu dengan berlebih-lebihan karena mungkin suatu saat akan menjadi musuhmu. Hadits itu terejawantah pada makhluk bernama cabe.
Saya pernah mencintai cabe dengan berlebihan sih, tapi kami tak pernah bermusuhan. Saya hanya dipisahkan secara paksa dengannya. Tidak boleh mengonsumsi dalam jangka waktu sampek embuh kapan karena bisa berakibat buruk pada lambung saya. Berhubung saya bergolongan darah B yang keren, secara alamiah saya (sering) dengan sengaja melanggar apa-apa yang dilarang. Potongan cabe rawit tidak pernah absen dari mie instan yang saya masak. Sambel bawang juga masih jadi teman favorit nasi. Kendati setelahnya lambung jadi perih. Tapi kalau dulu level saya cabe 20, sekarang turun jadi cabe 5 aja.
Hadits itu masih ada lanjutannya: dan janganlah kamu membenci sesuatu secara berlebihan karena bisa jadi itu akan menjadi sesuatu yang kamu sukai. Seperti yang sudah dititahkan, suatu waktu dalam hidup ini, saya harus bersinggungan dengan hadits itu yang mewujud dalam seonggok pisang. Padahal sejak kecil saya tidak menyukai buah mblenyek itu. Dalam olahan apapun.
Apa yang menyebabkan saya harus bersahabat dengan pisang? Adalah ini: asam lambung. Kalau asam lambung saya sedang kambuh parah, lidah saya sampai terasa sangat pahit. Sakitnya minta ampun. Satu-satunya solusi adalah saya harus minum antasida. Di semua tas saya, selalu tersedia antasida, baik yang sirup maupun yang kapsul. Ibu kos saya yang baik hati pernah memberi saya obat untuk lambung yang oke banget. Sayang obat itu sekarang sudah habis dan tidak tersedia di apotek di sini.
Karena saya juga tidak ingin terus-menerus ketergantungan dengan obat, saya mencoba tanya sana sini, menelusuri sendiri, apa-apa yang bisa meredam asam lambung. Dan semua jawaban mengarah pada pisang! Mengingat bahwa lambung adalah amanat Tuhan yang harus dijaga, mau tidak mau, saya mulai makan pisang. Saya rasa-rasakan, ada perubahan yang baik pada lambung saya. Jadinya saya sering sekali makan pisang. Pertama-tama karena kebutuhan. Lama-lama ketagihan. Begitulah nasib yang sudah digariskan.
Jika pisang adalah sahabat bagi si asam lambung, selain cabe dia punya musuh lain, yaitu susu. Itu tidak masalah bagi saya karena saya tidak terlalu menyukai susu, kecuali yang rasa coklat dan rasa melon. Masalah baru muncul ketika indomilk mengeluarkan produk baru yang keren banget: susu rasa pisang! Enak bangeet. Waktu pertama kali melihat produk itu di deretan rak indomaret, saya tercekat. Sungguh. Bagi saya itu adalah penemuan luar biasa tahun 2016. Bahkan ultramilk (yang punya produk andalan susu rasa moca-nya) tidak mengeluarkan kolaborasi genius itu.
Lantas apa yang harus saya lakukan? Sebagai manusia yang harus adil sejak dalam pikiran, saya gak bisa mengabaikan keberadaan susu rasa pisang yang lezat itu. Tapi saya juga gak bisa pura-pura gak tahu bahwa produk itu bisa berakibat negatif pada lambung saya. Akhirnya, saya memutuskan untuk tetap mengonsumsinya karena saya konsumtif. Haha. Kan kalau asam lambung saya kambuh, saya bisa makan pisang aja tanpa susu :p
Oke, apakah kamu sudah bertanya-tanya tentang relasi antara pisang dan realisme magis seperti yang tertera dalam judul tulisan ini? Yakinlah bahwa relasi itu ada.
Begini, susu dan pisang, dua komponen yang bagi lambung saya berekasi berlawanan itu, ternyata bersekongkol membentuk minuman yang lezat. Persekongkolan mereka mengingatkan saya pada aliran sastra realisme magis. Seperti halnya yang asam menyatu dengan yang basa, dalam realisme magis yang real dan yang magis hadir bersama, menyatu, merayakan percampuran, tidak bertengkar mana di antara keduanya yang harus berjalan di depan*.
Mungkin bukan sebuah kebetulan bahwa pisang punya relasi khusus dengan realisme magis. Gabo, panggilan akrab Gabriel Garcia Marquez, yang dianggap sebagai tokoh utama dari aliran sastra realisme magis (meskipun tidak semua karyanya bisa dikategorikan dalam aliran realisme magis), kerap memunculkan perusahaan pisang dalam novel-novelnya.
Jika kamu sudah membaca One Hundred Years of Solitude (yang diterjemahkan menjadi Seratus Tahun Kesunyian) kamu pasti langsung klik di mana perusahaan pisang itu berada. Perusahaan pisang tidak hanya disebut dalam novel itu. Di novelnya yang lain, Memories of My Melancholy Whores, Gabo juga menyebut-nyebut perusahaan pisang. Apalagi di Living to Tell the Tale (novel otobiografis) Gabo banyak sekali menceritakan perusahaan pisang dalam hubungannya dengan sejarah keluarganya.
Nah, karena saya terlebih dahulu mengenal Gabo baru kemudian bersahabat dengan pisang, setiap kali makan pisang dan susu rasa pisang, saya merasa seolah berada di alam realisme magis.
Nyambung gak?
Saya rasa bukan kebetulan juga produk susu rasa pisang itu diluncurkan pada 2016. Tahun ini adalah tahun transisi bagi saya. Tahun pemiuhan batas-batas. Antara yang idealis dan yang realistis hadir bersama, melebur, tanpa bertengkar mana yang harus menang. Keterhubungan yang ajaib kan?
*dalam ingatan pada sajak “Berjalan ke Barat” karya Sapardi Djoko Damono. Aku dan bayang-bayang tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang harus berjalan di depan.
**Tadinya saya meniatkan tulisan ini tentang cabe dan pisang saja, tapi ternyata pisang bergerak liar hingga menemukan susu dan realisme magis. Apa boleh buat.
Saya pernah mencintai cabe dengan berlebihan sih, tapi kami tak pernah bermusuhan. Saya hanya dipisahkan secara paksa dengannya. Tidak boleh mengonsumsi dalam jangka waktu sampek embuh kapan karena bisa berakibat buruk pada lambung saya. Berhubung saya bergolongan darah B yang keren, secara alamiah saya (sering) dengan sengaja melanggar apa-apa yang dilarang. Potongan cabe rawit tidak pernah absen dari mie instan yang saya masak. Sambel bawang juga masih jadi teman favorit nasi. Kendati setelahnya lambung jadi perih. Tapi kalau dulu level saya cabe 20, sekarang turun jadi cabe 5 aja.
Hadits itu masih ada lanjutannya: dan janganlah kamu membenci sesuatu secara berlebihan karena bisa jadi itu akan menjadi sesuatu yang kamu sukai. Seperti yang sudah dititahkan, suatu waktu dalam hidup ini, saya harus bersinggungan dengan hadits itu yang mewujud dalam seonggok pisang. Padahal sejak kecil saya tidak menyukai buah mblenyek itu. Dalam olahan apapun.
Apa yang menyebabkan saya harus bersahabat dengan pisang? Adalah ini: asam lambung. Kalau asam lambung saya sedang kambuh parah, lidah saya sampai terasa sangat pahit. Sakitnya minta ampun. Satu-satunya solusi adalah saya harus minum antasida. Di semua tas saya, selalu tersedia antasida, baik yang sirup maupun yang kapsul. Ibu kos saya yang baik hati pernah memberi saya obat untuk lambung yang oke banget. Sayang obat itu sekarang sudah habis dan tidak tersedia di apotek di sini.
Karena saya juga tidak ingin terus-menerus ketergantungan dengan obat, saya mencoba tanya sana sini, menelusuri sendiri, apa-apa yang bisa meredam asam lambung. Dan semua jawaban mengarah pada pisang! Mengingat bahwa lambung adalah amanat Tuhan yang harus dijaga, mau tidak mau, saya mulai makan pisang. Saya rasa-rasakan, ada perubahan yang baik pada lambung saya. Jadinya saya sering sekali makan pisang. Pertama-tama karena kebutuhan. Lama-lama ketagihan. Begitulah nasib yang sudah digariskan.
Jika pisang adalah sahabat bagi si asam lambung, selain cabe dia punya musuh lain, yaitu susu. Itu tidak masalah bagi saya karena saya tidak terlalu menyukai susu, kecuali yang rasa coklat dan rasa melon. Masalah baru muncul ketika indomilk mengeluarkan produk baru yang keren banget: susu rasa pisang! Enak bangeet. Waktu pertama kali melihat produk itu di deretan rak indomaret, saya tercekat. Sungguh. Bagi saya itu adalah penemuan luar biasa tahun 2016. Bahkan ultramilk (yang punya produk andalan susu rasa moca-nya) tidak mengeluarkan kolaborasi genius itu.
Lantas apa yang harus saya lakukan? Sebagai manusia yang harus adil sejak dalam pikiran, saya gak bisa mengabaikan keberadaan susu rasa pisang yang lezat itu. Tapi saya juga gak bisa pura-pura gak tahu bahwa produk itu bisa berakibat negatif pada lambung saya. Akhirnya, saya memutuskan untuk tetap mengonsumsinya karena saya konsumtif. Haha. Kan kalau asam lambung saya kambuh, saya bisa makan pisang aja tanpa susu :p
Oke, apakah kamu sudah bertanya-tanya tentang relasi antara pisang dan realisme magis seperti yang tertera dalam judul tulisan ini? Yakinlah bahwa relasi itu ada.
Begini, susu dan pisang, dua komponen yang bagi lambung saya berekasi berlawanan itu, ternyata bersekongkol membentuk minuman yang lezat. Persekongkolan mereka mengingatkan saya pada aliran sastra realisme magis. Seperti halnya yang asam menyatu dengan yang basa, dalam realisme magis yang real dan yang magis hadir bersama, menyatu, merayakan percampuran, tidak bertengkar mana di antara keduanya yang harus berjalan di depan*.
Mungkin bukan sebuah kebetulan bahwa pisang punya relasi khusus dengan realisme magis. Gabo, panggilan akrab Gabriel Garcia Marquez, yang dianggap sebagai tokoh utama dari aliran sastra realisme magis (meskipun tidak semua karyanya bisa dikategorikan dalam aliran realisme magis), kerap memunculkan perusahaan pisang dalam novel-novelnya.
Jika kamu sudah membaca One Hundred Years of Solitude (yang diterjemahkan menjadi Seratus Tahun Kesunyian) kamu pasti langsung klik di mana perusahaan pisang itu berada. Perusahaan pisang tidak hanya disebut dalam novel itu. Di novelnya yang lain, Memories of My Melancholy Whores, Gabo juga menyebut-nyebut perusahaan pisang. Apalagi di Living to Tell the Tale (novel otobiografis) Gabo banyak sekali menceritakan perusahaan pisang dalam hubungannya dengan sejarah keluarganya.
Nah, karena saya terlebih dahulu mengenal Gabo baru kemudian bersahabat dengan pisang, setiap kali makan pisang dan susu rasa pisang, saya merasa seolah berada di alam realisme magis.
Nyambung gak?
Saya rasa bukan kebetulan juga produk susu rasa pisang itu diluncurkan pada 2016. Tahun ini adalah tahun transisi bagi saya. Tahun pemiuhan batas-batas. Antara yang idealis dan yang realistis hadir bersama, melebur, tanpa bertengkar mana yang harus menang. Keterhubungan yang ajaib kan?
*dalam ingatan pada sajak “Berjalan ke Barat” karya Sapardi Djoko Damono. Aku dan bayang-bayang tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang harus berjalan di depan.
**Tadinya saya meniatkan tulisan ini tentang cabe dan pisang saja, tapi ternyata pisang bergerak liar hingga menemukan susu dan realisme magis. Apa boleh buat.
Tuesday, August 2, 2016
mereka bilang saya selow
Terhitung sejak 24 Januari 2016, saya sudah tidak tinggal di Yogyakarta. Sedikit sedih, banyak rindunya. Tapi bukan bagian itu yang ingin saya tulis di sini. Singkat cerita, saya akhirnya hijrah ke Surabaya. Memulai lagi dari awal, kehidupan di sebuah kota yang asing. Sendirian.
Sebenarnya kota ini tidak benar-benar asing bagi saya. Setidaknya dulu waktu saya TK dan SMP, saya pernah mengunjungi kebun binatangnya. Waktu SMA saya juga beberapa kali pergi ke jalan Semarang dekat Pasar Turi untuk membeli buku-buku bekas. Sewaktu kuliah saya juga beberapa kali singgah di Surabaya.
Tapi toh ternyata tinggal itu berbeda dengan singgah.
***
Kamu jelas tahu bahwa Surabaya yang sekarang sudah melesat jauh dari gambaran Pramoedya Ananta Toer dalam Bumi Manusia atau Idrus dalam Surabaya. Tapi tak begitu jauh sih dari gambaran Hamka dalam Tuan Direktur.
Jika kamu menganggap bahwa Surabaya hari ini adalah deretan mal dan deru kendaraan yang memekakkan telinga selama 24 jam, kamu tidak salah. Jika kamu menganggap Surabaya adalah tempat orang-orang begitu keras bekerja dari Senin sampai Jumat kemudian menghabiskan akhir pekan berjubel di pusat perbelanjaan, kamu juga tidak salah. Jika kamu menganggap bahwa gambaran Surabaya tak jauh-jauh dari lirik-lirik lagu Silampukau: tanah lapang yang berganti gedung-gedung tinggi, kota yang menghisap habis impian hidup seseorang, suasana malamnya yang jahanam, kamu juga bener banget. Juga, kalau kamu menganggap bahwa jalanan Surabaya membuat seorang gadis (yang belum begitu tegen mengendarai motor) tak berani melenggang santai, kamu seratus persen bener.
Nah, jika kamu menganggap bahwa gambaran-gambaran tentang Surabaya itu membuat saya males tinggal di dalamnya, bentar, tunggu dulu. Saya bersyukur diciptakan sebagai makhluk yang mudah beradaptasi. Lagi pula, anak kecil macam saya tak akan sulit menemukan apa yang saya namai dengan surga-surga kecil. Yah, setidaknya surga versi saya.
Baik, saya akan memulainya dari tempat yang paling dekat dengan tempat saya tinggal.
Jemuran kos. Silakan tertawa. Tapi inilah surga pertama yang saya temukan. Tempat kos saya yang didominasi warna ungu muda ini memiliki halaman yang cukup luas dan ditumbuhi banyak pohon besar. Dan pohon-pohon itu meneduhi tempat jemuran yang cukup luas di lantai 2. Ada beberapa lidah buaya yang tumbuh subur di dalam pot dan lumut-lumut hijau yang menempel di dinding sehingga menjadikan tempat ini sangat cocok untuk menghabiskan sore, duduk-duduk membaca buku sambil menikmati secangkir teh tong tji.
Tempat ini juga sangat cocok untuk memandang bulan purnama sambil menelpon teman-teman. [Bulan purnama dan teman-teman saya: sama-sama jauh. Satunya cuma bisa saya pandang, satunya lagi cuma bisa saya dengar suaranya].
Angkringan dekat kos. Angkringannya jogja banget. Tehnya, jahenya, tahu bacemnya, sate-satenya. Uh! Sepulang mengajar, saya sering mampir ke sini. Betapa teh hangat dengan gula batu itu bisa membunuh penat seharian. Oh ya, penjualnya adalah mas-mas dari Jogja. Kami biasa mengobrolkan ini itu tentang Jogja, dan hal-hal lainnya. Hotel dan apartemen di Jogja makin banyak ya, mas. Duh.
Danau Unesa. Ada sebuah danau di Unesa. Cukup luas. Selain dihuni ikan-ikan, di tengah-tengah danau itu ditanam sebuah pohon dan sarang burung merpati. Melihat merpati-merpati itu bertengger di dahan-dahan pohon dan kadang terbang mengapakkan sayap-sayapnya, ada yang menghangat di hati saya. Kalau hari minggu, banyak anak kecil yang didampingi orang tuanya bermain di sekitar danau ini. Mereka biasanya memberi makan ikan-ikan. Di pinggir-pinggir danau ada bangku-bangku untuk duduk. Tempat ini benar-benar membuat saya betah berlama-lama melamun. Saya juga sering bersepeda di sekitaran danau ini.
Kursi-kursi dengan meja bundar dan payung, di kantin Unesa. Di dekat danau itu terletak sebuah kantin. Di kursi-kursinya yang ada payung besarnya itulah saya sering menulis. Melihat mahasiswa-mahasiswa yang penuh gairah itu membuat saya ingin menjadi mahasiswa lagi. Bagaimanapun, memandang mereka, memberikan asupan energi bagi saya.
Kebun Binatang Surabaya (KBS). Jika berita-berita yang kamu baca tentang kebun binatang ini adalah hal-hal yang tidak menyenangkan, mungkin kamu memang harus berkunjung langsung ke sini. Dan buktikan bahwa berita itu tidak sepenuhnya benar. Mungkin banyak yang enggan datang lagi ke sini karena ngapain? hewan-hewannya udah jarang gitu. Lha justru itu! Kamu harus sering-sering mengunjungi mereka yang masih bertahan hidup. Oke, mungkin mereka gak ada sangkut pautnya dengan hidup kamu, tapi percayalah, bertemu mereka tak akan sia-sia.
Kebun binatang ini amat luas. Penuh dengan pohon-pohon besar. Entah mengapa, saya selalu merasa aman dan nyaman jika dekat dengan pohon besar. Rasanya begitu teduh. Menurut salah satu filmnya Wong Kar Wai, pohon adalah makhluk yang paling bisa menjaga rahasia. Mungkin suatu saat akan ada pohon yang saya lubangi untuk menyimpan rahasia itu.
Taman Bungkul. Sebenarnya saya tidak terlalu menyukai tanaman yang ditata sedemikian rupa. Saya lebih menyukai taman yang berantakan, yang tanamannya tumbuh sesukanya. Oleh karena itu, taman yang banyak rumput liarnya menurut saya lebih menyenangkan. Tapi, sebagai ruang alternatif, taman bungkul ini cukup nyaman untuk duduk-duduk sambil membaca buku kesayangan.
Saya akan membuat tulisan tersendiri tentang taman bungkul ini. Nanti.
Perpustakaan BI. Tempat ini adalah bekas museum Mpu Tantular. Berhubung museumnya dipindah ke Sidoarjo, tempat ini dijadikan sebagai perpustakaan. Bukunya tidak begitu lengkap, tapi tempatnya cukup asyik. Ada semacam warung kopinya di bagian lobi.
Jalan Ahmad Yani. Siang hari, jalanan ini memang sungguh beringas kayak arena balapan. Mobil motor bergerak begitu gegas. Sebenernya mereka pada mau kemana sih? Tapi kalau malam, sehabis hujan, jalanan ini menampakkan sisi lainnya. Oke, masih tetap beringas sih, tapi paling tidak ada indah-indahnya. Lampu-lampu kendaraan yang dipantulkan sisa-sisa hujan itu, bagi saya, sungguh indah.
Oke, sekian dulu ya. Perjalanan saya di kota ini belum jauh. Baru sekitar Surabaya bagian selatan. Oh ya, ada sebuah perpustakaan menyenangkan di Surabaya. Namanya perpustakaan C20. Tapi saya belum sempat ke sana. Semoga dalam waktu dekat bisa ke sana.
*Hmm..ternyata ada banyak cara Tuhan menghadirkan surga. Atau mungkin saya yang mulai (belajar) mencintai kota ini?
**Jangan khawatirkan saya, Pak. Saya baik-baik saja. Sudah jarang minum antasida.
Sebenarnya kota ini tidak benar-benar asing bagi saya. Setidaknya dulu waktu saya TK dan SMP, saya pernah mengunjungi kebun binatangnya. Waktu SMA saya juga beberapa kali pergi ke jalan Semarang dekat Pasar Turi untuk membeli buku-buku bekas. Sewaktu kuliah saya juga beberapa kali singgah di Surabaya.
Tapi toh ternyata tinggal itu berbeda dengan singgah.
***
Kamu jelas tahu bahwa Surabaya yang sekarang sudah melesat jauh dari gambaran Pramoedya Ananta Toer dalam Bumi Manusia atau Idrus dalam Surabaya. Tapi tak begitu jauh sih dari gambaran Hamka dalam Tuan Direktur.
Jika kamu menganggap bahwa Surabaya hari ini adalah deretan mal dan deru kendaraan yang memekakkan telinga selama 24 jam, kamu tidak salah. Jika kamu menganggap Surabaya adalah tempat orang-orang begitu keras bekerja dari Senin sampai Jumat kemudian menghabiskan akhir pekan berjubel di pusat perbelanjaan, kamu juga tidak salah. Jika kamu menganggap bahwa gambaran Surabaya tak jauh-jauh dari lirik-lirik lagu Silampukau: tanah lapang yang berganti gedung-gedung tinggi, kota yang menghisap habis impian hidup seseorang, suasana malamnya yang jahanam, kamu juga bener banget. Juga, kalau kamu menganggap bahwa jalanan Surabaya membuat seorang gadis (yang belum begitu tegen mengendarai motor) tak berani melenggang santai, kamu seratus persen bener.
Nah, jika kamu menganggap bahwa gambaran-gambaran tentang Surabaya itu membuat saya males tinggal di dalamnya, bentar, tunggu dulu. Saya bersyukur diciptakan sebagai makhluk yang mudah beradaptasi. Lagi pula, anak kecil macam saya tak akan sulit menemukan apa yang saya namai dengan surga-surga kecil. Yah, setidaknya surga versi saya.
Baik, saya akan memulainya dari tempat yang paling dekat dengan tempat saya tinggal.
Jemuran kos. Silakan tertawa. Tapi inilah surga pertama yang saya temukan. Tempat kos saya yang didominasi warna ungu muda ini memiliki halaman yang cukup luas dan ditumbuhi banyak pohon besar. Dan pohon-pohon itu meneduhi tempat jemuran yang cukup luas di lantai 2. Ada beberapa lidah buaya yang tumbuh subur di dalam pot dan lumut-lumut hijau yang menempel di dinding sehingga menjadikan tempat ini sangat cocok untuk menghabiskan sore, duduk-duduk membaca buku sambil menikmati secangkir teh tong tji.
Tempat ini juga sangat cocok untuk memandang bulan purnama sambil menelpon teman-teman. [Bulan purnama dan teman-teman saya: sama-sama jauh. Satunya cuma bisa saya pandang, satunya lagi cuma bisa saya dengar suaranya].
Angkringan dekat kos. Angkringannya jogja banget. Tehnya, jahenya, tahu bacemnya, sate-satenya. Uh! Sepulang mengajar, saya sering mampir ke sini. Betapa teh hangat dengan gula batu itu bisa membunuh penat seharian. Oh ya, penjualnya adalah mas-mas dari Jogja. Kami biasa mengobrolkan ini itu tentang Jogja, dan hal-hal lainnya. Hotel dan apartemen di Jogja makin banyak ya, mas. Duh.
Danau Unesa. Ada sebuah danau di Unesa. Cukup luas. Selain dihuni ikan-ikan, di tengah-tengah danau itu ditanam sebuah pohon dan sarang burung merpati. Melihat merpati-merpati itu bertengger di dahan-dahan pohon dan kadang terbang mengapakkan sayap-sayapnya, ada yang menghangat di hati saya. Kalau hari minggu, banyak anak kecil yang didampingi orang tuanya bermain di sekitar danau ini. Mereka biasanya memberi makan ikan-ikan. Di pinggir-pinggir danau ada bangku-bangku untuk duduk. Tempat ini benar-benar membuat saya betah berlama-lama melamun. Saya juga sering bersepeda di sekitaran danau ini.
Kursi-kursi dengan meja bundar dan payung, di kantin Unesa. Di dekat danau itu terletak sebuah kantin. Di kursi-kursinya yang ada payung besarnya itulah saya sering menulis. Melihat mahasiswa-mahasiswa yang penuh gairah itu membuat saya ingin menjadi mahasiswa lagi. Bagaimanapun, memandang mereka, memberikan asupan energi bagi saya.
Kebun Binatang Surabaya (KBS). Jika berita-berita yang kamu baca tentang kebun binatang ini adalah hal-hal yang tidak menyenangkan, mungkin kamu memang harus berkunjung langsung ke sini. Dan buktikan bahwa berita itu tidak sepenuhnya benar. Mungkin banyak yang enggan datang lagi ke sini karena ngapain? hewan-hewannya udah jarang gitu. Lha justru itu! Kamu harus sering-sering mengunjungi mereka yang masih bertahan hidup. Oke, mungkin mereka gak ada sangkut pautnya dengan hidup kamu, tapi percayalah, bertemu mereka tak akan sia-sia.
Kebun binatang ini amat luas. Penuh dengan pohon-pohon besar. Entah mengapa, saya selalu merasa aman dan nyaman jika dekat dengan pohon besar. Rasanya begitu teduh. Menurut salah satu filmnya Wong Kar Wai, pohon adalah makhluk yang paling bisa menjaga rahasia. Mungkin suatu saat akan ada pohon yang saya lubangi untuk menyimpan rahasia itu.
Taman Bungkul. Sebenarnya saya tidak terlalu menyukai tanaman yang ditata sedemikian rupa. Saya lebih menyukai taman yang berantakan, yang tanamannya tumbuh sesukanya. Oleh karena itu, taman yang banyak rumput liarnya menurut saya lebih menyenangkan. Tapi, sebagai ruang alternatif, taman bungkul ini cukup nyaman untuk duduk-duduk sambil membaca buku kesayangan.
Saya akan membuat tulisan tersendiri tentang taman bungkul ini. Nanti.
Perpustakaan BI. Tempat ini adalah bekas museum Mpu Tantular. Berhubung museumnya dipindah ke Sidoarjo, tempat ini dijadikan sebagai perpustakaan. Bukunya tidak begitu lengkap, tapi tempatnya cukup asyik. Ada semacam warung kopinya di bagian lobi.
Jalan Ahmad Yani. Siang hari, jalanan ini memang sungguh beringas kayak arena balapan. Mobil motor bergerak begitu gegas. Sebenernya mereka pada mau kemana sih? Tapi kalau malam, sehabis hujan, jalanan ini menampakkan sisi lainnya. Oke, masih tetap beringas sih, tapi paling tidak ada indah-indahnya. Lampu-lampu kendaraan yang dipantulkan sisa-sisa hujan itu, bagi saya, sungguh indah.
Oke, sekian dulu ya. Perjalanan saya di kota ini belum jauh. Baru sekitar Surabaya bagian selatan. Oh ya, ada sebuah perpustakaan menyenangkan di Surabaya. Namanya perpustakaan C20. Tapi saya belum sempat ke sana. Semoga dalam waktu dekat bisa ke sana.
*Hmm..ternyata ada banyak cara Tuhan menghadirkan surga. Atau mungkin saya yang mulai (belajar) mencintai kota ini?
**Jangan khawatirkan saya, Pak. Saya baik-baik saja. Sudah jarang minum antasida.
Wednesday, July 27, 2016
Celine dan Jesse
untuk Sandi, Windi, dan Candra yang menikah di bulan Juli
Celine memang seorang gadis muda yang terlalu mudah untuk dicintai. Dia cantik, berwawasan luas, suka membaca buku, asyik diajak ngobrol apa saja. Adalah Jesse, seorang pemuda beruntung yang berhasil mengajak ngobrol gadis muda itu beberapa saat di sebuah kereta. Mereka membicarakan berbagai macam hal: tentang orang Amerika yang tak bisa berkomunikasi selain menggunakan bahasa Inggris, tentang usaha Jesse belajar bahasa Prancis, ide tentang acara televisi, ambisi dan khayalan masa kecil, kematian, dan lain sebagainya.
Sayangnya, obrolan menyenangkan itu harus terhenti karena kereta sudah sampai di tempat tujuan Jesse: Wina, Austria. Tapi, Jesse yang terlalu sadar akan pesona Celine, tak mau melewatkan kesempatan untuk bisa ngobrol lebih lama. Dengan sedikit usaha, pemuda itu berhasil menjerat si gadis untuk menemaninya berkeliling menjelajahi Wina.
Itulah bagian awal film Before Sunrise. Sepanjang film, mereka terlihat seperti dua orang yang begitu cocok. Mereka mengelilingi Wina sambil mengobrolkan cinta, perang, kebebasan, orang tua, teknologi. Mereka mengunjungi makam, gereja, klub, café, juga melihat Sungai Danube dari ketinggian. Mereka bertemu perempuan gibsi, aktor drama, penyair jalanan. Ya, Celine dan Jesse berusia 20-an awal, muda dan penuh gairah kehidupan. Bunga cinta bermekaran di dada keduanya.
Sembilan tahun berlalu tanpa komunikasi apapun dan tiba-tiba mereka bertemu lagi di Paris dalam usia 30-an, dalam Before Sunset. Di usianya yang 30-an itu Celine masih tetap menakjubkan. Wawasannya semakin luas dan dia masih seorang perempuan yang asyik diajak ngobrol sambil menyusuri jalan-jalan di Paris. Mereka mengobrolkan permasalahan-permasalahan dunia, relasi antarmanusia, pertemuan dan perpisahan, pernikahan, sambil menekan kerinduan masing-masing. Jesse, yang telah menjadi penulis sukses, lagi-lagi terpikat oleh pesona Celine.
Obrolan mereka begitu lancar seperti aliran Sungai Sainne tempat perahu mereka berlayar, meskipun ada sakit di hati Jesse akibat gagalnya pertemuan yang mereka rencanakan sembilan tahun yang lalu. Diam-diam Celine juga merasakan patah hati yang sama. Lalu di tengah obrolan itu, mereka mengungkapkan kekecewaan masing-masing. Ya, mereka telah mengalami banyak hal, percobaan cinta dan sakit hati dari kekasih.
Nah, sekarang mari melihat mereka dalam Before Midnight, saat keduanya berusia 40-an, hidup bersama dan punya anak. Pada usia 40-an itu, baik Celine maupun Jesse sudah menampakkan tanda-tanda penuaan. Secara fisik, keduanya tak lagi menarik. Tubuh Celine telah disinggahi lemak di sana sini. Tampang Jesse tak sesegar saat di Before Sunrise. Kerutan di mana-mana. Ia tampak berantakan dan lelah.
Adegan pembuka Before Midnight adalah perdebatan antara Celine dan Jesse di mobil, sepulang mereka mengantarkan anak Jesse ke bandara untuk kembali pada ibu kandungnya (ya, sebelum hidup bersama Celine, Jesse sebelumnya telah menikah, punya anak, dan bercerai). Adegan ini hampir sama seperti saat mereka pertama kali bertemu. Waktu itu ada seorang laki-laki dan perempuan, sepertinya sepasang suami istri, bertengkar di dalam kereta. Karena mereka berbicara dalam bahasa Jerman, baik Celine maupun Jesse tak tahu apa yang mereka pertengkarkan. Siapa sangka, bertahun-tahun kemudian mereka juga mengalami hal yang sama.
Celine bukanlah orang yang menganggap berkonflik sebagai hal yang buruk. Akan tetapi, setelah hidup bersama dengan Jesse dalam waktu yang relatif lama, mereka semakin sering berdebat dengan nada suara yang kian meninggi. Pertengkaran hebat pun tak dapat dihindari. Apa-apa yang selama ini terpendam, termuntahkan juga. Mereka mengutuk satu sama lain seperti musuh. Dan ya, seperti bom waktu, akhirnya kata-kata itu meluncur juga dari mulut salah satu di antara mereka sambil membanting pintu dengan keras: mungkin aku tak lagi mencintaimu.
Dalam puncak kemarahan yang demikian, apa yang mereka dilakukan? Tengah malam itu mereka harus memutuskan, apakah kebersamaan mereka akan terbenam selamanya, ataukah esok masih bisa terbit dan bersinar lagi.
Jesse duduk dan mengamati sekeliling ruangan. Ada secangkir teh yang telah menjadi dingin, pintu yang tertutup, sebotol anggur yang dituang dalam gelas bertangkai dan belum sempat disentuh, juga ranjang tempat mereka gagal bercinta. Sementara itu Celine duduk di sekitaran pantai. Di sana banyak pasangan yang mengobrol satu sama lain, tapi Celine sendirian.
Lalu terlihat Jesse mendekati Celine yang masih diliputi amarah. Jesse berupaya membawa Celine pada saat-saat pertama kali mereka bertemu, saat mereka saling jatuh cinta. Saat itu, Jesse tahu benar bahwa seseorang seperti Celine takkan takluk pada rayuan secerdas apapun. Tapi Jesse tetap berkukuh dengan usahanya. Ia bertahan dengan kekesalan Celine.
Dan mereka berdamai.
Saya yakin, jika Jesse tak memiliki pengalaman dalam perceraian, Celine tak punya sejarah masa lalu disakiti, mereka berdua tak akan mampu untuk berdamai seperti tengah malam itu. Saya juga meyakini bahwa, perdamaian itu bukan karena mereka tak ada pilihan lain selain bersama karena sudah punya anak. Lebih dari apapun, kenangan tak terhitung jumlahnya yang mereka bagi bersama-samalah yang memungkinkan mereka untuk berbaikan seperti yang mereka lakukan.
Oh ya, obrolan antara Celine dan Jesse selalu terjadi ketika mereka sedang bergerak, entah berjalan entah di dalam mobil. Menurut saya, ini menyimbolkan dunia dan kehidupan yang terus bergerak. Selain itu, Obrolan yang mengalir seperti aliran Sungai Danube dan Sainne itu dapat terjadi ketika di antara keduanya tak ada campur tangan ponsel, baik di Before suset maupun Before Sunrise. Sekalinya ada campur tangan ponsel (dalam Before Midnight), mereka tak lagi bisa ngobrol asyik. Yang terjadi justru pertengkaran hebat. Nah lo!
Ada yang bilang, kita bisa memilih dengan siapa kita menikah, tapi kita tak bisa memilih dengan siapa kita jatuh cinta. Semoga, kalian bertiga, teman-teman yang kusayangi, semakin lama kalian menikah kalian akan semakin jatuh cinta. Segenap doa :)
Celine memang seorang gadis muda yang terlalu mudah untuk dicintai. Dia cantik, berwawasan luas, suka membaca buku, asyik diajak ngobrol apa saja. Adalah Jesse, seorang pemuda beruntung yang berhasil mengajak ngobrol gadis muda itu beberapa saat di sebuah kereta. Mereka membicarakan berbagai macam hal: tentang orang Amerika yang tak bisa berkomunikasi selain menggunakan bahasa Inggris, tentang usaha Jesse belajar bahasa Prancis, ide tentang acara televisi, ambisi dan khayalan masa kecil, kematian, dan lain sebagainya.
Sayangnya, obrolan menyenangkan itu harus terhenti karena kereta sudah sampai di tempat tujuan Jesse: Wina, Austria. Tapi, Jesse yang terlalu sadar akan pesona Celine, tak mau melewatkan kesempatan untuk bisa ngobrol lebih lama. Dengan sedikit usaha, pemuda itu berhasil menjerat si gadis untuk menemaninya berkeliling menjelajahi Wina.
Itulah bagian awal film Before Sunrise. Sepanjang film, mereka terlihat seperti dua orang yang begitu cocok. Mereka mengelilingi Wina sambil mengobrolkan cinta, perang, kebebasan, orang tua, teknologi. Mereka mengunjungi makam, gereja, klub, café, juga melihat Sungai Danube dari ketinggian. Mereka bertemu perempuan gibsi, aktor drama, penyair jalanan. Ya, Celine dan Jesse berusia 20-an awal, muda dan penuh gairah kehidupan. Bunga cinta bermekaran di dada keduanya.
Sembilan tahun berlalu tanpa komunikasi apapun dan tiba-tiba mereka bertemu lagi di Paris dalam usia 30-an, dalam Before Sunset. Di usianya yang 30-an itu Celine masih tetap menakjubkan. Wawasannya semakin luas dan dia masih seorang perempuan yang asyik diajak ngobrol sambil menyusuri jalan-jalan di Paris. Mereka mengobrolkan permasalahan-permasalahan dunia, relasi antarmanusia, pertemuan dan perpisahan, pernikahan, sambil menekan kerinduan masing-masing. Jesse, yang telah menjadi penulis sukses, lagi-lagi terpikat oleh pesona Celine.
Obrolan mereka begitu lancar seperti aliran Sungai Sainne tempat perahu mereka berlayar, meskipun ada sakit di hati Jesse akibat gagalnya pertemuan yang mereka rencanakan sembilan tahun yang lalu. Diam-diam Celine juga merasakan patah hati yang sama. Lalu di tengah obrolan itu, mereka mengungkapkan kekecewaan masing-masing. Ya, mereka telah mengalami banyak hal, percobaan cinta dan sakit hati dari kekasih.
Nah, sekarang mari melihat mereka dalam Before Midnight, saat keduanya berusia 40-an, hidup bersama dan punya anak. Pada usia 40-an itu, baik Celine maupun Jesse sudah menampakkan tanda-tanda penuaan. Secara fisik, keduanya tak lagi menarik. Tubuh Celine telah disinggahi lemak di sana sini. Tampang Jesse tak sesegar saat di Before Sunrise. Kerutan di mana-mana. Ia tampak berantakan dan lelah.
Adegan pembuka Before Midnight adalah perdebatan antara Celine dan Jesse di mobil, sepulang mereka mengantarkan anak Jesse ke bandara untuk kembali pada ibu kandungnya (ya, sebelum hidup bersama Celine, Jesse sebelumnya telah menikah, punya anak, dan bercerai). Adegan ini hampir sama seperti saat mereka pertama kali bertemu. Waktu itu ada seorang laki-laki dan perempuan, sepertinya sepasang suami istri, bertengkar di dalam kereta. Karena mereka berbicara dalam bahasa Jerman, baik Celine maupun Jesse tak tahu apa yang mereka pertengkarkan. Siapa sangka, bertahun-tahun kemudian mereka juga mengalami hal yang sama.
Celine bukanlah orang yang menganggap berkonflik sebagai hal yang buruk. Akan tetapi, setelah hidup bersama dengan Jesse dalam waktu yang relatif lama, mereka semakin sering berdebat dengan nada suara yang kian meninggi. Pertengkaran hebat pun tak dapat dihindari. Apa-apa yang selama ini terpendam, termuntahkan juga. Mereka mengutuk satu sama lain seperti musuh. Dan ya, seperti bom waktu, akhirnya kata-kata itu meluncur juga dari mulut salah satu di antara mereka sambil membanting pintu dengan keras: mungkin aku tak lagi mencintaimu.
Dalam puncak kemarahan yang demikian, apa yang mereka dilakukan? Tengah malam itu mereka harus memutuskan, apakah kebersamaan mereka akan terbenam selamanya, ataukah esok masih bisa terbit dan bersinar lagi.
Jesse duduk dan mengamati sekeliling ruangan. Ada secangkir teh yang telah menjadi dingin, pintu yang tertutup, sebotol anggur yang dituang dalam gelas bertangkai dan belum sempat disentuh, juga ranjang tempat mereka gagal bercinta. Sementara itu Celine duduk di sekitaran pantai. Di sana banyak pasangan yang mengobrol satu sama lain, tapi Celine sendirian.
Lalu terlihat Jesse mendekati Celine yang masih diliputi amarah. Jesse berupaya membawa Celine pada saat-saat pertama kali mereka bertemu, saat mereka saling jatuh cinta. Saat itu, Jesse tahu benar bahwa seseorang seperti Celine takkan takluk pada rayuan secerdas apapun. Tapi Jesse tetap berkukuh dengan usahanya. Ia bertahan dengan kekesalan Celine.
Dan mereka berdamai.
Saya yakin, jika Jesse tak memiliki pengalaman dalam perceraian, Celine tak punya sejarah masa lalu disakiti, mereka berdua tak akan mampu untuk berdamai seperti tengah malam itu. Saya juga meyakini bahwa, perdamaian itu bukan karena mereka tak ada pilihan lain selain bersama karena sudah punya anak. Lebih dari apapun, kenangan tak terhitung jumlahnya yang mereka bagi bersama-samalah yang memungkinkan mereka untuk berbaikan seperti yang mereka lakukan.
Oh ya, obrolan antara Celine dan Jesse selalu terjadi ketika mereka sedang bergerak, entah berjalan entah di dalam mobil. Menurut saya, ini menyimbolkan dunia dan kehidupan yang terus bergerak. Selain itu, Obrolan yang mengalir seperti aliran Sungai Danube dan Sainne itu dapat terjadi ketika di antara keduanya tak ada campur tangan ponsel, baik di Before suset maupun Before Sunrise. Sekalinya ada campur tangan ponsel (dalam Before Midnight), mereka tak lagi bisa ngobrol asyik. Yang terjadi justru pertengkaran hebat. Nah lo!
Ada yang bilang, kita bisa memilih dengan siapa kita menikah, tapi kita tak bisa memilih dengan siapa kita jatuh cinta. Semoga, kalian bertiga, teman-teman yang kusayangi, semakin lama kalian menikah kalian akan semakin jatuh cinta. Segenap doa :)
Thursday, June 2, 2016
kartu pos bergambar perahu cadik
Saya benar-benar merindukan teman-teman saya. Merindukan orang-orang yang pernah saya temui di Jogja. Semuanya. Rindu yang tak hanya sesekali, tapi selalu. Andai tangan saya bisa memanjang seperti tangan Monkey D. Luffy, rasanya saya ingin merengkuh mereka semua dalam satu pelukan hangat.
Hmm, sepertinya saya sedang melankolis. Mungkin pengaruh hormon menstruasi. Mungkin juga pengaruh mendung yang menggantung sore ini.
Ada seorang teman yang bilang bahwa dirinya merindukan seseorang sampai rasanya ingin mati. Saya bilang itu mungkin pengaruh drama korea menye-menye yang sering ditontonnya. Saya merasa sangat jahat pernah bilang seperti itu. Meski tak sampai ingin mati, sepertinya saya bisa merasakan apa yang dikatakan teman saya dulu. Saya benar-benar merindukan teman-teman saya. Mungkin mereka tak merindukan saya. Tak mengapa. Tak masalah.
Semoga, di luar sana, mereka semua sedang berbahagia.
Hmm, sepertinya saya sedang melankolis. Mungkin pengaruh hormon menstruasi. Mungkin juga pengaruh mendung yang menggantung sore ini.
Ada seorang teman yang bilang bahwa dirinya merindukan seseorang sampai rasanya ingin mati. Saya bilang itu mungkin pengaruh drama korea menye-menye yang sering ditontonnya. Saya merasa sangat jahat pernah bilang seperti itu. Meski tak sampai ingin mati, sepertinya saya bisa merasakan apa yang dikatakan teman saya dulu. Saya benar-benar merindukan teman-teman saya. Mungkin mereka tak merindukan saya. Tak mengapa. Tak masalah.
Semoga, di luar sana, mereka semua sedang berbahagia.
Monday, May 16, 2016
kantong ajaib doraemon #1: dari fotografi sampai kacang hijau
Saya masih mengingat dengan jelas siang itu. Di lorong lantai satu gedung Poerbatjaraka, dia berkemeja kotak-kotak dengan tas selempang hijau, sedang duduk menunggu sambil membawa lembaran kertas. Saya menuju sisi lain, juga duduk menunggu. Hingga akhirnya dia duduk di sebelah saya karena orang yang kami tunggu adalah orang yang sama: Prof. Dr. Faruk. Kami hendak meminta tanda tangan beliau untuk keperluan KRS.
Waktu itu, Prof Faruk sedang ada rapat di salah satu ruangan. Dalam suasana menunggu itu, kami berkenalan dan mengobrol. Dia menanyakan penelitian saya. Kebetulan waktu itu saya membawa satu bendel kertas yang berisi beberapa bab tesis. Singkat cerita, kami kemudian tergabung dalam penelitian dengan objek formal yang sama dan mengerjakannya di ruangan yang sama pula.
Semenjak saat itu, keberuntungan seperti mengikuti saya. Kursinya berada di samping saya sehingga dia adalah orang pertama yang saya ajak diskusi ketika ada persoalan. Mulai dari persoalan penelitian hingga persoalan laptop yang tiba-tiba error. Karena dia dulu sekolah di SMK jurusan perkomputeran, persoalan komputer bisa ditanganinya dengan mudah. Saya juga belajar banyak darinya tentang beberapa program dan aplikasi.
Keberuntungan saya tak hanya sampai di situ. Sebagai seorang yang menggilai Arswendo, dia mencekoki saya karya-karya penulis keren itu, membuat saya mengenal Bong dan Keka. Dan saya menyesal mengapa dari dulu tak membaca karya-karya Arswendo, tentu saja selain Canting.
Dia adalah seorang fotografer handal. Saya doakan semoga dia segera berhasil membuat pameran tunggal. Dari dialah saya jadi mengenal Sebastiano Salgado dengan karyanya yang monumental itu: Genesis. Juga fotografer-fotografer dunia yang lain. Dia juga teman bertualang yang menyenangkan. Kegemarannya menjelajahi tempat-tempat asing pernah membuatnya mencicipi death experience. Kegemarannya yang lain adalah mengoleksi barang-barang kuno (kalau tak boleh disebut rongsokan). Itulah sebabnya klitikan adalah tempat favoritnya. Saat di Australia pun, yang dicarinya adalah tempat semacam klitikan.
Saya benar-benar beruntung punya teman yang baik seperti dia. Dia memberi saya banyak hal, tapi saya tak pernah memberinya apa-apa. Di situlah saya sering merasa sedih. Oh ya, di antara sekian banyak hal yang diberikan kepada saya, saya paling senang ketika dia memberitahu cara cepat memasak kacang hijau di magic-com. Hahaha.
Fyi, namanya Arif Furqan. Cari aja instagramnya kalo mau tau (sebagian) karya-karya fotonya.
Waktu itu, Prof Faruk sedang ada rapat di salah satu ruangan. Dalam suasana menunggu itu, kami berkenalan dan mengobrol. Dia menanyakan penelitian saya. Kebetulan waktu itu saya membawa satu bendel kertas yang berisi beberapa bab tesis. Singkat cerita, kami kemudian tergabung dalam penelitian dengan objek formal yang sama dan mengerjakannya di ruangan yang sama pula.
Semenjak saat itu, keberuntungan seperti mengikuti saya. Kursinya berada di samping saya sehingga dia adalah orang pertama yang saya ajak diskusi ketika ada persoalan. Mulai dari persoalan penelitian hingga persoalan laptop yang tiba-tiba error. Karena dia dulu sekolah di SMK jurusan perkomputeran, persoalan komputer bisa ditanganinya dengan mudah. Saya juga belajar banyak darinya tentang beberapa program dan aplikasi.
Keberuntungan saya tak hanya sampai di situ. Sebagai seorang yang menggilai Arswendo, dia mencekoki saya karya-karya penulis keren itu, membuat saya mengenal Bong dan Keka. Dan saya menyesal mengapa dari dulu tak membaca karya-karya Arswendo, tentu saja selain Canting.
Dia adalah seorang fotografer handal. Saya doakan semoga dia segera berhasil membuat pameran tunggal. Dari dialah saya jadi mengenal Sebastiano Salgado dengan karyanya yang monumental itu: Genesis. Juga fotografer-fotografer dunia yang lain. Dia juga teman bertualang yang menyenangkan. Kegemarannya menjelajahi tempat-tempat asing pernah membuatnya mencicipi death experience. Kegemarannya yang lain adalah mengoleksi barang-barang kuno (kalau tak boleh disebut rongsokan). Itulah sebabnya klitikan adalah tempat favoritnya. Saat di Australia pun, yang dicarinya adalah tempat semacam klitikan.
Saya benar-benar beruntung punya teman yang baik seperti dia. Dia memberi saya banyak hal, tapi saya tak pernah memberinya apa-apa. Di situlah saya sering merasa sedih. Oh ya, di antara sekian banyak hal yang diberikan kepada saya, saya paling senang ketika dia memberitahu cara cepat memasak kacang hijau di magic-com. Hahaha.
Fyi, namanya Arif Furqan. Cari aja instagramnya kalo mau tau (sebagian) karya-karya fotonya.
Monday, April 25, 2016
di kedai yang lampunya terang, pada malam yang tak panjang
untuk Jogja yang kusayangi
Sepanjang ingatanku, tak pernah aku mendapati pandangan mata seperti malam ini. Pandangan mata yang aku sendiri tak sanggup menantangnya.
Beberapa saat lamanya kami hanya saling diam. Aku membolak-balik daftar menu. Dia bertanya, minuman apa yang sering kupesan di kedai ini. Aku menunjuk salah satu jenis minuman. Dia pun memesan itu. Aku memilih minuman dan makanan yang belum pernah kupesan.
Kemudian kesenyapan yang panjang. Lagi. Aku memalingkan muka. Masih belum sanggup menantang pandangan matanya. Di sebelah kami, ada seorang anak muda, sendirian, sedang sibuk dengan laptop dan tumpukan kertas. Headset terpasang di telinganya. Segelas jus dan sepiring kentang goreng juga ada di mejanya. Barangkali ia sedang mengerjakan tugas kuliah.
Dia yang di sampingku masih terus menatap. Hingga akhirnya…
Kenapa begitu mendadak? dengan nada yang terlalu rumit untuk dideskripsikan.
Maaf, ya. Jawabku kemudian.
Aku tahu aku harus mengakhiri suasana yang mendadak sentimentil ini. Aku lalu mengingatkannya kembali pada hal-hal gila yang pernah kami lakukan. Dulu sekali. Dia tersenyum. Aku sedikit lega.
Kamu memang gila!
Hahaha..
Minuman dan makanan yang kami pesan datang. Anak muda tadi beranjak dari duduknya. Mengemasi barang-barangnya. Pergi. Aku yakin sekali dia tadi mendengarkan obrolan kami.
Yang kemudian keluar dari mulutnya adalah hal-hal yang selama ini tak pernah kusangka. Beberapa hal yang diungkapkannya membuatku tercekat. Dia tahu riwayatku. Tanpa aku harus memberitahunya. Tanpa ada celah untukku membantahnya.
Aku paham kenapa dia memilih malam ini untuk mengungkap itu semua. Tak akan ada kesempatan lagi seperti malam ini. Kupertegas: tak akan ada lagi. Malam-malam panjang sepekan sekali selama lebih dari delapan tahun harus berakhir malam ini.
Aku masih beruntung bisa bertemu dengannya. Sejak sore hujan turun deras sekali dan baru reda beberapa saat yang lalu. Tapi, jikapun hujan tak reda, malam ini aku harus bertemu dengannya. Jadi, kesempatan ini harus kugunakan sebaik-baiknya. Akan kukatakan apa yang selama ini hanya tersimpan di benak.
Terima kasih, ya.
Akhirnya aku mengucapkannya. Aku tidak tahu kata lain selain terima kasih. Aku tidak tahu apa jadinya aku jika tak dipertemukan dengannya. Aku juga ragu perjalananku ada maknanya jika tak bertemu dengannya. Maka, terima kasih adalah satu-satunya kata yang sanggup kuberikan padanya. Aku jelas tak sanggup memberikan seperti apa yang sudah diberikannya padaku.
Dia tersenyum. Aku pun.
Beberapa saat lamanya kami tenggelam dalam pikiran masing-masing. Dalam pikiranku berkecamuk serangkaian kemungkinan, harapan, juga kecemasan. Aku tak tahu apa yang ada dalam pikirannya.
Lalu dia menanyakan sesuatu yang kujawab hanya dengan helaan nafas panjang. Dan pandangan mata itu terbit lagi. Deg!
Waktu berlari begitu cepat. Secepat detak jantungku. Tiba-tiba saja sudah lewat tengah malam. Satu-satunya mukjizat yang kuinginkan saat ini adalah kemampuan menghentikan waktu. Malam ini saja. Tolong!
Dia memberi isyarat agar kami segera beranjak. Aku bilang, sebentar. Aku ingin memenuhi ingatanku dengan warna bola matanya (ya, akhirnya aku berani menatapnya), alisnya yang bagus, tulisan-tulisan di kaosnya, potongan rambutnya, jumlah puntung rokok di asbak, makanan dan minuman yang belum tandas, meja berkaki pendek, juga lampu-lampu. Aku ingin menghirup dalam-dalam campuran parfum, asap rokok, dan bau tanah sisa hujan ini hingga paru-paruku penuh. Lalu membungkus dan menaruhnya di 2046 ciptaan sutradara genius Wong Kar Wai.
Dia masih di sampingku, tapi rasanya aku sudah sangat merindukannya. Sialan! Aku dikepung perasaan-perasaan sentimentil semacam ini.
Di luar, aku bisa melihat angin menggoyangkan daun-daun mangga. Kami pun beranjak meninggalkan kedai yang lampunya terang ini.
Tuban-Surabaya, Februari-April 2016
Sepanjang ingatanku, tak pernah aku mendapati pandangan mata seperti malam ini. Pandangan mata yang aku sendiri tak sanggup menantangnya.
Beberapa saat lamanya kami hanya saling diam. Aku membolak-balik daftar menu. Dia bertanya, minuman apa yang sering kupesan di kedai ini. Aku menunjuk salah satu jenis minuman. Dia pun memesan itu. Aku memilih minuman dan makanan yang belum pernah kupesan.
Kemudian kesenyapan yang panjang. Lagi. Aku memalingkan muka. Masih belum sanggup menantang pandangan matanya. Di sebelah kami, ada seorang anak muda, sendirian, sedang sibuk dengan laptop dan tumpukan kertas. Headset terpasang di telinganya. Segelas jus dan sepiring kentang goreng juga ada di mejanya. Barangkali ia sedang mengerjakan tugas kuliah.
Dia yang di sampingku masih terus menatap. Hingga akhirnya…
Kenapa begitu mendadak? dengan nada yang terlalu rumit untuk dideskripsikan.
Maaf, ya. Jawabku kemudian.
Aku tahu aku harus mengakhiri suasana yang mendadak sentimentil ini. Aku lalu mengingatkannya kembali pada hal-hal gila yang pernah kami lakukan. Dulu sekali. Dia tersenyum. Aku sedikit lega.
Kamu memang gila!
Hahaha..
Minuman dan makanan yang kami pesan datang. Anak muda tadi beranjak dari duduknya. Mengemasi barang-barangnya. Pergi. Aku yakin sekali dia tadi mendengarkan obrolan kami.
Yang kemudian keluar dari mulutnya adalah hal-hal yang selama ini tak pernah kusangka. Beberapa hal yang diungkapkannya membuatku tercekat. Dia tahu riwayatku. Tanpa aku harus memberitahunya. Tanpa ada celah untukku membantahnya.
Aku paham kenapa dia memilih malam ini untuk mengungkap itu semua. Tak akan ada kesempatan lagi seperti malam ini. Kupertegas: tak akan ada lagi. Malam-malam panjang sepekan sekali selama lebih dari delapan tahun harus berakhir malam ini.
Aku masih beruntung bisa bertemu dengannya. Sejak sore hujan turun deras sekali dan baru reda beberapa saat yang lalu. Tapi, jikapun hujan tak reda, malam ini aku harus bertemu dengannya. Jadi, kesempatan ini harus kugunakan sebaik-baiknya. Akan kukatakan apa yang selama ini hanya tersimpan di benak.
Terima kasih, ya.
Akhirnya aku mengucapkannya. Aku tidak tahu kata lain selain terima kasih. Aku tidak tahu apa jadinya aku jika tak dipertemukan dengannya. Aku juga ragu perjalananku ada maknanya jika tak bertemu dengannya. Maka, terima kasih adalah satu-satunya kata yang sanggup kuberikan padanya. Aku jelas tak sanggup memberikan seperti apa yang sudah diberikannya padaku.
Dia tersenyum. Aku pun.
Beberapa saat lamanya kami tenggelam dalam pikiran masing-masing. Dalam pikiranku berkecamuk serangkaian kemungkinan, harapan, juga kecemasan. Aku tak tahu apa yang ada dalam pikirannya.
Lalu dia menanyakan sesuatu yang kujawab hanya dengan helaan nafas panjang. Dan pandangan mata itu terbit lagi. Deg!
Waktu berlari begitu cepat. Secepat detak jantungku. Tiba-tiba saja sudah lewat tengah malam. Satu-satunya mukjizat yang kuinginkan saat ini adalah kemampuan menghentikan waktu. Malam ini saja. Tolong!
Dia memberi isyarat agar kami segera beranjak. Aku bilang, sebentar. Aku ingin memenuhi ingatanku dengan warna bola matanya (ya, akhirnya aku berani menatapnya), alisnya yang bagus, tulisan-tulisan di kaosnya, potongan rambutnya, jumlah puntung rokok di asbak, makanan dan minuman yang belum tandas, meja berkaki pendek, juga lampu-lampu. Aku ingin menghirup dalam-dalam campuran parfum, asap rokok, dan bau tanah sisa hujan ini hingga paru-paruku penuh. Lalu membungkus dan menaruhnya di 2046 ciptaan sutradara genius Wong Kar Wai.
Dia masih di sampingku, tapi rasanya aku sudah sangat merindukannya. Sialan! Aku dikepung perasaan-perasaan sentimentil semacam ini.
Di luar, aku bisa melihat angin menggoyangkan daun-daun mangga. Kami pun beranjak meninggalkan kedai yang lampunya terang ini.
Tuban-Surabaya, Februari-April 2016
Wednesday, April 20, 2016
senin sore di kepalamu yang ditopang tangan kanan
pada satu Senin di meja kerjamu yang penuh
tumpukan kertas, beberapa alat tulis, kalender duduk, foto, dan setangkai bunga plastik,
tak ada yang lebih kau damba tinimbang tubuhmu
tenggelam dalam busa sabun yang melimpah dan beraroma jeruk juga
aroma shampo yang mengingatkanmu pada kekasih
yang jauh
kalut dan amarah berterbangan dan menclok
di langit-langit kamar mandimu
menempel tak terlalu kuat dan dalam hitungan menit bermetamorfosis
jadi kupu-kupu yang tampak lucu
setelahnya, perlahan kau rebahkan
kantuk pada kasur dengan seprai bermotif daun teh
membawamu melayang-layang sebentar di sebuah perkebunan yang berkabut
hmmm,
di meja kecil itu, lagulagu sendu—yang menyala 24 jam—membantumu mengatupkan pelupuk.
Surabaya, April 2016
tumpukan kertas, beberapa alat tulis, kalender duduk, foto, dan setangkai bunga plastik,
tak ada yang lebih kau damba tinimbang tubuhmu
tenggelam dalam busa sabun yang melimpah dan beraroma jeruk juga
aroma shampo yang mengingatkanmu pada kekasih
yang jauh
kalut dan amarah berterbangan dan menclok
di langit-langit kamar mandimu
menempel tak terlalu kuat dan dalam hitungan menit bermetamorfosis
jadi kupu-kupu yang tampak lucu
setelahnya, perlahan kau rebahkan
kantuk pada kasur dengan seprai bermotif daun teh
membawamu melayang-layang sebentar di sebuah perkebunan yang berkabut
hmmm,
di meja kecil itu, lagulagu sendu—yang menyala 24 jam—membantumu mengatupkan pelupuk.
Surabaya, April 2016
Wednesday, March 2, 2016
hujan deras dan jubah ajaib
Di sini, hampir setiap hari hujan turun. Sangat deras. Seringkali diiringi angin dan petir. Jika demikian, aku buru-buru menuju jendela. Menyaksikan sepotong peristiwa itu dari sana. Aku melihat bambu-bambu yang doyong dan meliuk-liuk diterpa angin. Juga pohon-pohon pisang yang daun-daunnya koyak. Pohon trembesi yang kokoh hanya melambaikan ranting-rantingnya. Sementara rumput-rumput dan bunga liar hanya bisa menerima dengan tabah serbuan pasukan air itu.
Tak jauh dari bambu-bambu, beberapa orang duduk berteduh di sebuah pondokan yang atapnya terbuat dari asbes (aku tak tahu persis ada apa di dalam pondokan itu). Mereka termangu-mangu menyaksikan gabahnya yang ditutupi terpal karena tak keburu mengangkatnya. Betapa susah mengeringkan gabah di musim penghujan seperti ini. Aku mengira, meski ditutupi terpal, gabah itu lebih basah dari sebelum dijemur tadi pagi.
Hujan di sini memang sering datang tanpa diantarkan mendung. Beberapa kali hujan datang saat sedang terik-teriknya. Deras sekali. Lalu berhenti tiba-tiba. Dan tak ada pelangi setelahnya.
Ketika hujan sedikit reda—sementara para penunggu gabah entah kemana—burung-burung kecil, burung merpati, dan ayam-ayam berbondong-bondong menuju tempat penjemuran gabah itu. Mereka berpesta. Makan sekenyang-kenyangnya. Bagian diriku yang berjubah gaib seperti milik Harry Potter kubiarkan mendekati kawanan burung itu. Berada di tengah-tengah mereka. Melambaikan tangan pada diriku yang lain, yang ada di balik jendela.
Aku suka melihat burung-burung kecil itu terbang serentak, seperti ada yang mengomando. Lalu berbaris berjejeran di atap pondokan. Aku juga suka memerhatikan gerak leher dan kepala burung merpati yang mematuki gabah. Lalu setelah kenyang mereka terbang ke sarangnya yang tak jauh dari pondokan. Kepak sayapnya begitu menggetarkan. Sementara itu, ayam-ayam seperti tak pernah kenyang.
Jika sedang hujan dan tak ada gabah yang dijemur, beberapa anak laki-laki sering main bola atau bersepeda di sana. Pemandangan yang lebih sering kulihat di film-film itu kini bisa kusaksikan di depan mataku. Ada gejolak aneh setiap kali melihat mereka. Ada dorongan yang sangat kuat untuk bergabung dengan mereka. Dan aku tak kuasa menepis godaan itu. Teriakan-teriakan, ciptaran-cipratan air. Aku melebur bersama mereka. Aku yang berjubah ajaib.
Tak jauh dari bambu-bambu, beberapa orang duduk berteduh di sebuah pondokan yang atapnya terbuat dari asbes (aku tak tahu persis ada apa di dalam pondokan itu). Mereka termangu-mangu menyaksikan gabahnya yang ditutupi terpal karena tak keburu mengangkatnya. Betapa susah mengeringkan gabah di musim penghujan seperti ini. Aku mengira, meski ditutupi terpal, gabah itu lebih basah dari sebelum dijemur tadi pagi.
Hujan di sini memang sering datang tanpa diantarkan mendung. Beberapa kali hujan datang saat sedang terik-teriknya. Deras sekali. Lalu berhenti tiba-tiba. Dan tak ada pelangi setelahnya.
Ketika hujan sedikit reda—sementara para penunggu gabah entah kemana—burung-burung kecil, burung merpati, dan ayam-ayam berbondong-bondong menuju tempat penjemuran gabah itu. Mereka berpesta. Makan sekenyang-kenyangnya. Bagian diriku yang berjubah gaib seperti milik Harry Potter kubiarkan mendekati kawanan burung itu. Berada di tengah-tengah mereka. Melambaikan tangan pada diriku yang lain, yang ada di balik jendela.
Aku suka melihat burung-burung kecil itu terbang serentak, seperti ada yang mengomando. Lalu berbaris berjejeran di atap pondokan. Aku juga suka memerhatikan gerak leher dan kepala burung merpati yang mematuki gabah. Lalu setelah kenyang mereka terbang ke sarangnya yang tak jauh dari pondokan. Kepak sayapnya begitu menggetarkan. Sementara itu, ayam-ayam seperti tak pernah kenyang.
Jika sedang hujan dan tak ada gabah yang dijemur, beberapa anak laki-laki sering main bola atau bersepeda di sana. Pemandangan yang lebih sering kulihat di film-film itu kini bisa kusaksikan di depan mataku. Ada gejolak aneh setiap kali melihat mereka. Ada dorongan yang sangat kuat untuk bergabung dengan mereka. Dan aku tak kuasa menepis godaan itu. Teriakan-teriakan, ciptaran-cipratan air. Aku melebur bersama mereka. Aku yang berjubah ajaib.
Friday, January 15, 2016
langit
Saat menulis ini, saya sedang berada di perpustakaan. Dinding perpustakaan yang terbuat dari kaca memungkinkan saya untuk melihat situasi di luar ruangan. Orang-orang yang berjalan, orang-orang duduk melingkar, rerumputan, pohon-pohon cemara, pohon-pohon talok, pohon bunga kenanga, pohon alpukat yang ditebang, gedung Grha Sabha Pramana,mobil-mobil yang diparkir, juga langit yang menaunginya.
Langit.
Saya sangat suka memandangi langit. Sudah nonton Boyhood? Ya, adegan yang paling saya sukai adalah ketika sang tokoh utama (saat masih kecil) berbaring di atas rerumputan, salah satu tangannya dilipat di bawah kepala, dan Ia memandangi langit.
Dari tempat saya duduk sekarang, langit siang ini terlihat cerah, biru lembut. Ada awan-awan tipis di bawahnya, bukan awan yang bergumpal-gumpal.
Memandangi langit selalu mengingatkan saya pada salah satu ajaran Gede Prama. Guru Gede sering menganalogikan batin yang mendalam dengan langit dan awan. “Hitam atau putihnya awan, tidak akan mempengaruhi langit yang biru”, begitu katanya. Langit akan tetap di sana, tetap biru, ia hanya menyaksikan pergerakan awan putih atau awan hitam. Begitulah batin yang mendalam. Good mood atau bad mood hanyalah pergerakan awan putih dan awan hitam. Baik awan putih atau awan hitam, ia akan berlalu. Awan putih atau awan hitam, semuanya indah apa adanya.
Nah, jika kamu sekarang sedang berada di ruangan tertutup dan mood-mu sedang tidak bagus entah karena apa, coba buka jendela, atau keluar ruangan sebentar. Pandanglah ke atas. Langit terbuka luas, juga pikiranku, pikiranmu.*
*diambil dari judul lagu “Langit Terbuka Luas, Mengapa tidak pikiranku..pikiranmu”, Pure Saturday.
Langit.
Saya sangat suka memandangi langit. Sudah nonton Boyhood? Ya, adegan yang paling saya sukai adalah ketika sang tokoh utama (saat masih kecil) berbaring di atas rerumputan, salah satu tangannya dilipat di bawah kepala, dan Ia memandangi langit.
Dari tempat saya duduk sekarang, langit siang ini terlihat cerah, biru lembut. Ada awan-awan tipis di bawahnya, bukan awan yang bergumpal-gumpal.
Memandangi langit selalu mengingatkan saya pada salah satu ajaran Gede Prama. Guru Gede sering menganalogikan batin yang mendalam dengan langit dan awan. “Hitam atau putihnya awan, tidak akan mempengaruhi langit yang biru”, begitu katanya. Langit akan tetap di sana, tetap biru, ia hanya menyaksikan pergerakan awan putih atau awan hitam. Begitulah batin yang mendalam. Good mood atau bad mood hanyalah pergerakan awan putih dan awan hitam. Baik awan putih atau awan hitam, ia akan berlalu. Awan putih atau awan hitam, semuanya indah apa adanya.
Nah, jika kamu sekarang sedang berada di ruangan tertutup dan mood-mu sedang tidak bagus entah karena apa, coba buka jendela, atau keluar ruangan sebentar. Pandanglah ke atas. Langit terbuka luas, juga pikiranku, pikiranmu.*
*diambil dari judul lagu “Langit Terbuka Luas, Mengapa tidak pikiranku..pikiranmu”, Pure Saturday.
Subscribe to:
Posts (Atom)
Ucapan Terima Kasih
Saya menulis ucapan terima kasih yang cukup panjang di skripsi saya, di bagian kata pengantar. Ucapan sepanjang lima halaman itu saya tujuka...
-
: sebuah penjelajahan awal Kajian Homi K. Bhabha selain banyak dipengaruhi oleh teoretisi pascastrukturalis seperti Jacques Derrida, Miche...
-
Tuhanku yang super oke, aku minta maaf. lagi-lagi aku mengeluh. bisakah patah hati ini ditunda? rasanya sangat sakit. aku ingin menang...
-
Entah kenapa saya selalu merasa tenang kalau melihat air yang mengalir. Dan sore tadi, dengan kepala yang rasanya nyutnyut, dari belakang ka...